tirto.id - Ketika Don Corleone mengirim potongan kepala kuda kepada Jack Woltz karena menolak mengorbitkan anak baptisnya, Johnny Fontane, ke dalam film terbarunya, Godfather tampak seperti sebuah film penuh teror dengan citarasa grotesque yang asing. Potongan kepala kuda itu memang asli, sebagaimana diakui oleh Francis Ford Coppola sendiri selaku sutradara. Namun, pertanyaannya: Apakah scene tersebut berdasarkan kisah nyata?
Salah satu desas-desus yang paling sering muncul ketika membincang topik ini kerap menyangkut nama Frank Sinatra. Konon, Sinatra diduga pernah menggunakan jejaring mafianya untuk meneror seorang produser bernama Harry Cohn agar memberikannya sebuah peran dalam "From Here to Eternity”, film yang diadaptasi dari buku James Jones dengan judul yang sama pada 1953.
Peran yang diinginkan Sinatra dalam film tersebut adalah tokoh bernama Angelo Maggio, seorang tentara keturunan Italia-Amerika bermulut besar. Persoalannya, Cohn sudah memiliki pilihan sendiri, yakni Eli Wallach, seorang bintang teater di Broadway yang kala itu namanya tengah moncer. Memang tidak pernah ada kepala kuda yang mampir di kamar Cohn, namun cerita selanjutnya adalah Sinatra berhasil menjadi Angelo Maggio, bahkan turut meraih Oscar.
Kisah Sinatra tersebut memang amat mirip dengan yang ditulis Mario Puzo pada film Godfather. Coppola pun pernah membenarkannya dengan mengatakan: "Jelas bahwa Johnny Fontane terinspirasi dari karakter semacam Frank Sinatra." Maka, ketika kemudian Sinatra bersemuka dengan Puzo dalam sebuah acara makan malam yang diselenggarakan oleh seorang jutawan di Chasen, restoran paling populer di Beverly Hills kala itu, ia segera mengonfrontasi pria bernama lengkap Mario Gianluigi Puzo tersebut.
Syahdan, sang jutawan mulanya bermaksud mengenalkan Sinatra kepada Puzo. “Aku ingin kamu bertemu dengan teman baikku, Mario Puzo,” ujarnya. Mendengar ajakan tersebut, Sinatra segera berucap ketus tanpa menoleh sama sekali: “Kurasa tidak perlu. Aku tidak ingin bertemu dengannya.”
Sang jutawan yang kemudian merasa ada sesuatu di antara kedua orang itu segera meminta maaf kepada Sinatra. Puzo pun berusaha mencairkan suasana dengan memberi tahu Sinatra bahwa perkenalan itu bukan idenya. Namun, setelah mendengar Puzo bicara, Sinatra langsung menanyakan hal yang selama ini ia pendam: "'Siapa yang menyuruhmu memasukkan (kisah itu) ke dalam buku, penerbitmu?” Belum pula Puzo menjawab, Sinatra sudah berteriak sambil memaki-maki.
Puzo, anehnya, justru mengenang hal tersebut dengan kocak: “Aku ingat itu. Dia tidak menggunakan bahasa kotor sama sekali, kok. Hal terburuk yang dia ucapkan adalah germo, yang mana justru membuatku tersanjung karena aku tidak pernah bisa mendapatkan pacar untuk meremas komedo dari punggungku.”
Sinatra turut mengatakan hal lain: Jika bukan karena Puzo lebih tua darinya, ia pasti akan segera menghabisinya saat itu juga. Khusus yang ini, Puzo makin tertawa geli:
"Apa yang lucu di sini adalah bahwa dia, seorang Italia utara, mengancam saya, seorang Italia selatan, dengan kekerasan fisik. Ini kira-kira setara dengan Einstein yang menodongkan pisau ke Al Capone. Orang Italia Utara tidak pernah macam-macam dengan orang Italia Selatan kecuali untuk membuat mereka dipenjara atau dideportasi ke pulau terpencil."
Terlepas dari kebenaran kisah tersebut, Puzo memang tak salah-salah amat jika betul “terinspirasi” Sinatra ketika menciptakan tokoh Johnny Fontane. Pasalnya, sudah menjadi rahasia umum bahwa penyanyi kelahiran 12 Desember 1915 itu adalah anak baptis Guarino "Willie" Moretti--biasa dikenal dengan nama Willie Moore--salah satu anggota keluarga mafia Genoa pimpinan Frank Costello yang cukup terkenal di Manhattan.
Melihat Perbedaan Mafia dengan Kartel
Hal menarik dari teror kepala kuda yang dilakukan Don Corleone kepada Woltz pada film Godfather atau desas-desus mengenai kisah Sinatra menggunakan jejaring mafianya untuk “menekan” Cohn, adalah bagaimana cara mafia memperlakukan musuh-musuhnya. Guna memahami hal ini, penting untuk melihat bagaimana perbedaan signifikan antara mafia sebagai organisasi kejahatan dengan kartel.
Satu hal yang perlu digarisbawahi sebelumnya: kartel tidak serta dikategorikan sebagai organisasi ilegal. Secara definitif, kartel merupakan grup yang mencoba mengendalikan aliran produk tertentu demi dapat mengendalikan harga. Sejauh produk yang menjadi bisnis mereka resmi di pasaran internasional, maka mereka akan terus memiliki azas legalitas. Contoh terbaik mengenai ini adalah OPEC (Organization of the Petroleum Exporting Countries), yang notabene adalah kartel negara-negara eksportir minyak.
Sementara itu, mafia merupakan organisasi kejahatan murni yang terorganisir dan hanya berasal dari Italia. Penting untuk menekankan asal kata mafia demi memahami kenapa kemudian dalam perjalanannya, kata tersebut menjadi semacam stereotip etnis yang ofensif terhadap orang Italia. Kendatipun banyak sindikat kejahatan dari negara lain yang memiliki struktur organisasi dan cara berbisnis sebagaimana mafia sebenarnya.
Mafia akan menjalankan operasi kejahatannya dalam suatu wilayah, dan demi menjaga keuntungan, mereka juga kerap bekerja sama satu sama lain. Bahwa kemudian sengketa teritorial kerap terjadi antar mafia, mari anggap itu merupakan bagian kecil dari bagaimana bisnis mereka bekerja. Perlu diingat pula, para pemimpin mafia selalu mengedepankan konsep musyawarah sebelum/sesudah pertikaian terjadi. Adegan ‘5 New York Families Meeting’ di Godftaher bisa menjadi salah satu contoh mengenai hal ini.
Perbedaan lain antara mafia dengan kartel adalah (biasanya) mafia kerap menjalankan beberapa bisnis lain (prostitusi, perjudian, narkotika, alkohol, hingga perdagangan manusia). Sedangkan kartel, sebagai contoh kartel di Amerika Latin, hanya mengambil keuntungan dengan fokus kepada satu produk belaka: narkotika. Dan satu lagi: kartel nyaris tak pernah sudi bermusyawarah. Jika sekali dua ancaman tidak mempan, maka bunuh siapa saja yang berkaitan dengan orang tersebut adalah kewajiban.
Ingat apa yang dikatakan Pablo Escobar kala mengancam Horatio Carrillo, pemimpin pasukan khusus pemberantas kartel, ketika mereka saling memaki di telepon? Seperti orang kesetanan, Escobar bilang: "Yo mato a su mama, a su papa, a su hermanito, a su abuela y si su abuela esta muerta la desentierro y la vuelvo a matar." Artinya kurang lebih: "Aku akan membunuh ibumu, ayahmu, adikmu, nenekmu, dan jika nenekmu sudah mati, aku akan menggali kuburnya dan membunuhnya lagi."
Betul bahwa Escobar pernah mengajak segenap pemimpin kartel lain bertemu untuk membicarakan strategi balasan terhadap kelompok vigilante komunis M-19 yang telah menculik Martha Ochoa, adik dari Ochoa Bersaudara, salah satu gembong narkotika di Kolombia kala itu. Namun, cara ini sebetulnya merupakan langkah politik Escobar untuk mengkooptasi seluruh kartel tersebut, sebagaimana yang turut dijelaskan dalam serial film Narcos.
Hingga di sini, perbedaan utama antara mafia dengan kartel terletak dari cara mengorganisir diri. Jika mafia mengedepankan negosiasi dan teror, kartel cenderung mudah menempuh jalan pintas dengan kekerasan. Selain itu, mafia juga amat mengutamakan anggota yang memiliki darah Italia, sementara kartel mempersetankan betul hal ini. Kasus Tommy DeVeto (diperankan dengan luar biasa oleh Joe Pesci) dalam film Goodfellas adalah pengecualian yang langka.
DeVeto dihabisi karena telah membunuh Billy Batts yang merupakan kerabat dari keluarga Gambino (satu dari lima keluarga mafia kesohor di Amerika). Dan hal tersebut, para pembaca sekalian, merupakan "pelanggaran yang tak termaafkan dalam kode etik La Cosa Nostra."
Kekejaman Mafia dalam Menghabisi Musuh-Musuhnya
Mike Vigil, mantan kepala DEA (Drug Enforcement Administration) yang tampil dalam film dokumenter tentang peredaran kokain di Bolivia berjudul Wildlands, menyebut kekejaman kartel (di Amerika Latin) membuat ISIS tampak seperti "sekelompok bocah paduan suara".
Ya, untuk urusan kekejaman, kartel jelas merupakan sindikat pengumbar pornografi kekerasan tanpa tanding. Kendati begitu, mafia juga punya level kekejamannya sendiri. Meski, ya, "hanya" sebatas dar-der-dor yang bagi para penikmat adegan sadis bakal dianggap ecek-ecek belaka. Berikut contoh beberapa kekejaman tersadis mafia yang pernah dilakukan.
Pada 20 Juni 1947, ketika tengah asyik membaca LA Times, Benjamin "Bugsy" Siegel, seorang mafia terkenal di Las Vegas, tewas di rumah pacarnya setelah ditembak hingga sembilan kali menggunakan senapan 30-caliber military M1 oleh seorang pembunuh bayaran. Yang mengerikan: salah satu peluru dengan tepat mengenai mata kiri Bugsy hingga berlubang.
Siapa pembunuh Bugsy hingga sekarang tak pernah teridentifikasi. Namun, rumor menyebutkan bahwa ia merupakan orang suruhan dari Meyer Lanksy, saingan bisnis Bugsy yang juga mantan rekannya. Rumor tersebut muncul karena tak sampai 24 jam usai Bugsy tewas, Lanksy segera mengambilalih Flamingo Hotel & Casino di Las Vegas milik korban. Teori lain mengatakan bahwa Bugsy dibunuh oleh pacar istri sahabatnya yang bernama Mathew “Moose” Pandza.
Albert Anastasia, salah satu pemimpin sindikat keluarga Gambino, ditembak sebanyak lima kali oleh dua orang pembunuh bayaran ketika ia tengah potong rambut di Park Sheraton Hotel, New York, pada 1957. Konon, pembunuhan itu didalangi oleh Vito Genovese, saingan bisnis Anastasia, dan juga Carlo Gambino, sosok yang secara struktur organisasi keluarga Gambino levelnya berada di bawah Anastasia. Motifnya, tentu saja, demi meraih kekuasaan.
Walter Sage, anggota Murder Inc. (sindikat mafia di Brooklyn yang mayoritas anggotanya merupakan keturunan Italia-Amerika dan penjahat Yahudi), dibunuh pada Juli 1937 oleh dua orang rekannya, Irving Cohen dan Jack Drucker, dengan cara ditusuk memakai tongkat pemecah es sebanyak 32 kali. Setelah itu, mayat Sage diikat di mobil dan ditenggelamkan ke dalam Danau Swan Lake. Pembunuhan itu dilakukan karena mereka menganggap Sage selama ini telah berkhianat dan berbisnis demi keuntungan pribadi.
Pada 1979, seorang pembunuh bertopeng menyerbu masuk ke restoran Joe and Mary's di Brooklyn untuk menghabisi nyawa Carmine Galante, mafia veteran yang merupakan salah satu musuh sindikat Gambino. Ketika Galante terlihat tengah asyik menyantap hidangan bersama sang pemilik restoran, Giuseppe Turano dan pengawalnya, Leonard Coppola, pembunuh itu segera melepaskan tembakan hingga menewaskan ketiga orang tersebut.
Apa yang "aesthetic" dari penembakan tersebut ialah bagaimana posisi Galante setelah tewas: ia terpental dari kursi duduknya dengan cerutu yang masih menempel di sela bibir. New York Times pernah menampilkannya dalam tulisan berjudul 'What the Mexicans Might Learn From the Italians'.
Editor: Suhendra