tirto.id - "Ini yang demo ini yang membela penguasa. Lucu a? (lucu kan?). Ini idiot-idiot mendemo orang yang tidak berkuasa."
Kalimat sarkas itu disampaikan musikus sekaligus politikus Partai Gerindra Ahmad Dhani dalam sebuah video yang ia rekam pada hari Minggu 26 Agustus 2018 di Hotel Majapahit, Surabaya. Konteks dari kalimat itu adalah Dhani hendak mencemooh orang-orang yang mengadang dirinya di depan hotel supaya tidak bisa mengikuti acara deklarasi #2019GantiPresiden di sekitar Tugu Pahlawan. Namun Dhani tidak menyebut spesifik siapa orang-orang yang ia sebut idiot itu.
Dhani tidak sendiri. Di hari dan tempat yang sama seorang pria berambut gondrong berbadan ramping yang duduk di dekatnya juga mengujarkan makian senada. Pria bernama Ferry Irawan itu bahkan memberi atribusi "Banser" dalam ucapannya. "Banser idiot," kata Ferry yang akhirnya meminta maaf atas ucapannya ke Banser.
Penggunaan istilah idiot sebagaimana disampaikan Dhani dan Ferry menuai kritik. Dwi Aryani, pegiat hak-hak kaum disabilitas menilai makian dengan lema "idiot", "cacat", dan "autis" bisa menimbulkan trauma bagi penyandang disabilitas yang mendengarnya. Mereka yang mendengar makian itu akan merasa dikucilkan dan tak berdaya.
“Label biasanya sudah diberikan sejak [penyandang disabilitas] masih kecil. Tapi dalam kaitannya menurunkan kepercayaan diri, tidak hanya anak kecil, yang sudah dewasa pun bisa merasa down," kata Dwi kepada Tirto pada Selasa (28/8/2018)
Mengacu Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), lema idiot berarti taraf atau tingkat kecerdasan berpikir yang sangat rendah, IQ kurang dari 20. Dalam konteks memaki, lema idiot digunakan untuk menghujat orang yang secara subyektif dianggap bodoh atau dungu oleh si pengujar. Padahal di kalangan para penyintas maupun pegiat hak disabilitas, kata idiot dianggap berkonotasi negatif. Sehingga perlahan kata itu digeser menjadi down syndrom dan kemudian digeser lagi menjadi disabilitas psikososial. Tujuannya supaya penyebutannya menjadi lebih ramah dan manusiawi untuk didengar.
Ariyani menilai ucapan Dhani dan Ferry menunjukkan rendahnya kepekaan masyarakat terhadap para penyandang disabilitas. “Kemarin sempat orang ramai-ramai menggunakan kata autis untuk mengolok anak-anak yang main gadget. Kata ‘cacat’ juga masih sering digunakan di masyarakat,” ujarnya.
Ariyani ialah penyandang disabilitas yang pernah menjadi korban diskriminasi. Dia ditolak Maskapai Etihad saat hendak ke Jenewa, Swiss untuk menghadiri pelatihan di kantor Perserikatan Bangsa-Bangsa. Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan gugatannya, Maskapai Etihad diharuskan ganti rugi materiil Rp37 juta dan immateriil Rp 500 juta.
Oleh karena itu, Dwi berharap tidak ada lagi pelabelan maupun stigma terhadap penyandang disabilitas yang hanya berujung pada diskriminasi. Ia mengatakan perlu adanya kesadaran pada tiap individu dan juga negara, bahwa penyandang disabilitas sekalipun bisa berkontribusi dengan caranya sendiri terhadap masyarakat. "Kita memang masih harus berjuang untuk mengubah persepsi,” jelas Dwi.
PR Besar
Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati juga membangun lingkungan yang ramah dan peka terhadap hak-hak penyandang disabilitas masih menjadi PR besar. Ia mengatakan tingkat diskriminasi bagi penyandang disabilitas di Indonesia masih tinggi. Maka dari itu, ia menilai perlu adanya bentuk penyadaran terhadap publik.
“Konsep diskriminasi itu kan orang tidak harus sengaja. Dalam doktrin diskriminasi pun tidak perlu ada niat, karena ukurannya itu [apakah bentuk diskriminasi] terjadi atau tidak,” kata Asfinawati kepada Tirto.
Asfina berharap masyarakat tidak lagi menggunakan kata-kata yang bertendensi menyudutkan penyandang disabilitas dalam mengucapkan makian. Menurutnya diskriminasi terhadap penyandang disabilitas muncul dari dalam pikiran, sehingga perlu kesadaran yang tinggi untuk membiasakan diri agar tidak melakukan pelabelan.
“Kita kerap mendengar kata ‘gila’ atau ‘sinting’, dengan intonasi yang buruk. Untuk menghilangkan [label] memang berat karena hal seperti ini telah dilakukan sejak kecil,” ungkap Asfinawati.
Ketua Umum Pimpinan Pusat Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) Yaqut Cholil Qoumas mengatakan pihaknya akan memperkarakan hukum orang-orang yang menyebut Banser idiot. "Saya tidak akan komentar terkait pernyataan orang yang mengatakan Banser idiot itu. Saya sudah perintahkan LBH Ansor untuk membawa kasus ini ke ranah hukum. Sekalian biar jera, dan tidak asal ngomong," ujar Yaqut saat dihubungi Tirto, Senin (27/8/2018).
Yaqut menekankan akan melaporkan pihak yang telah menyebut Banser itu idiot. Saat ditanya lebih lanjut mengenai pihak yang dimaksud, ia menjawab, "yang ngomong Banser idiot, kita sudah tahu identitas yang bersangkutan, hari ini akan dilaporkan."
Ia juga menjelaskan bahwa penolakan deklarasi gerakan #2019GantiPresiden itu tidak diperintahkan oleh GP Ansor Pusat. "Nggak ada Pimpinan Pusat memerintahkan kader untuk menolak acara 2019gantipresiden," kata Yaqut.
Dhani dalam kesempatan terpisah mengatakan dirinya tidak percaya orang-orang yang mengadang dirinya adalah Banser. Sedangkan Ferry telah menyampaikan permintaan atas ucapan idiot yang ia tujukan kepada Banser.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Dieqy Hasbi Widhana