tirto.id - Wendi Putranto berdiri di gudang seluas 450 meter persegi yang penuh dengan tong-tong berkarat, dihiasi sarang laba-laba, tumpukan kardus, serta ada poster kecil bertuliskan “Apa yang anda lihat di sini, hanya untuk anda sendiri” tergantung di dekat pintu keluar.
“Nanti di sini akan jadi small venue, dengan kapasitas 350 penonton,” ujar Wenz --panggilan akrab Wendi-- sembari menunjukkan seisi ruangan. “Kami akan berusaha menyelenggarakan konser setiap hari. Ini adalah jawaban bagi banyak band yang ingin main tapi tidak punya tempat manggung.”
Wenz adalah satu dari enam pendiri PT Ruang Riang Milenial, perusahaan produk dan jasa yang banyak bergerak di bidang kreatif. Pendiri lainnya adalah Glenn Fredly, Handoko Hendroyono, Jacob Gatot Sura, Lance Mengong, dan Mario Sugianto.
Saat ini mereka bekerjasama dengan Perusahaan Umum Percetakan Uang RI (Peruri) untuk menyulap lahan tidur seluas 6.500 meter yang terletak di kawasan Melawai, Jakarta Selatan. Sejak 1971, kompleks itu adalah tempat percetakan uang dan tempat tinggal karyawan.
Pada 1991, Peruri membangun kawasan produksi di Desa Parungmulya, Karawang, Jawa Barat. Setelah pembangunan itu selesai, produksi perlahan dipindah ke sana. Para karyawan pun juga banyak yang ikut boyongan. Pada 2005, kawasan produksi Peruri pun resmi dipindah ke Karawang. Bangunan-bangunan di kawasan Melawai itu pun kosong, dan dibiarkan tertidur cukup lama.
Masuk ke komplek Peruri seperti kembali ke masa lalu: ada yang masih dijaga dan dirawat, namun ada pula yang ditinggalkan dan dilupakan. Di bagian depan, bangunan art deco tampak masih amat kinclong. Di dekat gudang, ada satu bus —sepertinya bekas bus antar jemput karyawan—yang teronggok dimamah zaman. Mungkin pemandangan ini tak akan lagi bisa dijumpai dalam waktu dekat, sebab Peruri dan Ruang Riang Milenial akan menyulap kawasan mangkrak ini menjadi ruang kreatif yang dinamai M-Bloc.
Dua gudang seluas total 900 meter persegi, akan jadi tempat gigs, dengan konsep seperti bioskop zaman dulu: neon sign, menampilkan nama band yang akan manggung, tepat menghadap Jalan Panglima Polim. Di gudang itu, nanti akan ada lounge tempat para penonton bisa bersantai sembari menonton band manggung.
“Rencananya akan ada tiga band yang tampil tiap malam,” ujar Wenz.
Selain gudang yang akan jadi tempat manggung band, ada 16 rumah bergaya post-colonial, bekas rumah karyawan, yang akan disulap menjadi gerai-gerai produk kreatif. Di rumah yang berdiri sejak dekade 1950-an itu, akan ada produk kriya, kuliner, seni rupa, bahkan co-working space.
“Proyek ini merupakan bagian dari optimalisasi aset Peruri yang selama ini idle, dan tawaran kerjasama ini sangat menarik karena mengusung tema kreatif untuk pemberdayaan generasi milenial,” ujar Nungki Indraty, Direktur Keuangan Peruri.
Nungki betul belaka, optimalisasi aset milik negara yang selama ini mangkrak adalah sebuah kebutuhan. Negara punya badan bernama Lembaga Manajemen Aset Negara (LMAN) yang salah satu tugasnya adalah mengelola dan mengoptimalkan aset negara yang mangkrak.
Pada 2016, menurut Direktur Utama LMAN, Rahayu Puspasari, optimalisasi aset mangkrak ini mendatangkan pemasukan Rp65 miliar, meningkat Rp249 miliar di 2017, dan ditargetkan mencapai Rp349 miliar pada 2018.
Bangunan mangkrak milik negara memang ada banyak. Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) sempat melakukan inventarisis Barang Milik Negara (BMN) beberapa tahun silam. Dari penyigian sekitar 408.000 unit BMN, ada kurang lebih 1.000 aset yang dikategorikan mangkrak. Salah satunya adalah 106 unit apartemen di Puri Casablanca, Jakarta Selatan yang mangkrak sejak 1997. Saat ini aset tersebut sudah direnovasi dan dipasarkan.
“Untuk itu, saya minta kepada seluruh pengelola BMN untuk terus memanfaatkan barang milik negara yang masih idle, tidak tergunakan atau tidak termanfaatkan,” kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan dikutip dari Antara.
BMN yang mangkrak memang bikin rugi negara. Ada potensi kehilangan penerimaan negara bukan pajak. Negara juga rugi dari pemeliharaan aset. Kementrian Keuangan saat ini sedang gencar mengoptimalkan aset mangkrak karena Presiden Joko Widodo tengah gencar membangun infrastruktur.
Di Jakarta, pembangunan infrastruktur itu, salah satunya, tampak dari hadirnya MRT. Dan jalur MRT yang melewati kawasan Blok M turut serta mendongkrak geliat kreatif di sana. M-Bloc ini dilewati oleh dua stasiun MRT, yakni Stasiun Asean dan Blok M. Plus, tempat ini tepat berada di samping terminal Blok M. Artinya, akses transportasi amat menunjang untuk menuju ke kawasan ini.
“MRT memang jadi game changer,” ujar Handoko Hendroyono. “Paska pembangunan infrastruktur, ya memang akan mengarah ke pembangunan culture, larinya ke art. Jadi ini momentum yang pas untuk membangun creative hub.”
Yang Tua Kembali jadi Muda
Pada abad 19, ada pabrik gula yang dibangun di kawasan Lijnbaansgracht, Amsterdam. Pada 1920, pabrik itu beralih fungsi jadi perusahaan susu OVVV. Pabrik itu tutup pada 1969, dan bangunan itupun sempat mangkrak selama setahun.
Sempat dibuka sebagai pusat kebudayaan di musim panas, Melkweg —nama bangunan itu, bahasa Belanda Milky Way— akhirnya resmi dibuka pada 1971, dan resmi digunakan sebagai pusat kegiatan kultural pada 1973. Gedung ini tetap dipertahankan bentuk lamanya. Namun tetap ada penambahan di sana-sini. Ada penambahan ruangan untuk konser, misalkan.
Kini, Melkweg dikenal sebagai pusat acara kebudayaan pop di Amsterdam. Di sana, diselenggarakan ratusan konser, pesta, pemutaran film, pementasan teater, hingga pameran seni rupa.
Melkweg punya bujet tahunan sekitar 12 juta Euro. Lebih dari 90 persen pendanaan datang dari penghasilan mereka sendiri, dan sekitar 7 persen merupakan subsidi dari Pemerintah Kota Amsterdam. Dengan bujet itu, pada 2017 mereka mengadakan hampir 900 kegiatan, dengan 1.600 band, musisi, dan seniman yang tampil. Setiap tahun, ada sekitar 470 ribu pengunjung mendatangi Melkweg.
Selain Melkweg, ada pula LX Factory di Lisbon, Portugal. Bekas pabrik yang didirikan pada 1846 ini jadi gedung tua ketika pemilik pabrik memindahkan lokasi produksi ke Alcantara. Gedung ini terbengkalai puluhan tahun, dan baru difungsikan kembali pada 2008.
Kini, LX Factory menjadi ruang kreatif di Lisbon, bahkan sampai dijuluki “Portuguese Capital’s Creative Island”. Ada sekitar 150 gerai dan usaha kreatif di sana, mulai dari fesyen, desain, kuliner, hingga arsitektur.
Pembangunan ulang bangunan mangkrak menjadi ruang kreatif memang amat menarik, sekaligus menantang. Menarik karena tentu akan mendatangkan keramaian —dan berujung pada geliat perputaran roda ekonomi.
Konser musik bisa mendatangkan penonton, yang jelas membutuhkan setidaknya makan dan minum. Ini artinya,restoran atau kafe jelas dibutuhkan sebuah tempat konser musik, atau ruang kreatif.
Membangun ulang ruang kreatif ini juga menantang karena memerlukan banyak biaya untuk merenovasi dan membangun ulang. Belum lagi, usaha mempopulerkan sebuah ruang kreatif bukanlah upaya jangka pendek, melainkan harus terus menerus dan berkesinambungan. Jika ia sudah populer, ada lagi tantangannya: menjadikannya berdikari, bisa melepaskan diri dari bantuan pemerintah, misalkan.
Namun, upaya ini jelas merupakan langkah penting, baik jika bicara dalam konteks pembangunan ruang kreatif, atau mendatangkan pemasukan bagi pemerintah.
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti