tirto.id - Masa kehamilan hingga melahirkan adalah waktu yang penting bagi orangtua. Baik bagi ibu yang sedang hamil maupun ayah yang bersiaga, momen-momen ini selayaknya dijalani bersama. Namun, masih banyak orang berpikir bahwa kehamilan, melahirkan, menyusui, hingga membesarkan anak adalah tugas perempuan. Cara pandang inilah yang kemudian membuat banyak orang merasa aneh dengan kebijakan cuti melahirkan untuk ayah.
Di banyak negara maju, kebijakan cuti hamil atau melahirkan bagi ayah sudah biasa diberikan. Ini terjadi karena memiliki anak adalah tanggung jawab bersama, bukan hanya tugas ibu. Ada negara yang memberikan cuti hingga dua minggu bagi ayah yang baru saja mempunyai melahirkan merawat anak mereka. Dalam sebuah riset yang diterbitkan pada 2012 menyebutkan bahwa melibatkan ayah dalam perawatan anak yang baru melahirkan memiliki dampak positif baik bagi anak maupun bagi sang ayah.
Fenomena “Ayah Baru” ini muncul dan banyak terjadi di Amerika Serikat dan Eropa. Ayah Baru adalah mereka para ayah yang ambil bagian dalam proses kehamilan, melahirkan, dan membesarkan anak. Mereka diharapkan memberikan peran lebih banyak dalam pertumbuhan fisik dan emosi anak, memiliki hubungan lebih setara dengan pasangannya.
Sementara itu, hasil riset dari empat negara maju seperti Amerika Serikat, Australia, Inggris, dan Denmark menunjukkan hal positif dari cuti melahirkan yang diambil oleh ayah. Para ayah yang mengambil cuti melahirkan diketahui lebih sering memberi makan, memakaikan baju, memandikan, dan bermain dengan anak.
Ayah di Denmark yang mengambil cuti melahirkan 70 persen lebih sering bermain dengan anaknya daripada yang tidak. Di Inggris, ayah yang mengambil cuti melahirkan lebih sering menghabiskan waktunya untuk membacakan buku bagi anak-anaknya daripada yang tidak. Dua aktivitas ini akan membuat ikatan emosi dan membuat ayah bisa memahami sulitnya merawat anak. Dampak positifnya adalah mereka bisa lebih menghargai pasangan dan lebih sayang pada anaknya.
Riset di Universitas Oslo pada 2010 menemukan cuti melahirkan bagi ayah meningkatkan kemampuan anak di tingkat sekolah dasar. Bagi anak perempuan, mereka bisa memiliki nilai yang baik apabila ayah mereka mengambil cuti melahirkan (di beberapa negara bisa sampai anak berusia sekolah). Tapi perlu diingat, variabel penting lain adalah ayah-ayah dari negara maju ini memiliki tingkat pendidikan yang tinggi dan pekerjaan jauh lebih mapan. Kebanyakan dari mereka yang mengambil cuti melahirkan dan merawat anak memiliki penghasilan lebih tinggi sehingga tidak khawatir soal uang.
Ayah yang mengambil cuti melahirkan akan membantu karier istrinya. Saat beban tanggung jawab dibagi, ibu yang melahirkan bisa melanjutkan pekerjaan mereka segera setelah mereka sehat kembali. Artinya, mereka bisa fokus bekerja karena tahu anak mereka akan dirawat oleh ayahnya sendiri. Ibu yang bekerja ini pun bisa lebih maksimal mengejar karier. Dengan adanya kesadaran bahwa tanggung jawab bekerja dan merawat anak merupakan tugas bersama pasangan, perempuan tak perlu takut kariernya terhambat karena memiliki anak.
Lantas bagaimana kebijakan cuti hamil di negara-negara maju? Di Swedia, ibu mendapatkan 480 hari libur dengan 80 persen gaji, sementara ayah mendapatkan 90 hari libur dengan gaji penuh.
Di Slovenia, seorang ayah mendapatkan 90 hari libur. Untuk 15 hari pertama, gaji mereka dibayar penuh, sementara 75 hari sisanya dibayar dengan upah minimum. Libur kehamilan bisa mencapai 105 hari, termasuk 28 hari menjelang kelahiran bagi ibu hamil.
Sementara itu, sistem cuti kehamilan di Norwegia sungguh fleksibel dan murah hati. Seorang ayah bisa mengambil hingga 10 minggu libur tergantung pendapatan istri mereka, sedangkan seorang ibu bisa mendapatkan 35 minggu cuti dengan gaji penuh. Keduanya bisa mendapatkan libur hingga 46 minggu dengan gaji penuh, dan 56 minggu libur dengan 80 persen gaji.
Lantas bagaimana di Indonesia? Sebelumnya Tirtopernah menulis tentang Kokok Dirgantoro, seorang pengusaha yang memberikan cuti ayah satu bulan mengungkapkan alasan memberikan cuti bagi ayah yang baru memiliki anak agar mereka bisa lebih dekat dengan anak dan istrinya. Ia berpendapat bahwa relasi anak dan ayah pada saat-saat awal masa kelahiran penting.
“Terutama untuk membantu istri menghadapi baby blues,” katanya. Ia sendiri menilai ayah yang-tinggal-di-rumah bukan pekerjaan yang mudah, karena perlu komitmen tinggi dan perjuangan karena mesti merawat anak bayi yang baru lahir secara total.
“Siapa yang tugasnya cari uang atau kerja di luar rumah dan siapa yang stay at home ngurus anak. Nah, ketika sekarang makin banyak perempuan dengan pendidikan tinggi, karier bagus dan lain-lain, pada akhirnya jadi enggak relevan kalau ada anggapan tempat perempuan adalah di urusan domestik,” jelasnya.
Sementara itu, Menteri Keuangan Sri Mulyani mendukung usulan pemberian gaji penuh termasuk tunjangan kinerja kepada pegawai negeri sipil perempuan yang sedang mengambil cuti melahirkan (maternity leave).
"Tunjangannya harus dibayar penuh, karena perempuan hamil itu bukan salahnya dia, tapi karena kerja sama. Dia bukan lagi liburan, karena itu tugas luar biasa berat," kata Sri Mulyani dalam acara dialog dengan pejabat wanita eselon dua dan tiga Kementerian Keuangan di Jakarta, Jumat (28/4/2017).
Seperti diwartakan Antara, menkeu mengatakan pemberian gaji penuh tersebut kepada perempuan bekerja yang sedang mengambil cuti melahirkan untuk memberikan apresiasi kepada wanita yang selama ini telah memberikan kontribusi besar kepada keluarga dan negara.
"Kalau Indonesia mau melakukan itu, kita lebih maju dari AS, karena di AS paternity leave-nya tidak dibayar. Kita mungkin belum semaju perusahaan di Eropa, tapi lebih bagus kalau di Kementerian Keuangan mulai mengikuti," katanya.
Ia memastikan upaya untuk mendorong pengarusutamaan gender juga sedang dilakukan pemerintah, di antaranya melalui penyusunan desain perencanaan belanja dalam APBN, yang disesuaikan untuk menjawab isu-isu terkait dengan permasalahan kaum perempuan.
"Saya akan melihat seluruh pengarusutamaan berarti dari sisi konsekuensi APBN, bagaimana membuat dimensi gender dalam keseluruhan perencanaan maupun perancangan atau desain bujet. Jadi tidak hanya insiatif satu kementerian, namun merupakan policy nasional," ujarnya.
Menariknya, tahun lalu ratusan buruh perempuan yang tergabung dalam Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI) Bandung Raya berunjuk rasa di Gedung Sate Bandung menuntut adanya cuti haid, cuti hamil dan melahirkan dalam rangka memperingati Hari Perempuan Internasional, Selasa, (8/3/2016).
"Banyak buruh perempuan kontrak, ketika hamil dirampas hak-haknya, mereka dikeluarkan, cuti melahirkan juga tidak dibayar. Dalam undang-undang ini dijamin, tapi kenyataannya nol besar. Anehnya pemerintah juga diam saja," jelas kordinator aksi, Lina.
Lina juga menambahkan, buruh perempuan masih menghadapi berbagai persoalan pelik seperti Undang-undang Ketenagakerjaan yang diskriminatif, pelarangan membangun serikat buruh, hingga pelecehan seksual yang mendorong mereka untuk menuntut hak-hak dan kesetaraan bagi kaum perempuan.
"Para buruh perempuan seringkali memperoleh tindakan diskriminasi dari perusahaan tempat mereka bekerja. Seperti tidak memperoleh hak-hak mereka seperti cuti hamil, cuti melahirkan hingga cuti haid," kata dia.
Penulis: Arman Dhani
Editor: Maulida Sri Handayani