tirto.id - Pada 2013, Edward Snowden bikin heboh dunia. Terkait pekerjaannya sebagai kontraktor swasta yang langsung bersinggungan dengan National Security Agency (NSA), ia membocorkan rahasia Amerika Serikat.
Snowden membocorkan ribuan dokumen agensi kriptografi Amerika Serikat itu. Glenn Greenwald, jurnalis yang diajak Snowden bekerja sama, menggondol 60 GB data yang memuat sekitar 58 ribu berkas data. Sebagai perlindungan, data-data tersebut dienkripsi menggunakan TrueCrypt, aplikasi enkripsi open source (sumber terbuka) yang langsung direkomendasikan Snowden. Sementara itu, Matthew Green, ahli keamanan digital, menyebut bahwa aplikasi tersebut merupakan "well-designed aplikasi kriptografi".
Kehebatan TrueCrypt tak hanya diakui Snowden atau Green. Menurut laporan The New Yorker, aplikasi enkripsi itu juga digunakan ISIS mengamankan dokumen-dokumen digital mereka. Media tersebut bahkan menyebut bahwa TrueCrypt merupakan “aplikasi enkripsi berkas digital terkuat sejak diluncurkan pada 2004.”
Sayangnya, saat Snowden beserta rekannya menggunakan TrueCrypt, tidak ada yang tahu pasti siapa pembuat aplikasi tersebut. Laporan Wired pada 2004 menyebut TrueCrypt, berdasarkan data registrasi domain publikasi aplikasi, mengarah pada seorang programmer asal Republik Ceko bernama David Tesarik.
“TrueCrypt bagaikan misteri, karena, tidak seperti proyek open source lainnya, TrueCrypt dikembangkan oleh pengembang anonim,” tulis Wired.
Namun, kemudian terkuak bahwa TrueCrypt dibuat dengan dasar aplikasi enkripsi bernama E4M (Encryption for the Masses). Lantas, siapa di balik E4M? Ialah Paul Calder Le Roux, programmer kelahiran Zimbabwe.
Paul Le Roux lahir pada 24 Desember 1972 di Zimbabwe. Siapa ayah dan ibu kandungnya tidak diketahui dengan pasti. Ada spekulasi berkembang yang menyebut kedua orangtua Le Roux merupakan orang miskin. Akibatnya, dalam akte kelahiran Le Roux, tertulis “unknown" sebagai namanya. Nama “Paul Le Roux” sendiri kemudian didapatkan selepas sebuah keluarga yang tinggal di desa bernama Mashava mengadopsinya.
Le Roux tumbuh dengan kecintaan pada komputer. Selepas rajin mencuci mobil sang ayah angkat, Le Roux memperoleh komputer pertama. Pada akhir 1990an, Le Roux bertransformasi. Ia menjadi seorang pengembang software dengan menciptakan E4M (Encryption for the Masses), aplikasi enkripsi berkas-berkas digital dalam komputer.
Sayangnya, sebagaimana diceritakan jurnalis investigasi Evan Ratliff kepada Jonny Auping yang dipublikasikan Longreads, aplikasi ciptaannya itu tidak mendatangkan uang. E4M merupakan aplikasi open source, sehingga tidak ada keuntungan mengalir bahkan jika banyak yang menggunakan.
“Kini, saya menginginkan uang!” tegas Le Roux.
Sayangnya, bukannya menciptakan aplikasi lain yang lebih menjanjikan, Le Roux berubah haluan. Ia bertransformasi menjadi Pablo Escobar: menjadi penjual obat-obatan ilegal, khususnya obat penenang rasa sakit secara online kepada publik Amerika Serikat.
Salah satu obat yang dijual Le Roux ialah Tramadol, obat penenang yang hingga kini belum dimasukkan sebagai “obat yang wajib diatur peredarannya” oleh Pemerintah Amerika Serikat. Padahal, obat ini bisa berefek serius jika pemakaiannya tidak dibatasi.
“Saya pikir, Le Roux adalah individu penyumbang epidemi obat penenang terbesar,” tegas John Horton, pendiri LegitScript, firma yang memonitor aktivitas jual-beli obat-obatan di dunia maya.
Sebagaimana Escobar, Le Roux menjalankan bisnisnya dengan cara berkelas. Ia menyebar serpihan-serpihan bisnisnya agar sukar dideteksi. Menjalankan jual-beli online di Filipina, mengambil bahan baku dari Cina dan Korea Utara, serta memiliki pusat layanan pelanggan di Israel. Untuk memperkuat, Le Roux juga mempekerjakan dokter dan ahli kimia berkualitas.
Dipilihnya Filipina sebagai pusat jual-beli karena lokasi tersebut terpencil. Sukar dideteksi agen pemerintah. “Pada dasarnya, di Asia, ini adalah tempat kumuh terbaik yang dapat kita temukan, yang memberi kita kemampuan untuk mengirim ke mana pun. Ini posisi terbaik di Asia. Dan juga tempat yang buruk,” tegas Le Roux.
Terakhir, sebagai pengaman, Le Roux memiliki pasukan eks militer yang siap sedia menghabisi siapa saja yang mengganggu bisnisnya, termasuk agen pemerintah. Ia juga mempunyai senjata-senjata yang didapatkan secara ilegal dari Iran.
Kerja hitam Le Roux terbilang tertutup, khususnya oleh masyarakat luas. Evan Ratliff, yang menulis kisahnya dalam buku The Mastermind” baru mengetahui nama Le Roux pada 2014. “Ketertutupan adalah salah satu bukti bahwa Le Roux jenius,” kata Ratliff.
Namun, meski tertutup, kebengisan Le Roux di dunia kriminal tidak diragukan. Dalam 20 tahun kariernya, Le Roux bukan hanya menjual obat-obatan ke publik Amerika, tetapi juga menjual berbagai peralatan tempur. Ia, misalnya, pernah menjual misil ke Iran, menjual senjata dari Indonesia ke negara-negara yang membutuhkan.
Yang unik, tak cukup mempersenjatai 200 militan Somalia, Le Roux menciptakan pasukan khusus di negeri itu untuk menggulingkan pemerintahan Seychelles, bajak laut penguasa Somalia. Lalu, pada 2012, Le Roux diketahui pernah membantu DEA, BNN-nya Amerika, melakukan operasi khusus di Thailand.
Bantuan tersebut diperkirakan membantunya mengamankan bisnis-bisnis yang dijalankan.
Sebagai begundal, Le Roux mengakui bahwa ia pernah melakukan lima kali pembunuhan, langsung dengan tangannya. Dalam beberapa kasus, pembunuhan yang dikehendakinya diamanatkan pada pasukan khusus miliknya sendiri. Salah satunya pembunuhan terhadap Catherine Lee, agen real-estate Filipina.
Lee dibunuh Le Roux melalui tiga eks-militer yang dipekerjakannya, dengan cara ditembak mati tepat di wajahnya. Dalam pengakuan Le Roux, jasad Lee dibuang ke tempat sampah, dan mengatakan bahwa Lee dibunuh karena "saya hanya ingin dia mati". Pembunuhan tersebut membuat Le Roux ditangkap pada 2018 lalu.
Le Roux merupakan penjahat yang unik. Ratliff menyematkan Le Roux sebagai “most versatile criminal in history” dan menilai bahwa startup yang diciptakannya sukses, sebagaimana Mark Zuckerberg dan Peter Thiel menciptakan Facebook dan PayPal.
“Level bisnis yang dijalankan Le Roux sama seperti startup yang kita kenal kini, Facebook atau PayPal,” tutur Ratliff.
Editor: Maulida Sri Handayani