tirto.id - Suatu sore awal Februari lalu, saya menemui Agus di dekat kawasan Masjid Cut Meutia, Menteng, Jakarta Pusat. Tampilannya cukup sangar: rambut gondrong lebih dari sebahu berwarna merah menyala, kalung melingkar di leher, serta badan yang cukup berotot.
Namun, bayangan seram itu seketika luntur ketika ia menyambut ramah permintaan saya akan segelas cappuccino dari lapak miliknya. Agus adalah salah seorang penjaja kopi di pusat kota Jakarta yang mungkin kerap Anda jumpai saban jam pulang kantor. Keberadaan Agus kerap kita kenal sebagai “Starling”, akronim populer dari “Starbucks Keliling.”
Penjaja kopi adalah salah satu unsur yang membentuk wajah Jakarta. Jumlahnya begitu banyak dan tersebar di hampir seluruh sudut kota: taman-taman yang asri, pasar padat pembeli, hingga daerah hunian kaum elite.
Orang-orang seperti Agus tegak memandang cakrawala ibu kota yang kerap memberi fantasi kemakmuran, harapan untuk hidup lebih layak, serta mimpi-mimpi yang harus diwujudkan.
Menjaga Nyala Asa dengan Merantau
“Ya [hasil penjualannya] enggak tentu. Kadang pulang bisa bawa banyak, kadang sedikit,” jawab Agus sambil menyiapkan kopi pesanan saya.
Sembari menuangkan air panas, gula, bubuk kopi kemasan, dan kemudian memasukkan beberapa potongan es, ia bertutur ihwal pendapatan yang diperoleh dalam satu hari.
“Musuhnya cuma cuaca. Asal enggak hujan aja [pendapatannya] pasti ramai,” tambah lelaki 32 tahun ini.
Para pedagang kopi keliling punya ciri yang tak berbeda antara satu dan lainnya. Anda akan menjumpai kemasan kopi dengan beragam jenis produk dan rasa, camilan seperti kacang goreng yang dibungkus plastik kecil, termos untuk menjaga air tetap panas, serta rokok yang bisa dibeli bungkusan maupun eceran. Barang-barang ini diletakkan pada tubuh sepeda produksi pabrikan lokal: United.
“United itu kuat. Body-nya kokoh dan enggak gampang rusak kalau dipakai buat naruh banyak barang kayak gini,” terang Agus seraya memperlihatkan besi-besi yang menyangga dagangannya.
“Sepeda ini awet banget, bisa sampai bertahun-tahun enggak ganti,” imbuhnya.
Sudah 13 tahun Agus berjualan kopi keliling. Ia memulainya sejak tahun 2007. Kala itu, ia berdagang di Tanah Abang, sebelum akhirnya pindah ke sekitar Cikini dan Menteng, kawasan—selain bilangan Thamrin—yang menjadi pusat “Starling.”
Agus lahir dan besar di Pamekasan. Ia datang ke ibu kota pada tahun 2002. Madura bukan sebatas tukang cukur rambut, pengepul besi tua, penjual sate ayam, bebek goreng, ataupun soto, melainkan juga penjaja kopi.
Banyaknya orang Madura—terutama dari Pamekasan—yang menyabung hidup di ibu kota dengan berjualan kopi keliling, tentu memiliki akar sosial-budaya yang panjang sekaligus kompleks.
Madura adalah pulau kecil yang terletak di pinggir Jawa bagian timur. Clifford Geertz, dalam Involusi Pertanian: Proses Perubahan Ekologi Indonesia (1983) menyebut Madura sebagai “Indonesia Luar,” untuk merefleksikan kondisi ekologi masyarakatnya yang berbasis tegalan.
Ekologi tegalan, tulis Geertz, punya karakteristik ketergantungan tanaman hidup pada curah hujan, produktivitas varietas rendah kendati jumlahnya banyak, serta risiko gagal panen terbuka lebar sebab faktor musim yang tak menentu. Akibatnya, hasil pertanian di Madura cenderung tak proporsional.
Kondisi ini berdampak pada kesejahteraan orang-orang Madura. Di Pamekasan, kegagalan lahan pertanian—hanya 27,62 persen yang bisa diolah dari total persediaan lahan sebanyak 81,94 persen—membuat angka kemiskinan konsisten berada di atas 15 persen dalam rentang waktu 1999 sampai 2003, demikian catat Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, seperti dikutip Katadata. Bahkan, pada akhir Desember 1999, angka kemiskinan mencapai puncaknya: 47,33 persen.
Pada 2018, berdasarkan hitung-hitungan Badan Pusat Statistik (BPS) Pamekasan, angka kemiskinan berada di level 14,5 persen, turun 3,3 persen dari 2014. Meski berhasil ditekan, namun angka kemiskinan di Pamekasan tetap tergolong tinggi.
Kelangkaan sumber daya alam—dalam arti tak produktif—mendorong lahirnya moral ekonomi yang berorientasi pada kerja (labour ethics) ketimbang tanah (land ethics), tulis Totok Rochana dalam “Orang Madura: Suatu Tinjauan Antropologis” (2012). Walhasil, berangkat dari perubahan tersebut, orang-orang Madura memutuskan untuk merantau demi memperoleh penghidupan yang lebih baik.
Selain menimbulkan perpindahan penduduk dalam skala yang masif, kegagalan lahan pertanian di Madura juga turut membentuk karakter masyarakatnya menjadi lebih bekerja keras, mandiri, ulet, menjunjung tinggi harga diri, serta percaya atas usaha yang ditempuh.
Dalam budaya Madura, karakter-karakter semacam itu terangkum lewat peribahasa seperti “abantal omba’ asapo’ angen” yang berarti “berbantal ombak dan berselimut angin.” Peribahasa ini bermakna bahwa kerja keras adalah cerminan dari harga diri yang mesti dilakukan dengan sepenuh hati sekaligus bentuk pertanggungjawaban kepada Tuhan, semesta, dan keluarga di kampung halaman.
Mauwi, penjaja kopi asal Pamekasan lainnya yang singgah ke Jakarta pada 2018, membenarkan pandangan itu. Ia mengaku lebih memilih berjualan kopi keliling dengan penghasilan tak menentu, ketimbang mesti bergantung kepada orang lain—“etembheng noro’ oreng, ango’an alako dhibi’ make lane’ kene’,” demikian pepatah Madura bilang.
“Enaknya jualan kopi kayak gini itu bisa bebas kerja dan usaha sendiri. Enggak diperintah orang,” ungkap pria yang merantau karena pertanian susah membuat dapur rumahnya tetap mengepul.
“Memang mungkin terlihat [pekerjaan] rendah. Tapi, kalau diniati secara keras, saya percaya akan menghasilkan [rezeki],” tambahnya.
Sepeda United milik Agus yang memuat barang dagangan macam kopi kemasan, rokok, hingga kacang kulit. FOTO/Faisal Irfani Menciptakan "Rumah" di Jakarta
Imran, 28 tahun, diam sejenak ketika saya bertanya tentang suka duka merantau ke Jakarta. Ia menginjakkan kaki di ibu kota enam tahun yang lalu. Sama seperti perantau Madura pada umumnya, tujuan Imran pindah ke Jakarta adalah demi memperbaiki kondisi ekonomi, setelah meyakini bahwa “tanah di sana tidak lagi bisa menghasilkan uang.”
“Sedihnya harus pisah dari kampung dan teman-teman. Waktu awal-awal dulu rasanya setiap hari kangen dan ingin pulang saja agar enggak jauh dari kampung,” terangnya kepada Tirto, di tengah lalu-lalang orang yang beraktivitas di Taman Surapati, Menteng, Jakarta Pusat.
Pengalaman Imran adalah hal yang lumrah di lingkaran perantau Madura di Jakarta. Perasaan homesick, terkejut dengan budaya maupun lingkungan sosial Jakarta, serta kesulitan beradaptasi adalah beberapa contoh yang kerap muncul saat orang-orang Madura baru tiba di ibu kota. Keadaan itu lalu melahirkan keterasingan dan ketakutan.
“Rasanya marah. Untuk menghilangkan marah itu, aku sempat jadi nakal. Mabuk, main sabung ayam, sampai [main] ke Kalijodo,” kenang Agus seraya tertawa lepas.
“Mumpung masih muda juga, kan. Jadi bebas buat melampiaskan kemarahan. Tapi, sekarang sudah tobat,” tambahnya.
Orang Madura yang merantau ke Jakarta jumlahnya tak sedikit. Hal ini menjadi tiang penyangga bagi mereka agar dapat bertahan di ibu kota. Perantau Madura, seperti dijelaskan Syaichona Cholil dalam “Networking Etnisitas sebagai Modal Sosial Etnis Madura di Perantauan”, mengelompok dan membentuk apa yang disebut “Tanean Lanjhang” (Pekarangan Panjang).
Di Jakarta, “Tanean Lanjhang” itu berlokasi di kawasan Kwitang, Senen, Jakarta Pusat atau di daerah Tanah Abang. Bagi perantau Madura, “Tanean Lanjhang” adalah cara untuk mendekatkan diri kepada kampung halaman. Mereka saling mendukung dan menguatkan satu sama lain sehingga terbentuk rasa setia kawan yang kokoh. Konsep “Tanean Lanjhang” juga ditujukan agar para perantau tidak berada dalam suasana kegelapan, yang dalam istilah Madura dikenal dengan “ma’le tak kaelangan obur.”
Keberadaan “Tanean Lanjhang” bukan berarti tanpa konsekuensi sosial. Oleh masyarakat sekitar—di luar Madura—“Tanean Lanjhang” seringkali dipandang sebagai wujud eksklusivitas. Secara luas, dampaknya mampu memunculkan gesekan.
Namun menurut pengakuan Mauwi, hal itu tidaklah terjadi. Ia membuktikan bahwa para perantau Madura yang bekerja menjajakan kopi dan menetap di Kwitang, “dapat hidup berdampingan dengan warga asli Betawi.”
Selain tinggal bersama dalam satu kelompok, cara lain yang rutin dilakukan agar kekompakan dapat terjaga adalah dengan mengadakan acara seperti pengajian. Agus bercerita pengajian di komunitasnya biasanya dilangsungkan setahun sekali. Pendanaannya diambil dari iuran tiap bulan yang nominalnya berkisar antara Rp50 ribu hingga Rp100 ribu.
“Dari uang yang terkumpul, kami kemudian mengundang ustaz untuk memberi ceramah. Selain itu, ada salawatan maupun pesta makan. Pokoknya, acara ini adalah bentuk syukur kami setelah bekerja keras,” ungkapnya bangga.
Saat saya tanya apakah tidak mencoba opsi lain seperti berlibur ke tempat wisata untuk merayakan jerih payah mereka, Agus dengan yakin menjawab:
“Ah, capek kalau harus pergi kayak gitu.”
Uang yang berhasil dikumpulkan juga bisa dipakai untuk kepentingan yang sifatnya mendesak, seperti membantu anggota komunitas yang tengah sakit atau tertimpa musibah kecelakaan. Karena pada intinya uang tersebut dikelola “demi kepentingan bersama.”
Di Jakarta, eksistensi para penjaja kopi seperti Agus, Mauwi, atau Imran mungkin dianggap kecil dan remeh. Mereka sama seperti pendatang lainnya yang mencoba peruntungan di kota metropolitan demi sesuap nasi maupun harapan akan kehidupan yang lebih baik.
Meski demikian, kisah ketiganya lebih dari itu. Apa yang mereka jalani adalah hasil tumpukan memori dan kebanggaan kolektif sebagai etnis Madura. Dan semuanya terangkum dalam secangkir kopi kemasan.
Editor: Irfan Teguh