tirto.id - "Ada yang tau warung nasi pecel di dekat UII pindah ke mana? Kok kemarin lewat sudah nggak ada ya..."
Seorang selebgram kuliner melempar pertanyaan itu via Instastory, diikuti permintaan-permintaan informasi sejenis dari para pengikutnya. Ada yang menanyakan tempat sarapan langganan, tempat jajanan favorit, hingga angkringan kesukaan – yang baru mereka sadari kini tak ada di lokasi biasanya.
Dari sesama follower sang selebgram, diketahui kalau sebagian warung-warung yang ditanyakan itu akhirnya berhasil ditemukan kembali. Beberapa ternyata hanya pindah saja, sungguh melegakan. Kebanyakan dari mereka memang memilih pindah karena tak lagi kuat menyewa tempat. Sebagian pindah ke rumah, dan berharap pendapatan dari para online food delivery.
Namun sebagian lagi tak pernah ditemukan. Mereka memang hilang.
Bangkrut.
Tutup permanen.
Pandemi ini memang membabat banyak bisnis kuliner. Dari yang kecil hingga besar. Yang bisa bertahan tetap kena hantaman berat, babak belur. Sebagian yang sudah punya pelanggan lama, berpamitan lewat media sosial, membuat banyak pelanggan merasa sedih dan jadi nostalgis. Sebagian lagi hilang begitu saja.
Kali ini saya ingin bicara tentang hilangnya warung-warung ini dari kacamata seorang pelanggan, pembeli. Bagaimanapun, di setiap usaha kuliner yang tutup, hilang pula kenangan yang tumbuh bersamanya. Sudut-sudut kota pun tampak berubah seiring hilang dan bergantinya para penjual makanan.
Dewi, seorang teman lama, mengumpat pelan ketika tahu tempatnya nongkrong semasa kuliah, harus tutup dan berpamitan di akun media sosialnya. Sekarang Dewi memang sudah bekerja dan berkeluarga, tapi rupanya tempat tersebut menyimpan kenangan ketika ia masih muda, sebagai tempat favorit untuk berkencan.
Begitu juga suami saya. Nada sedih terdengar dari ucapannya ketika ia bercerita bahwa restoran tempatnya bekerja ketika kuliah akan tutup. Restoran tersebut baginya bukan hanya tempat bekerja, tapi juga tempat ia bertemu "keluarga" baru. Usai keluar dari restoran itu pun, ia masih sering ke sana dan berkumpul dengan teman-temannya yang masih bertahan hingga sekarang, lebih dari satu dasawarsa.
Bagi banyak orang, tempat makan bukan sekadar pemadam kelaparan. Namun, juga menjadi tempat menumpuk kenangan. Kencan bersama pacar pertama, tempat curhat ketika putus dari seseorang, tempat melakukan selebrasi-selebrasi kecil bersama keluarga tercinta, hingga bisa saja menjadi tempat selingkuh andalan.
Kenangan sebenarnya merupakan bagian penting dari suatu tempat makan. Menurut pengamatan saya, seringkali kenangan atau gustatory nostalgia inilah yang menjadi faktor utama suatu tempat bisa berkembang menjadi legenda, seperti gudeg-gudeg di Mbarek, atau SGPC yang sudah ada sejak 1959. Bagi para mantan mahasiswa UGM angkatan lawas, tentu tempat-tempat itu bukan sesuatu yang asing. Tentang rasa, itu nomor dua lah!
Saya sendiri terkadang menghapal suatu tempat makan juga berdasar kenangan yang diceritakan orangtua saya. Maka lahirlah embel-embel yang menyertai sebuah warung. Seperti “bakso langganan waktu anak-anak masih SD” atau “warung mie kesukaan Mama waktu masih nge-kos”. Saya pun beberapa kali menyempatkan diri mampir ke sana hanya untuk melengkapi cerita-cerita mereka. Begitu pula saat saya menceritakan suatu tempat makan, seringkali ada pelabelan di sana. Semisal “warung garang asem yang kita beli setiap pulang dari Solo”.
Tutupnya sebuah warung, sama seperti bisnis lain, sebenarnya adalah hal biasa saja. Yang membuat peristiwa kali ini tidak normal adalah ia terjadi dalam waktu berdekatan, menelan banyak korban, dan dikarenakan satu penyebab yang sama.
Banyak dari warung-warung ini mengandalkan pembeli dari luar kota, semisal mahasiswa atau wisatawan.
Di Yogyakarta, kota tempat saya tinggal, banyak tempat makan yang menggantungkan pemasukan dari para turis dan pelajar yang datang dari luar kota. Sejak pandemi, turis dan para pelajar ini menyusut, dan efeknya amat terasa.
Maka kini, tak hanya kehilangan tempat-tempat makan andalan, hilang sudah banyak kenangan yang menyertainya. Cita-cita untuk menceritakannya ke anak-cucu, pupus sudah.
Tak dapat dipungkiri, tempat-tempat penuh kenangan yang berpotensi menjadi legenda memang terkena imbas dari pandemi ini. Beberapa rumah makan yang sudah berdiri selama belasan tahun dan memiliki modal lebih, masih berusaha bertahan dengan sisa-sisa tenaganya. Mereka mencoba berinovasi, semisal membuat kemasan vakum dan menjual dalam bentuk beku. Apabila berhasil melewati pandemi, jalan menjadi legenda semakin terbuka. Sementara yang modalnya terbatas, memilih untuk menutup tirai.
Saya sendiri amat patah hati melihat banyak warung favorit yang tak dapat lagi dikunjungi. Covid tak hanya meluluh-lantakkan bisnis kuliner, merenggut masakan-masakannya, tapi juga kenangan-kenangan yang telah kita buat di tempat itu.[]
Editor: Nuran Wibisono