tirto.id - Wendi Putranto, salah satu co-founder M Bloc Space, berkisah bahwa kini penghasilan sebagai pedagang starling bisa lebih mencukupi kebutuhan sehari-hari ketimbang jadi kru tata cahaya konser musik.
Ia menuturkan kisah pilu itu di depan panggung Live Space, ruang konser di M Bloc Space yang tadinya begitu hidup dan ramai karena hampir setiap hari ada penampil dari musisi dalam negeri. Ketika kebijakan pembatasan sosial berskala besar diterapkan, ruang itu berubah jadi ruang paling sunyi di M Bloc Space. Sebulan belakangan, tempat itu dipakai jadi ruang webinar dan talkshow daring yang di antaranya terselenggara berkat kerja sama dengan beberapa lembaga pemerintahan.
Keramaian di M Bloc Space masih jauh dari sebelum pandemi, namun para penggeraknya tetap bergairah mencari cara untuk bertahan. "Jualan sembako," ungkap Wendi menyebutkan solusi mempertahankan bisnis pada masa pandemi. Ia bicara soal M Bloc Market, supermarket yang akan menjual barang-barang dari pelaku UKM dalam negeri. Rencananya unit usaha tersebut akan dibuka awal tahun depan.
Tim M Bloc Space menyebut supermarket itu indie grocery store. Istilah yang digunakan agar publik tetap bisa memahami citra M Bloc Space sebagai ruang kreatif yang memproyeksikan ide dan karya individu-individu dalam negeri.
Pusat Keramaian Jaksel
Pada Februari 2020 saya menyaksikan sebuah aksi yang amat manis di M Bloc Space. Seorang anak muda mengalungkan kertas karton merah muda bertuliskan “Pelukan Gratis”. Di sebelahnya berdiri kawannya yang menenteng wadah berisi mawar merah. Mereka meneriakkan ajakan kepada para pengunjung untuk membeli bunga dan kemudian bisa berpelukan dengan si pria berkalung karton—bila berkenan.
Tapi teriakan mereka berdua seperti menguap begitu saja. Jumat sore itu, M Bloc Space begitu padat bak pasar malam. Melangkah di jalan beraspal depan restoran seperti berjalan di gang senggol.
Sebagian besar pengunjung pada malam itu adalah fans Didi Kempot yang tergesa-gesa berjalan menuju area penukaran tiket konser bertajuk Tresno Ambyar Didi Kempot Live in Concert. Para remaja sadboy dan sadgirl serta tante-tante dan om-om yang ingin bernostalgia sudah memakai dresscode yang melambangkan kecintaan mereka pada sang idola.
Pada pukul 19.00, menjelang konser, suasana jadi agak lengang, tapi tak lantas membuat saya bisa duduk tenang. Tempat itu masih saja padat dan saya memilih pergi dari sana.
Mei lalu saya menghubungi Nonita Respati, pemilik restoran Mbok Ndoro yang mendatangkan Didi Kempot. Dia bercerita setiap penyewa yang mengisi M Bloc Space mesti mengadakan acara yang berpotensi mengundang massa dan sesuai dengan karakter atau brand retail-nya.
Didi Kempot ditampilkan karena Nonita menganggap sosoknya pas dengan filosofi usaha Noni—comfort food asal Solo dan Yogyakarta yang dikemas lebih pop sekaligus eye-catching.
“Didi ini istilahnya apa ya… ‘Ndeso tapi keren. Kita semua bisa sing along. Lagu-lagunya versatile. Dia bisa mendatangkan massa yang diverse. Dia sendiri pun approachable. Aku tuh seneng pas nonton konser yang dateng itu ibu-ibu ayu, bapak-bapak keren, dan fans militan Didi. Ada peleburan. Sesuailah sama spirit Mbok Ndoro,” ujar Nonita dengan logat Mataraman yang samar-samar terdengar.
Beruntung Nonita sudah mengenal Didi Kempot, yang sama-sama orang Solo. Slot manggung bisa ditetapkan segera. Malam itu 450 tiket terjual habis. Nonita dan tim sepakat menaruh layar di bagian luar area konser agar orang-orang bisa menonton. Bisa ditebak, area nonton gratis itu padat. Tiga bulan setelah konser itu digelar, Didi Kempot meninggal dunia.
Nonita semula angin-anginan membuka cabang di M Bloc Space. Desainer busana dan pemilik Hotel Yats Colony Jogja ini membuka Mbok Ndoro pada 2014 dengan konsep lesehan. Tapi, tahun lalu, ia memutuskan menerima tawaran dari manajemen M Bloc Space.
"Kami memang dikurasi. Karena di M Bloc itu diupayakan tidak boleh sama jenis usahanya dan karakternya dan diwajibkan untuk mengisi acara dan membawa crowd. Kami pikir, 'ya sudah… Seriuskan saja bisnis makanan ini,'" lanjut Noni. "Kami rebranding. Kami buat interior yang menarik, begitu pula ikon sosok Mbok Ndoro, menata interior, membuat wall art yang menarik hati publik."
Formula itu pula yang menurut saya dilakukan para penyewa lain: menata interior toko dengan estetik dan menyelenggarakan beragam acara. Seperti misalnya perusahaan rekaman lokal Demajors, yang menggelar konser kecil band Nona Ria di selasar toko pada Jumat sore, 14 Februari lalu—membuat suasana konser terasa intim dan menyenangkan.
Demikian pula ketika saya mendatangi bazar buku dan diskusi-diskusi yang diorganisasi komunitas Patjar Merah dalam area tenant Matalokal, toko penjualan suvenir, satu bulan sebelum konser Didi Kempot.
Sejak pertama kali datang pada awal Oktober 2019 sampai Februari lalu, hampir setiap minggu tempat ini menawarkan kebaruan. Baik dari sisi tenant maupun acara. Mulai dari yang besar seperti konser musik di ruang konser sampai yang kecil seperti pameran desain oleh para mahasiswa.
Tonggak Gaul Anak Muda
Jalan sore, kita berjalan-jalan sore-sore
Mencuci mata sambil berngeceng ria
Biarkan, biarlah.
Mumpung kita-kita masih muda
Mobil berjalan tidak kencang tidak laju
Sambil berkencan malah senang malah rindu
- “Jalan-Jalan Sore”, Denny Malik, 1989
Jacob Gatot Surarjo, co-founder M Bloc Space dan pendiri biro arsitektur Arcadia, mengingat lagu milik Denny Malik pada masa Lintas Melawai menjadi tren. Lintas Melawai merujuk aktivitas nongkrong anak muda di sepanjang jalan dari Gereja Blok B sampai Melawai Plaza.
“Setiap Minggu sore, orang-orang ‘tampil’ di situ dengan gaya yang mereka pikir paling keren. Orang-orang kaya yang mungkin tinggal dari Menteng datang dengan mobil yang dimodifikasi. Ya, umur-umur segitu pada masa itu—dewasa muda—pengennya have fun, ya, begitu caranya. Kulturnya begitu. Lucu, seru aja gitu liat orang bergaya,” kata Jacob, yang jadi anak nongkrong Lintas Melawai pada paruh kedua 1980-an.
Jacob menganggap masa itu Blok M jadi episentrum gaya hidup anak muda Jakarta. “Kesan ini bergeser ketika tumbuh mal di Jakarta. Akhirnya Blok M ditinggalkan dan bahkan ada degradasi dicap jadi daerah yang seram. Banyak preman.”
Ketika diserahi tanggung jawab untuk memanfaatkan aset mangkrak milik Percetakan Uang Republik Indonesia (Peruri), Jacob bilang dirinya dan tim pendiri M Bloc Space menghabiskan waktu sangat lama untuk memikirkan konsep ruang yang mampu mengembalikan kesan Blok M sebagai “episentrum” gaya hidup, tapi tetap relevan. Di bawah PT Ruang Riang Milenial, tim pendiri itu terdiri dari Jacob, Glenn Fredly (meninggal 8 April 2020), Handoko Hendroyono, Lance Mengong, Mario Sugianto, dan Wendy Putranto.
Lahan seluas 6.500 meter persegi akhirnya disulap menjadi konsep ruang meliputi area konser berkapasitas 350-500 orang, ruang ekshibisi, area retail food & beverages serta fesyen dan aksesori, juga area galeri produk kreatif (mata lokal). Seluruh tenant dimiliki oleh pengusaha dalam negeri.
“Andai model bisnis ini dibentuk lima atau 10 tahun lalu, geliatnya tidak akan secepat sekarang. Sesuai dengan target pasar kami, generasi milenial dan generasi Z yang bangga jadi seorang creativepreneur,” kata Jacob. “Pada zaman saya, profesi ini dianggap tidak keren. Yang keren dulu adalah kerja di korporat besar. Sekarang orang bangga jadi makers.”
Pada awal bulan ketiga M Bloc Space berdiri, Desember 2019, tempat itu dikunjungi 9.000-11.000 orang. Ini berdampak pada transaksi di tenant makanan dan minuman. Setiap bulan M Bloc Space mewajibkan tenant restoran atau kafe menghasilkan minimal Rp250 juta. Sepuluh persennya akan diberikan kepada pengelola dan pengelola akan menyerahkan sebagian ke Peruri.
Awalnya kerja sama pengelolaan aset mangkrak ini diproyeksikan untuk lima tahun ke depan. Peruri punya rencana lain dalam mengaktifkan kembali aset yang senyap. Mereka ingin mengubah aset kawasan di Blok M menjadi superblok komersial.
Sempat ada wacana seluruh gedung kosong yang masih berdiri sekarang nantinya dihancurkan. Tidak ada yang tahu bagaimana pastinya eksekusi rencana ini. Pihak Peruri, menurut Jacob, menginginkan gedung M Bloc Space akan dipertahankan bila terus mendapat respons yang baik dari publik seperti saat ini (terutama sebelum pandemi COVID-19).
“Fasad M Bloc itu bangunan khas 1950-an yang sebetulnya harus dijaga juga,” tambah Jacob.
'Aturan Main' di Blok M
Pada 2004 Veronika Widi Prabawasari, dosen arsitekur di Universitas Gunadarma, menulis makalah bertajuk “Konflik Manajemen Perkotaan di Kawasan Pemugaran Kebayoran Baru Zona Blok M dan Sekitarnya”. Ia menerangkan Kebayoran adalah kawasan satelit yang dibangun pada akhir 1940-an dan ditujukan sebagai kawasan perumahan.
Menurut wartawan cum pengamat sejarah Jakarta, Alwi Shahab, dalam artikel di harian Republika, Kebayoran Baru adalah upaya awal Kota Jakarta menyediakan fasilitas perkotaan secara terencana. Pada 1949 area Kebayoran Baru dipilih karena masih dipenuhi lahan hijau dan kualitas airnya dipandang baik. Di sana kemudian dibangun ribuan perumahan mewah sampai sederhana, juga jalan aspal, sekolah, dan pertokoan. Kelak, menurut Alwi, pemekaran kawasan berkembang jadi pusat pertumbuhan di selatan Jakarta.
Kebayoran Baru dibagi beberapa blok termasuk Blok M yang ditetapkan sebagai kawasan pertokoan dan perdagangan. Kawasan ini kelak jadi episentrum Kebayoran Baru. Selain jadi kawasan perdagangan, Blok M adalah kawasan transportasi publik menuju daerah-daerah lain di Jakarta.
Pada 1975 Pemda DKI Jakarta menerbitkan aturan pemugaran kawasan Kebayoran Baru setelah melihat area itu berkembang pesat jadi daerah perdagangan. Area kompleks Peruri semula dianggap “area pendukung”, yakni kawasan yang di antaranya berfungsi sebagai area perkantoran, lapangan hijau, dan pertokoan; meski pusatnya tetap Blok M (kawasan Blok M Square dan terminal saat ini).
Menurut Veronika, perkembangan Kebayoran Baru membuat Blok M semakin menjadi pusat perdagangan—lewat Melawai Plaza, Blok M Plaza, Pasaraya, Aldiron, Blok M Mal; sekaligus industri jasa dan perkantoran tingkat regional, nasional, dan internasional (kantor wali kota, kementerian, kepolisian, kejaksaan, dan kantor ASEAN). Sehingga, tulisnya, pemerintah menilai ada aset-aset yang perlu dipertahankan seiring pergerakan orang kota.
Bangunan tahun 1950-an adalah elemen penting yang mesti dilindungi dan dilestarikan. Lainnya merupakan kawasan hijau seperti taman kota.
Menurut pengamatan Veronika, aturan pelestarian itu ditetapkan karena pemerintah menganggap ada beberapa kawasan di Kebayoran Baru yang menampilkan bangunan dengan nilai arsitektur yang baik dan lingkungan yang serasi.
Harapan Ruang Kreatif Kota
Sebetulnya agenda pemugaran aset mangkrak di Jakarta menjadi ruang kreatif bukan upaya baru. Agenda serupa pernah dicanangkan saat pemerintah merancang proyek revitalisasi Kota Tua pada 2013. Salah satu rancangannya adalah menjadikan gedung-gedung di Kota Tua sebagai ruang kreatif bagi kaum muda. Waktu itu konsep yang hendak diterapkan adalah keberadaan co-working space—ide yang saat itu masih belum familiar.
Kemudian dibentuklah konsorsium. Lin Che Wei sempat dipilih jadi ketuanya. Goenawan Mohamad dan almarhum Han Awal, arsitek senior, menempati posisi komisiaris. Salah satu agenda mereka adalah pameran arsitektur dari biro tersohor di Indonesia dan Belanda (seperti OMA, MVRDV, Andramatin, Djuhara Djuhara, serta Han Awal & Partners). Mereka ingin memamerkan gagasan-gagasan soal revitalisasi Kota Tua dan konsep urban planning.
Proyek pertama untuk merevitalisasi kota tua itu tidak berjalan sesuai rencana. Gedung pertama yang sempat dipugar untuk kegiatan komunitas saat itu hanya Olveh.
Ketika Basuki Tjahaja Purnama jadi Gubernur Jakarta, ia merombak rencangan revitalisasi Kota Tua termasuk kepanitiaannya. Konsorsium itu sudah tidak ada lagi. Menurut laporan Kompas, Ahok bekerja sama dengan arsitek Budi Lim memugar Kota Tua dan fokus pada penataan area kali besar dan sekitarnya sebagai ruang publik.
Saya mendatangi kawasan Kota Tua terakhir kali pada Februari 2020 dan belum melihat ada keramaian atau geliat aktivitas komunitas kreatif di kawasan itu, meski ruangnya sudah terbilang rapi.
Saya kemudian membahas perihal ini dengan Jacob Gatot Surarjo: faktor penting apa yang menyebabkan sebuah ruang kreatif bisa hidup dan bergelora?
Menurut Jacob, ada banyak faktor, tetapi ia percaya salah satu yang penting adalah kekuatan komunitas.
“Pendiri M Bloc adalah orang-orang yang punya komunitas atau penggerak komunitas yang cukup kuat. Saya dari sisi komunitas di ranah arsitektur dan desain, Wendy dari sisi musik, begitu juga dengan almarhum Glenn. Ada Lance, yang masih aktif dalam ranah perfilman. Kami sama-sama menarik anggota komunitas itu untuk bekerja sama dengan kami yang akhirnya menghidupkan M Bloc. Jadi pola membangun ruang ini tidak top-down.”
Contoh termudah bisa kita lihat di akun Instagram M Bloc. Ia dipenuhi unggahan program pekan kreatif selama masa pandemi COVID-19. Ia mengundang ragam pembicara, dari musisi, sutradara, arsitek, sampai pimpinan redaksi media niche,Manual Jakarta. Demikian pula agenda talkshow berbayar mengenai bisnis kedai kopi atau pengembangan diri.
Saya pikir hanya perkara waktu untuk melihat area konser M Bloc Space—sumber utama pendapatan dari ruang publik inklusif ini—kembali aktif. Mungkin secara perlahan atau sangat perlahan.
Sejak 15 Juni M Bloc Space kembali dibuka dengan hati-hati. Pengelola membatasi para tamu dan meminta mereka yang hadir untuk memesan dan membayar tiket terlebih dulu. Paling tidak sehari sebelumnya.
Orang-orang yang masih takut keluar rumah atau malas membayar karcis masuk bisa menunggu dengan sabar sampai ada perubahan situasi. Bagaimanapun, M Bloc Space tak hanya dikenal oleh mereka yang berduit, tetapi juga oleh orang-orang yang menggelar tikar dan membuka bekal di area lobi karena menganggap tempat itu adalah obyek wisata.
Penulis: Joan Aurelia
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Fahri Salam