tirto.id - Antusiasme publik Indonesia menyambut konser John Mayer begitu tinggi. Tiket yang dijual pada Jum’at (25/1) kemarin telah habis terjual hanya dalam hitungan menit. Kondisi ini membikin pihak promotor, TEM & DMEASIA, memutuskan untuk menambah persediaan tiket.
“Kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang terus mendukung kami hingga saat ini,” kata pihak promotor dalam rilis yang diterima Tirto, Selasa (29/1).
Konser pada 6 April tersebut merupakan bagian dari rangkaian tur John Mayer yang pertama di Asia. John Mayer World Tour 2019, begitu tajuk turnya, akan dimulai dari Selandia Baru, lalu berlanjut ke Australia, Singapura, Thailand, Indonesia, sebelum akhirnya mendarat di Cina dan Jepang.
John Mayer World Tour 2019
John Mayer bukan satu-satunya musisi yang tiket konsernya terjual habis dalam waktu singkat. Sejarah mencatat, sebelum John Mayer, sudah lebih dulu ada (cukup) banyak musisi yang mampu melakukan hal yang sama.
Pada 1996, misalnya, setahun usai merilis album yang sarat kesuksesan, (What’s The Story) Morning Glory, Oasis segera mengadakan konser di wilayah pedesaan di Knebworth, Hertfordshire. Konser tersebut sedianya tak sekadar menampilkan Oasis, tapi juga mengundang band-band Inggris lainnya macam The Charlatans, Manic Street Preachers, The Prodigy, Cast, The Chemical Brothers, hingga Kula Shaker.
Tak dinyana, animo publik yang ingin menyaksikan konser itu begitu luar bisa. Sebagaimana dilaporkan BBC, sejak penjualan tiket dibuka, sekitar dua setengah juta orang—setara dengan empat persen populasi Inggris—mendaftar di antrean pembelian. Angka ini menjadikan konser Oasis di Knebworth sebagai konser dengan permintaan tiket terbesar dalam sejarah Inggris.
Akan tetapi, dari jumlah penonton yang mendaftar, ‘hanya’ 250 ribu orang yang dapat menyaksikan pertunjukan Oasis dan konco-konconya selama dua hari. Roy Wilkinson, kontributor The Quietus, menyebut pementasan di Knebworth “sangat mencengangkan.”
Kompatriot Oasis asal Manchester, The Stone Roses, rupanya juga memperoleh prestasi serupa. Sebanyak 220 ribu tiket konser comeback mereka—setelah bubar jalan pada 1996—yang diadakan di Heaton Park enam tahun silam disikat habis oleh para penggemar dalam tempo 68 menit. Sehubungan dengan hal tersebut, Guiness World Record memasukannya sebagai “konser rock terlaris dalam sejarah Inggris.”
Selain kedua band di atas, ada pula Michael Jackson yang menorehkan pencapaian fenomenal. Tiga bulan sebelum kematiannya, Jackson mengadakan konser tunggal di London, Inggris. Konser ini sedianya hanya diadakan sebanyak 10 kali di O2 Arena yang berkapasitas 20 ribu orang. Namun, melihat antusiasme publik yang besar, pihak promotor menambah jumlah pementasan hingga 50 kali.
Dalam waktu kurang dari empat jam, keseluruhan tiket yang disediakan, sekitar 750 ribu kursi, habis terjual. Tiket paling murah, mengutip CNN, dijual dengan harga 105 dolar, sedangkan yang paling mahal dipatok sebesar 1.100 dolar. Pemilik O2 Arena, AEG Live, menegaskan habisnya tiket konser Jackson disebabkan oleh “minat yang luar biasa.”
Ludesnya tiket konser tersebut, menurut Gennaro Castaldo, juru bicara perusahaan ritel musik di Inggris, HMV, turut mengerek penjualan album-album Jackson seperti King of Pop (2008) maupun yang klasik macam Thriller (1982).
Namun, rekor tetap dipegang Robbie Williams yang pada 2005 berhasil menjual 1,6 juta tiket untuk tur dunianya dalam waktu kurang lebih 24 jam. Bahkan, di Australia, cuma butuh setengah jam untuk membikin sebanyak 100 ribu tiket konser Robbie terjual habis.
“Kami mengharapkan penjualan yang kuat di Sydney dan Melbourne. Tapi, ini melebihi bayangan kami,” ujar perwakilan promotor Chugg Entertainment.
Tiket Ludes Menyisakan Masalah
Dalam tesisnya “Organization of a Large Scale Music Event: Planning and Production” (PDF, 2012), Tatiana Caciur mengungkapkan ada beberapa hal yang harus diperhatikan ketika ingin mengadakan konser musik.
Pertama, target konser yang mengacu pada calon penonton acara. Dalam pasar industri konser, penonton bisa dibagi berdasarkan umur dan jenis musik yang mereka sukai. Penting bagi event organizer untuk mampu melihat segmentasi konser yang hendak diadakan dan bagaimana faktor tersebut dapat digunakan untuk mengeruk keuntungan. Dalam perkembangannya, tulis Tatiana, konser musik populer masih menjadi andalan event organizer sebab mampu mencakup target pasar yang lebih besar.
Kedua, lokasi. Faktor lokasi adalah salah satu elemen penentu berhasil atau tidaknya konser. Ketika lokasi mudah diakses, maka tingkat kehadiran akan turut naik. Peran transportasi juga tak boleh ditepikan begitu saja. Pihak penyelenggara harus memastikan bahwa penonton dapat pergi ke venue dengan mudah.
Ketiga, manajemen kapasitas venue. Bagi pihak penyelenggara, manajemen kapasitas berarti mencocokkan daya tampung tempat dengan tingkat permintaan. Manajemen kapasitas ditentukan oleh sumber daya yang tersedia, seperti jumlah pekerja, waktu, dan tata kelola ruang.
Namun, agaknya, ketiga faktor yang telah ditulis Tatiana belum semuanya diterapkan dengan baik oleh pihak penyelenggara konser John Mayer di Indonesia. Sejak awal, beberapa keputusan promotor meninggalkan pertanyaan—sekaligus masalah—yang serius.
Untuk pemilihan venue, misalnya. Konser John Mayer di Indonesia mengambil venue di Indonesia Convention Exhibition (ICE) yang berpusat di Tangerang. Pilihan ini cukup ganjil. Kendati ICE bisa dibilang sebagai venue yang lengkap dan modern dari segi fasilitas, namun penonton—khususnya dari Jakarta—memerlukan durasi tempuh yang tak sebentar agar bisa sampai ke tempat konser.
Perjalanan penonton akan lebih panjang karena konser diadakan saat hari kerja (Jum’at). Artinya, penonton yang hendak menyaksikan John Mayer mesti berjibaku terlebih dahulu dengan kemacetan.
Selain akses ke venue, faktor lain yang bikin pemilihan ICE terasa ganjil ialah soal kapasitas. ICE sendiri diperkirakan hanya mampu menampung sekitar 10 ribu orang. Ini tentu patut dipertanyakan. John Mayer bukanlah musisi baru dengan penggemar terbatas. Reputasinya yang menjulang selama 20 tahun berkarier—album laku jutaan, menang Grammy, dan dianggap sebagai vokalis-gitaris terbaik di generasinya—membikin dirinya punya banyak penggemar di Indonesia. Apalagi ini adalah kali pertama Mayer konser di Indonesia. Kapasitas 10 ribu orang yang disediakan ICE kiranya tidak akan cukup menampung penggemar John Mayer di Indonesia yang bejibun.
Di negara-negara Asia lain yang disambangi John Mayer, kapasitas venue selalu di atas 10 ribu. Singapore Indoor Stadium, contohnya, mampu menampung 12 ribu orang. Hong Kong Convention Exhibition Center juga sama seperti venue di Singapura. Sedangkan Impact Arena, di Thailand, bisa memuat 11 ribu penonton.
Dalam riwayatnya, konser musisi-musisi luar dengan reputasi besar yang pernah singgah ke Indonesia hampir selalu diselenggarakan di venue berkapasitas besar pula. Anda bisa melihat ketika konser Metallica, Bon Jovi, sampai Guns N’ Roses diadakan di Stadion Utama Gelora Bung Karno, yang punya kapasitas sekitar 80 ribu penonton.
Apabila SUGBK nampak mustahil untuk dijadikan venue, karena berdekatan dengan ajang Pemilihan Presiden, pihak promotor bisa mencoba Jakarta International Expo Kemayoran, Jakarta Pusat. Secara akses dan kapasitas, venue yang kerap dipakai Java Jazz Festival ini tergolong memenuhi kriteria “ideal.” Lokasi ini bisa menampung sekitar 12 ribu penonton.
Pemilihan ICE sebagai venue konser John Mayer, tak dapat dipungkiri, punya konsekuensi langsung yang mengubah dinamika persiapan pementasan. Ketersediaan tiket yang terbatas karena harus menyesuaikan kapasitas venue mengakibatkan munculnya banyak calo yang (tega) menjual tiket dengan harga yang sangat tidak wajar.
Berdasarkan penelusuran Tirto di linimasa Twitter, calon penonton konser John Mayer ramai-ramai mengutuk kelakuan calo yang memborong banyak tiket lalu dijual dengan harga setinggi langit. Misalnya saja untuk tiket kategori Green, yang dibanderol secara resmi sekitar 1,3 juta rupiah, dapat dijual seharga 9-10 juta di tangan calo.
Bagi para calo, menjual tiket konser John Mayer dengan harga seperti itu bukanlah tindakan yang nekat lagi bodoh. Mereka cukup percaya diri mengingat permintaan masyarakat Indonesia akan tiket John Mayer masihlah tinggi. Anggapannya: penonton rela menebus dengan harga berapapun agar dapat berjumpa dengan sang idola.
Keputusan promotor untuk membuka kembali penjualan tiket John Mayer bisa dibaca sebagai angin segar bagi para penonton. Namun, hal itu tidak menyelesaikan permasalahan yang kadung meluas. Sebetulnya pihak promotor bisa menempuh tiga opsi guna merapikan sengkarut ini. Pertama, menambah jadwal pementasan menjadi dua hari. Kedua, pindah venue dengan kapasitas lebih besar. Dan yang ketiga, membenahi tata manajemen penjualan tiket—dengan memberlakukan kuota atau membatasi maksimal pembelian tiket lebih ketat lagi.
Opsi pertama nampaknya sulit terealisasi jika melihat jadwal tur John Mayer yang begitu padat. Setelah menyapa Indonesia, John Mayer diharuskan pergi ke Hong Kong (8 April) dan Tokyo (10-11 April). Sementara opsi kedua dan ketiga masih terbuka untuk diaplikasikan.
Jika memang tiga opsi yang diwacanakan lagi-lagi belum dapat memfasilitasi animo penggemar John Mayer di Indonesia yang begitu besar—dan militan—maka, ya, sudahlah. Mungkin jalan yang terbaik adalah mendengarkan lantunan “Gravity,” “Stop This Train,” sampai “No Such Thing,” sembari menangis sesenggukan.
Editor: Nuran Wibisono