tirto.id - “Para politikus mengatakan kita berada dalam situasi perang. Namun segala teror itu terjadi di Perancis. Mereka bukan musuh yang berasal dari negara lain. Mereka anak-anak Perancis. Mereka warga negara Perancis. Kita tidak bisa menyatakan perang melawan mereka,” ungkap Nicolas Boukhrief kepada The Guardian saat berbicara mengenai filmnya yang berjudul Made in France (2015).
Made in France mengisahkan petualangan Sam (diperankan Malik Zidi), seorang jurnalis yang menyusup ke sebuah kelompok jihadis guna melakukan investigasi. Keinginan Sam didasari maraknya aksi teror yang terjadi di Perancis. Untuk masuk ke kelompok jihad, ia punya modal yang cukup; dari ayahnya mengalir darah Aljazair, ia paham al-Qur’an dan fasih berbahasa Arab. Dengan masuk ke dalam kelompok jihad, Sam berharap dapat mengetahui bagaimana pola pikir mereka.
Kelompok yang dimasuki Sam dipimpin oleh Hassan (Dimitri Storoge), pemuda Paris yang baru saja kembali dari pelatihannya bersama al-Qaida di Afghanistan. Hassan yang juga bekerja sebagai penjual sepatu di toko perbelanjaan memiliki motivasi kuat untuk menyerang orang-orang Kristen. Lalu ada Christophe (Francois Civil), anak muda kaya dari keluarga katolik yang taat. Kemudian Driss (Nassim Si Ahmed), mantan pelaku teror beraksen Arab kental yang bertemu Hassan di penjara. Terakhir ada Sidi (Ahmed Drame), imigran Afrika yang paling khawatir dengan rencana aksi kekerasan mereka.
Hassan yang baru saja kembali dari pelatihan mengatakan kepada teman-temannya dalam kelompok bahwa mereka “telah dipilih” al-Qaeda untuk melakukan ‘taqiya,' yakni praktik menyamarkan kepercayaan untuk menghindari persekusi. Guna memuluskan rencana tersebut, Hassan telah memberi instruksi antara lain untuk mencukur jenggot dan membaur dalam masyarakat sebelum melangsungkan serangan teror yang kelak mengguncang Paris.
Kondisi tersebut membuat Sam yang awalnya menyamar sebagai seorang jihadis harus kembali menyamar sesuai instruksi Hassan untuk berasimilasi dengan masyarakat secara normal. Mau tidak mau, langkah itu musti dijalankan Sam dengan baik agar kerja-kerja investigasinya tak berujung sia-sia.
Seiring waktu, konflik mulai bermunculan. Sam sadar bahwa keputusannya untuk bergabung dengan kelompok radikal akan membahayakan keluarganya. Pikiran itu terus menghantui dirinya. Selain itu, selepas mengenal dan masuk lebih jauh dalam aktivitas kelompok jihad, Sam mulai menyadari ada perbedaan mendasar antara para jihadis dan Muslim yang taat. Layaknya neo-Nazi, Sam menganggap aktivitas jihad yang mereka lakukan sekadar ekspresi haus kekerasan dengan embel-embel Islam.
Melalui Made in France, Boukhrief ingin mengingatkan bahwa tidak semua orang Arab merupakan jihadis dan tidak semua jihadis adalah orang Arab. Di saat bersamaan, Made in France juga ingin menunjukkan bahwa siapapun bisa menjadi teroris, termasuk warga Perancis sendiri sebagaimana yang dialami tokoh Christophe.
Baca juga: Eropa Setelah Teror Brussels
Upaya Boukhrief Menghapus Terorisme
Keinginan Boukhrief untuk membuat film tentang terorisme kelompok Islamis sebetulnya sudah muncul sejak lama, tepatnya pasca serangan terhadap jaringan transportasi Paris yang dilakukan oleh Kelompok Islam Bersenjata (GIA) dari Aljazair pada 1995. Dalam serangan tersebut, delapan orang tewas dan ratusan lainnya luka-luka.
Namun, niat tersebut tertahan karena pengalaman produksi film yang minim. Tekad Boukhrief kembali bulat kala serangan Mohamed Merah (muslim Perancis bernama Mohamed Legouad) menewaskan tiga tentara, tiga pelajar Yahudi beserta guru pada 2012.
“Saya pikir Mohamed Merah menandai dimulainya sesuatu yang mengkhawatirkan di Perancis. Dia bukan satu-satunya pria bersenjata dan dia telah dirasuki gagasan jihad untuk menjadi tentara al-Qaida. Saya bertanya-tanya apa yang membuat pemuda Perancis memutuskan untuk membunuh tentara dan anak-anak Perancis. Saya bertanya-tanya apa yang membuat Mohamed membunuh Mohamed lainnya,” ungkapnya kepada The Guardian.
Boukhrief pun mulai mempersiapkan segala hal untuk menunjang keperluan produksinya, termasuk pendanaan. Namun sejak pembuatan film ini dimulai, ada saja gangguan yang muncul. Masalah utama yang dihadapi antara lain Made in France dirasa sulit laku di pasaran, anggaran yang relatif kecil (hanya mendapatkan 2,8 juta euro dari Canal+), hingga otoritas lokal Paris yang tidak memberikan izin syuting. Untuk masalah terakhir, Boukhrief bahkan sempat mengajukan skenario palsu, mengganti subyek teroris muslim dengan mafia Rusia.
“Gagasan yang hendak saya tuangkan dalam Made in France diterima dengan rasa takut oleh publik. Sedangkan pihak produser menganggap ini film marjinal dan tidak menjual. Kami sulit menemukan sokongan yang tepat untuk film ini,” pungkasnya. “Belum lagi saat proses produksi dimulai, semakin banyak kenyataan yang dihadapi mulai dari al-Qaeda sampai munculnya Daesh.”
Setelah produksi film selesai, masalah tak kunjung pergi. Kali ini tentang tanggal rilis. Menurut rencana semula, Made in France akan dirilis pada Januari 2015. Sayangnya, rencana itu terpaksa batal karena serangan teror menerpa kantor majalah satir Charlie Hebdo dan supermarket yang dimiliki seorang Yahudi di pinggiran Paris selama tiga hari berturut-turut dan menewaskan 17 orang.
Pihak distributor yang diwakili Pretty Pictures terpaksa menjadwal ulang waktu rilis. Akhirnya, 18 November disepakati sebagai tanggal rilis. Namun, lagi-lagi serangan teror pada 13 November menyebabkan film ini batal diputar. Skalanya pun lebih besar daripada serangan Charlie Hebdo, dengan korban ratusan orang dan TKP di sejumlah titik pusat kota Paris. Pihak distributor pun akhirnya membatalkan untuk menghormati para korban. Sebagai solusinya, Made in France dirilis secara daring melalui layanan video-on-demand dari saluran televisi Perancis, TV1 pada 29 Januari 2016.
Secara umum, Boukhrief menolak memberikan simpati untuk segala bentuk terorisme. Tapi ia juga tak pernah mengerti apa yang membdorong para pelaku teror bertindak begitu brutal. Bagi Boukhrief, upaya-upaya memahami para teroris tak bisa dikorelasikan dengan upaya memaafkan mereka seperti yang pernah diutarakan mantan Perdana Menteri Perancis Manuel Valls.
Baca juga: Bom Manchester, Inghimasi, dan Taktik ISIS di Era Digital
“Bagi seseorang dengan nama ‘Mohamed’, seperti halnya ayahku, aksi-aksi terorisme jadi bahan empuk untuk bulan-bulanan. Bukan hanya dari segi fisik saja; tidak bisa memperoleh tempat tinggal, pekerjaan, bahkan dilarang masuk ke kelab malam. Intinya, tuduhan teroris lahir dari stigma dan tindak terorisme tidak terkait secara langsung dengan kebijakan imigrasi,” jelasnya.
“Saya ingin mengerti kenapa pemuda-pemuda ini rela melakukan aksi bunuh diri seraya membunuh banyak orang atas nama ideologi. Bagaimana bisa sebuah negara layaknya Perancis menghasilkan orang-orang militan seperti ini?” kata Boukhrief. “Made in France merupakan film dengan tema penuh kekerasan. Namun, yang mau saya eksplorasi adalah fanatisme terhadap ideologi tertentu yang membutakan hati nurani manusia.”
Boukhrief menambahkan alih-alih melihat teroris sebagai seorang psikopat, pembunuh berdarah dingin, maupun sebutan-sebutan lainnya, sudah seharusnya masyarakat mulai bertanya hal apa yang membuat mereka menjadi demikian. Apa yang membuat mereka percaya dengan ideologi dan segala macam fanatisme buta? Dan apa yang bisa masyarakat lakukan untuk menyelesaikan permasalahan ini?
“Saya tidak memaafkan mereka atau memberikan rasa simpati kepada teroris. Namun, apabila kita tidak memahami mereka, tidak menganggapnya sebagai manusia, dan tidak bertanya motivasi apa yang membuat mereka melakukan tindakan ini, kita tidak akan pernah benar-benar menyelesaikan permasalahan terorisme,” pungkasnya.
Teror 2015
Paris, ibukota Perancis yang sering disebut kota paling romantis, indah, artistik, hingga penuh cinta nyatanya tak luput dari serangan terorisme. Masih terekam dengan kuat bagaimana serangan teror yang brutal membuat seisi kota jatuh dalam kepanikan akut pada 13 November 2015 silam.
Serangan yang dilakukan pada waktu itu dilakukan oleh kelompok militan Negara Islam atau sering disebut dengan ISIS. Teror yang terdiri atas penembakan dan ledakan bom menyebabkan 130 orang tewas dan lebih dari ratusan lainnya mengalami kondisi kritis. Presiden Perancis kala itu Francois Hollande menyebutnya sebagai “tindakan perang” yang dilakukan oleh ISIS.
Menurut Jaksa Agung Paris Francois Molins, terdapat “tiga tim terkoordinasi” yang diduga kuat berada di balik serangan 13 November 2015. Guna menangkap pelaku teror, pihak kepolisian Perancis melakukan razia di seluruh penjuru negeri. Upaya pencarian pelaku juga diperluas hingga Brussels, Belgia.
Teror malam itu terjadi di sejumlah titik di pusat kota Paris. Tiga ledakan di luar stadion Stade de France mengawali teror. Saat itu di dalam stadion sedang dihelat pertandingan sepakbola antara Jerman melawan Perancis. MengutipWall Street Journal, seorang pria dilaporkan dicegat masuk setelah petugas keamaan menemukan bahan peledak di dalam bajunya. Tak lama kemudian, pria tersebut mundur dan meledakkan bom. Seisi stadion panik dan berusaha keluar menyelamatkan diri.
Baca juga:Kisah Pilu Ibu Kombatan ISIS dari Eropa Hingga Amerika Utara
Sementara itu, serangan lainnya juga terjadi di tempat lain dekat pusat kota. Tidak jauh dari Place de la Republique, orang-orang dengan senapan semi-otomatis menembaki kerumunan di sekitar bar Le Carillon dan restoran Le Petit Cambodge. Korban dari penembakan tersebut berjumlah 15 orang sedangkan 15 lainnya terluka parah. Menyusul kemudian serangan yang terjadi di beberapa ruas jalan selatan Rue Alibert (depan restoran pizza Café Bonne Biere dan La Casta Nostra de la Fontaine au Roi). Lima orang tewas dan delapan lainnya terluka parah.
Aksi teror mematikan malam itu menyerang gedung konser di Boulevard Voltaire yang terletak di distrik 11. Ketika itu, kelompok musik asal California, Eagles of Death Metal sedang manggung. Diperkirakan sekitar 1.500 orang menonton konser tersebut. Saksi mata menyebutkan pelaku teror (berjumlah tiga orang) tiba di lokasi dengan mengendarai Volkswagen Polo berwarna hitam. Setelahnya, mereka menyerbu melalui pintu utama sebelum masuk ke bagian belakang gedung konser. Serangan itu menyebabkan 89 orang meninggal dan 99 lainnya kritis.
Baca juga: Polisi Sebut Serangan di London sebagai Aksi Teroris
“Kami kira itu letusan kembang api. Tapi ada beberapa orang yang menembaki ke semua arah. Kami hanya bisa terbaring di lantai dan mulai merangkak ke panggung,” ujar salah satu penonton seperti dikutip BBC. Dalam serangan di gedung konser tersebut, salah satu pelaku berteriak “Allahu akbar” dalam bahasa Arab di samping juga menyalahkan Presiden Hollande karena melakukan intervensi di Suriah.
Semenjak aksi teror Paris, Presiden Hollande mengumumkan keadaan darurat di seluruh wilayah Perancis dan memerintahkan aparat untuk lebih ketat mengawasi daerah perbatasan. Joseph Downing, pengajar tamu di European Institute dan London School of Economics and Political Science menjelaskan bahwa permasalahan terorisme harus menjadi tanggung jawab bersama di Perancis.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf