tirto.id - Andaikan diletakkan dalam konteks politik, ucapan “Maroko melawan Iran” tentu akan sangat membikin miris karena bisa melebarkan retak yang sudah lebar di antara sesama negara Islam di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Untungnya, bentrok itu terjadi dalam konteks sepakbola Piala Dunia 2018, tepatnya pada pertandingan pertama Grup B Piala Dunia 2018 di Stadion St. Petersburg (Jumat, 15/6/2018, pukul 22.00 WIB). Aura kompetisi niscaya sangat pekat dalam momen olahraga semacam itu, dan seharusnya memang demikian: olahraga adalah institusi budaya tempat manusia melibatkan diri dalam persaingan untuk mencapai sesuatu secara beradab.
Namun, bahkan dalam konteks olahraga cabang sepakbola yang meniscayakan kompetisi secara fair sekalipun, apakah faktor-faktor non-sepakbola, terutama politik dan agama, tidak berperan sama sekali? Bagaimanapun, sulit sekali membuang hal-hal non-sepakbola dari dalam lapangan. Siapa pun pemain tim nasional sepakbola suatu negara, secara sadar maupun tak sadar, membawa ideologi atau keyakinan politik tertentu di dalam kepala dan hatinya.
Tengoklah bagaimana pemain tenar seperti Mohamed Salah yang bersujud syukur setelah mencetak gol, atau Lionel Messi yang selalu menunjuk ke langit sebagai bentuk ucapan syukur kepada Tuhan, atau mereka yang membentuk salib saat akan memasuki lapangan.
Topik ini semakin menarik karena terlihat seperti ada kontradiksi. Pasalnya, jika dicermati, ada beberapa fakta yang cukup mengusik tetapi terpendam atau sengaja “dipendam” karena menganggap fakta non-sepakbola itu yang tidak relevan dan sering dianggap berpotensi mereduksi spirit egaliterian sepakbola yang dipromosikan secara intensif oleh FIFA dan komunitas sepakbola sejak lama.
Dalam kasus Maroko versus Iran, fakta pertama yang sangat mencolok adalah bahwa keduanya merupakan “negara Islam” tetapi dari dua mazhab yang berbeda dan kerap kali dianggap “bersaing”: sementara Maroko menganut aliran Sunni mazhab Maliki, Iran adalah penganut dan pusat dakwah Syiah terbesar sedunia – yang di Indonesia keduanya sering dipertentangkan sedemikian rupa dengan menekankan aspek negatif Syiah.
Entah relevan atau tidak, patut juga dicatat bahwa, walaupun keduanya sama-sama “negara Islam”, tetapi hanya Iran yang secara eksplisit membubuhkan predikat “Islam” dalam nama resmi internasionalnya, yang tercatat dalam pangkalan data PBB maupun FIFA: Republik Islam Iran (Islamic Republic of Iran). Sementara itu, nama resmi internasional Maroko adalah “Kerajaan Maroko” (Kingdom of Morocco). Namun, karena lidah manusia cenderung pragmatis, “Iran” dan “Maroko” sudah cukup untuk menyebut mereka.
Jadi, meskipun dengan nada sedikit getir dan disertai wanti-wanti agar tidak mengarah pada perpecahan yang lebih parah, bisa dikatakan bahwa laga Maroko versus Iran layak ditonton oleh orang Indonesia sebagai bentrok secara beradab antara representasi Sunni versus Syiah. Satu hal yang pasti: tim mana pun yang menang, tidak secara otomatis berarti bahwa Sunni yang benar sehingga layak menang dan Syiah yang salah sehingga layak kalah, atau sebaliknya.
Namun, tak peduli apakah Anda Sunni, Muhammadiyah, NU, abangan, atau Syiah, dari segi sepakbola murni pun, laga Maroko versus Iran itu cukup layak ditonton karena keduanya tidak asing dengan Piala Dunia dan menjanjikan pertarungan menarik. Maroko sudah 4 kali tampil di ajang ini (1970, 1986, 1994, dan 1998), demikian juga dengan Iran (1978, 1998, 2006, dan 2014). Iran belum pernah lolos dari babak penyisihan, sementara Maroko pernah selamat dari babak penyisihan dan melaju ke babak 16 besar pada edisi 1986 sebelum ditekuk Jerman Barat 0-1.
Terlihat juga bahwa Singa Pegunungan Atlas sedikit lebih ketimbang Singa Persia. Setelah absen 20 tahun dari Piala Dunia, Maroko membawa torehan lebih baik dari lawannya dalam tahap persiapan. Maroko tak pernah kalah dalam 18 pertandingan terakhir. Rapor ini hanya mampu dikalahkan dua negara asal Eropa, Belgia (19) dan Spanyol (20). Kekalahan terakhir Maroko terjadi pada saat menghadapi Kamerun (10/6/2017).
Selamat menonton sesama muslim bersaing secara beradab.
Editor: An Ismanto