Menuju konten utama

Melukis Spanduk Pecel Lele, Cara Hartono Jaga Identitas Lamongan

Spanduk merupakan identitas dari setiap warung pecel lele khas Lamongan.

Melukis Spanduk Pecel Lele, Cara Hartono Jaga Identitas Lamongan
Pelukis spanduk pecel lele khas Lamongan, Hartono sedang melukis pesanan di rumahnya, kawasan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan, Bekasi, Jawa Barat. tirto.id/Bayu Septianto.

tirto.id - Sebuah rumah kecil berukuran sekira 7x3 meter di kawasan Pekayon Jaya, Bekasi Selatan, Kota Bekasi dipenuhi warna-warni cat dan coretan tinta di dinding. Tercium pula aroma bahan kimia yang berasal dari cat-cat yang digunakan Hartono untuk melakoni pekerjaannya, melukis spanduk pecel lele khas Lamongan.

Pria berumur 49 tahun itu sudah sejak 2005 hijrah ke Bekasi. Dari rumah kecilnya inilah, ia bisa menyalurkan bakat seni lukisnya dan ia jual hampir ke seluruh wilayah di Indonesia.

"Semua wilayah di Indonesia sudah masuk, dari Aceh sampai Papua," ujar Hartono saat ditemui reporter Tirto, Sabtu (28/12/2019).

Sambil melukis dan tak lupa menghisap rokok, Hartono menceritakan awal mula ia terjun ke bisnis pembuatan spanduk pecel lele ini. Pada 1992, ia datang ke Jakarta, tepatnya di kawasan Pondok Pinang, Jakarta Selatan. Di sana, ia membantu saudaranya yang berdagang pecel lele, sampai akhirnya 1997 ia memutuskan untuk berjualan sendiri.

Saat itulah, ia membutuhkan spanduk untuk menutup tenda warungnya yang ia dirikan di kawasan Sawangan, Depok. Tercetus di pikirannya untuk meminta bantuan teman SMP di Lamongan untuk melukiskan spanduk pecel lele. Kawan Hartono, Teguh Wahono, ini telah lebih dulu menekuni profesi pembuatan spanduk pecel lele.

Berharap permintaannya dipenuhi, ternyata Teguh tak mau membuatkannya. Alasannya, Teguh yakin Hartono bisa membuatnya sendiri.

Usut punya usut, ternyata Hartono dan Teguh Wahono merupakan jawara melukis saat masih bersekolah Desa Ngayung, Maduran, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Bahkan, saat SMA keduanya justru bersaing karena lepas SMP mereka berbeda sekolah. Keduanya bertemu dalam ajang Pekan Olahraga dan Seni (Porseni) tingkat kecamatan bahkan tingkat kabupaten se-Lamongan.

Beruntung bagi Hartono, ia berhasil merebut juara sementara Teguh berada di urutan kedua. Bakat melukis dan prestasi yang didapat Hartono inilah yang kemudian membuat Teguh menolak permintaan Hartono untuk melukiskan spanduk pecel lele.

"Makanya Mas Teguh saya minta [melukis] ya dia enggak mau. Ya akhirnya saya malah diajarin [melukis di spanduk] yang benar itu kayak gimana, cat yang musti digunakan itu yang kayak gimana," jelasnya.

Walaupun hasilnya kurang memuaskan, setidaknya spanduk itu cukup untuk menjadi penutup dan penghias warung pecel lelenya. Ternyata hasil yang dianggapnya kurang itu justru dinilai berbeda oleh rekannya yang kemudian tertarik untuk meminta Hartono membuat spanduk warung makannya.

Setelah itu, pesanan melukis di spanduk terus datang. Namun, Hartono tetap berjualan pecel lele. Proses melukis ia lakukan saat waktu senggang. Hartono kala itu belum memantapkan dirinya menjadi pelukis spanduk pecel lele karena merasa belum memenuhi target yang diinginkannya.

Ya, Hartono memasang target 700 pesanan spanduk pecel lele untuk bisa ia fokus menjadi pebisnis spanduk pecel lele. 14 tahun berlalu, akhirnya target itu tercapai. Suami dari Sriningsih itu memutuskan untuk 'gantung wajan' dan memilih fokus berjualan spanduk pecel lele.

"Rata-rata spanduk bertahan satu sampai dua tahun, agar setiap hari bikin setidaknya saya harus punya 700 pelanggan. Ketika dapat pelanggan sebanyak itu, saya berhenti dagang pecel," ucap Hartono.

Faktor lain yang membuat Hartono 'gantung wajan' adalah bosan 'kucing-kucingan' dengan Satpol PP ataupun preman yang membuatnya berpindah-pindah tempat lokasi berjualan.

"Kalau lukis spanduk kan bisa di mana saja, enggak ada pungli juga kan," kata Hartono sembari tertawa.

Pemilihan warna untuk spanduk pecel lele tersebut selalu dibuat dengan warna-warna yang mencolok. Biasanya warna ngejreng yang digunakan tersebut ada seperti warna stabilo mulai dari kuning, oranye hingga hijau. Bukan tanpa alasan, ternyata pemilihan warna tersebut memiliki maksud tersendiri.

"Ya supaya bisa jadi daya tarik pembeli yang lewat apalagi saat malam hari. Kalau kita pakai warna-warna mati nanti gak kelihatan terang pas malam," ungkapnya.

Untuk membuat sebuah spanduk lukisan warung makan khas Lamongan yang mencolok dan bisa menarik perhatian, Hartono menambahkan kain berwarna hijau “stabilo” di tepian kain putih yang telah dilukis.

Hartono mengaku harga spanduknya mengikuti harga pasar, maksudnya ia tak mau menjual spanduk di bawah ataupun di atas harga pasar. Katanya, "Pengrajin spanduk ini jumlahnya bisa dihitung, enggak ada istilahnya kami bersaing itu enggak ada."

Harga yang dibanderolnya sekira Rp120 ribu sampai Rp145 ribu, tergantung dari ukuran, dan jumlah hewan yang digambarnya.

Biasanya, lanjutnya, satu warung memesan spanduk sepanjang 10 meter, yang terdiri dari lima meter untuk bagian depan dan 2,5 meter masing-masing untuk sisi kanan serta kiri warung. Harga paling mahal biasanya ada pada spanduk warung makanan khas Lamongan yang menyajikan beragam masakan laut.

“Karena hewannya yang digambar kan lebih banyak, jadi paling mahal,” kata Hartono.

Kurang lebih ia menghabiskan Rp30 ribu untuk membeli kain katun tetoron, cat sablon dan penguat cat yang disebut binder. Dengan begitu ia mendapat untung sekitar Rp90 ribu per meter.

Hartono pun per bulannya bisa mendapat pesanan spanduk sepanjang 280 meter dan mengantongi sekitar Rp25 juta per bulan.

Tak ada orang lain yang saya lihat saat melihat bapak dua anak ini melukis spanduk pesanannya. Hanya Hartono seorang di rumah tersebut, sementara istrinya berada di rumah sebelahnya untuk membantu menjahit lis [bordir] di pinggir spanduk. Istrinya ini ia libatkan juga saat melakukan penyablonan huruf.

Ya, Hartono mengerjakan seorang diri saat melukis. Ia sama sekali tak memiliki karyawan. Kendala inilah yang membuat pemesan harus rela menunggu 2-3 bulan. Seiring pengalaman dan ilmu-ilmu yang terus dipelajari Hartono, ia membuat spanduknya ke dalam dua langkah yakni, teknik sablon untuk mencetak huruf dan lukis untuk gambar binatang.

Ia mengaku membutuhkan orang lain untuk melukis, namun sampai saat ini tak ada yang mau dan bisa melukis gambar seperti apa yang dilakoni si Hartono ini. Bahkan, dua putrinya tak ada yang meneruskan bakat melukis yang dimiliki Hartono.

"Ya memang harus ada yang bantu melukis, tapi ya pertanyaannya bisa enggak yang bantuin ini melukis seperti ini," katanya.

Menurut Hartono, dunia seni itu intinya jangan pernah takut salah, apalagi kalau belum mencobanya. Imajinasi memang dibutuhkan dalam dunia seni, namun bila tak berani divisualisasikan akan sia-sia.

"Belajar seni mengalir saja, sama kayak nyanyi, kalau sudah ada bakat ya tinggal poles saja," jelasnya.

Tak Berhenti Belajar

Saat pesanan sudah meningkat tak membuat Hartono lantas berpuas diri. Ia pun terus belajar untuk mencari ilmu-ilmu baru, tak hanya soal teknik melukis saja tetapi juga belajar manajemen, promosi bahkan belajar menggunakan teknologi untuk menunjang pekerjaannya ini.

Soal teknik melukis, Hartono selalu belajar mengamati lukisan-lukisan dari pengrajin lain. Apa yang tak ada di lukisannya, ia akan mencoba membuat di lukisannya, namun tetap dengan gaya lukis yang dimilikinya.

Hartono pun harus memanfaatkan teknologi sebagai cara mempromosikan jasanya. Ia mengaku secara otodidak belajar membuat blog dan apa saja yang harus ditampilkannya di blog. Cara ini pun berhasil membuat namanya semakin melambung hingga luar Jawa.

"Saya belajar sendiri pakai internet kayak gimana. Media massa yang datang ke saya, wawancara termasuknya juga membantu. Ya promosi gratis lah," kata Hartono.

Menjaga komunikasi dengan pelanggannya dilakukan Hartono, baik selama pesanan diproses sampai setelah barang diterima. Hartono selalu memberikan masukan-masukan kepada pemesannya, mulai dari warna spanduk, ukuran bahkan cara memasang yang benar.

Hartono bahkan pernah memberikan saran kepada pemesannya agar warung makannya laris. Saat itu Hartono meminta pemesannya meningkatkan jumlah ayam atau lele dan memberikan resep sambal yang bisa membuat orang bakal datang lagi ke warung tersebut.

"Saya pasti kasih masukan kepada pemesan, jangan sampai sudah lama nunggu, eh hasilnya enggak sesuai diharapkan," kata Hartono.

Hartono berharap ada generasi penerus pembuat spanduk pecel lele ini. Pasalnya, spanduk merupakan salah satu kunci pemikat orang datang menghampiri warung pecel lele. Spanduk merupakan identitas dari setiap warung pecel lele khas Lamongan.

Hartono menyebut saat orang Lamongan merantau dan memilih berjualan pecel, dia ingin menggunakan spanduk yang sama dengan di kampungnya. Seperti Hartono sendiri saat memulai karirnya.

Selain daya tarik, spanduk juga menjadi penanda profesionalitas si pemilik warung, kata Hartono.

"Kami buat spanduk itu betul-betul buat orang mau masuk ke dalam warung. tapi kalau misalnya orang itu buka warung spanduknya tak pakai ciri khas lamongan pasti dipikirnya main-main usahanya, jadi belum profesional katanya," papar Hartono.

"Padahal ada pemain baru dia pakai spanduk seperti ini ya orang pikir pasti dia sudah profesional berjualan pecel lele, pemain lama," tandasnya.

Baca juga artikel terkait WARUNG MAKAN atau tulisan lainnya dari Bayu Septianto

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Bayu Septianto
Penulis: Bayu Septianto
Editor: Maya Saputri