tirto.id - Manu Dibango, penyanyi dan pemain saksofon legendaris meninggal di Paris setelah terinfeksi virus corona covid-19. Dilansir dari BBC, kematian musikus jazz yang terkenal dengan lagu hitnya Soul Makossa ini merupakan kematian pertama selebritis dunia akibat covid-19.
Kematian pria berusia 86 tahun tersebut disiarkan melalui halaman resmi Facebook. Selain itu, pemakamannya akan dilakukan secara tertutup. "Dengan sangat sedih kami mengumumkan kehilangan Manu Dibango, Papy Groove kami."
Siapa Manu Dibango?
Dilansir dari The Guardian, Manu (Emmanuel N’Djoké) Dibango lahir 12 Desember 1933 di kota Douala, Kamerun. Saat itu daerah tersebut masih berada dalam kepemerintahan kolonial Prancis. Ayahnya merupakan seorang pegawai negeri tinggi, sedangkan ibunya seorang perancang busana. Kedua orang tuanya adalah Protestan yang taat dan tidak menyetujui musik sekuler.
Dibango mendapat dorongan untuk terjun ke dunia musik dari direktur musik paduan suara gerejanya. Dia secara diam-diam memperluas perspektif musiknya dengan seruling bambu dan gitar buatan sendiri. Pada tahun 1944, Dibango berada di paduan suara sekolah untuk kunjungan kenegaraan Jenderal Charles de Gaulle ke Kamerun.
Selama masa Perang Dunia 2, banyak masyarakat Afrika Barat yang enggan bergabung dengan pasukan sekutu untuk ikut berperang. Dibango merupakan salah satu orang yang terlibat memutus tali perekrutan tentara tersebut.
Pada tahun 1949, orang tua Dibango mengirimnya ke Prancis untuk sekolah dan juga kursus musik. Dia tiba menggunakan kapal uap menuju Saint-Calais di wilayah Sarthe. Dibango menjadi satu-satunya anak berkulit hitam di kota kecil itu.
Di sebuah liburan pada tahun 1953, seorang teman meminjaminya saksofon. Manu membawa alat itu dan mendaftar kursus selama dua tahun. Setelah bermain di beberapa klub jazz Prancis, dia pindah ke Belgia. Beberapa bulan setelahnya, Dibango telah menandatangani kesepakatan dengan Joseph Kabasele, pendiri musik modern Kongo, yang memiliki band African Jazz, salah satu pelopor revolusi musik di Afrika.
Di Belgia, tepatnya di Brussel, dia juga bertemu dengan calon istrinya, Marie-Josee (yang biasa dipanggil Coco). Mereka menikah pada tahun 1957. Berlanjut pada tahun 1959, Kabasele merekam lagu kebangsaan Pan-Afrika, Independence Cha Cha Cha. Kabasele mengundang Dibango ke ibukota Kongo, Léopoldville (sekarang Kinshasa) dan mereka bekerja bersama merekam lagu tersebut.
Kemudian Dibango mengelola sebuah band African Soul dan mengelola sebuah klub malam bernama Tam Tam. Meskipun klub itu berhasil secara finansial, namun Dibango dan Coco mengalami rasisme. Mereka memutuskan untuk pindah ke Abidjan, Pantai Gading.
Selama kariernya, Dibango telah berkolaboarasi dengan banyak musisi termasuk Herbie Hancock, Hugh Masekela, Fela Kuti, Tony Allen, Fania All Stars, Ray Lema, Bill Laswell, Sly dan Robbie, Ladysmith Black Mambazo dan banyak lagi.
Pada tahun 1984 dia bergabung dengan lebih dari selusin artis untuk membuat lagu Tam Tam Pour l'Ethiopie sebagai aksi penggalangan dana. Perilisan tersebut merupakan sebuah tanggapan terhadap lagu dari Band Aid, yang oleh banyak orang Afrika dianggap merendahkan.
Kemudian pada 1967, Dibango menjadi pemimpin band di Pulsations, program musik orang kulit hitam pertama di televisi Prancis. Pada awal 1990-an ia menjadi pembawa acara untuk programnya bernama Salut Manu.
Pada tahun-tahun berikutnya dia menjadi duta besar untuk Unicef serta menerima beberapa penghargaan dari negara-negara Afrika. Tahun 2010 dia diangkat menjadi Chevalier atau ksatria dari Légion d'Honneur (tanda penghormatan tertinggi yang diberikan oleh Presiden Prancis).
Kematian Dibango meninggalkan seorang putri, Georgia dan Anya dan putra, Michel. Dibango pernah berkata bahwa kamu perlu melupakan ungkapan apabila kamu orang Afrika maka kamu akan selalu memainkan musik Afrika.
“Lupakan itu. Kamu bukan musisi karena kamu orang Afrika. Kamu seorang musisi karena kamu adalah musisi. Datang dari Afrika, tetapi pertama-tama, musisi."
Penulis: Sirojul Khafid
Editor: Alexander Haryanto