tirto.id - Komite Aksi Perlindungan Pekerja Ruah Tangga dan Buruh Migran (KAPPRTBM) mengungkapkan temuan mereka bahwa sejak Januari hingga April 2016, sebanyak 121 Pekerja Rumah tangga (PRT) mengalami kekerasan oleh majikan maupun agen mereka. Dari angka tersebut, sebanyak 89 persen mengalami jenis kekerasan yang berbeda secara bersamaan (multikekerasan).
"Mayoritas, yaitu 89 persen mengalami multikekerasan termasuk upah yang tidak dibayar, penyekapan, penganiayaan dan pelecehan," kata Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala PRT) Lita Anggraini dalam jumpa pers di Jakarta, Rabu, (6/4/2016).
Lita menyayangkan sikap aparat kepolisian yang selalu terkesan lamban dalam menangani kasus-kasus kekerasan yang menimpa PRT. Beberapa kasus bahkan akhirnya dihentikan karena berbagai sebab.
"Kalau kasusnya dihentikan, tidak akan menimbulkan efek jera. PRT masih akan terancam dengan kekerasan yang dialami di lingkungan kerjanya," tuturnya.
Lita mengatakan semua PRT rentan mengalami kekerasan dan diskriminasi di mana pun lingkungan kerjanya, bahkan untuk PRT yang bekerja di masyarakat kelas atas dan ekspatriat, seperti misalnya PRT yang bekerja di apartemen-apartemen mewah.
PRT yang bekerja di apartemen, menurut Lita, mengalami diskriminasi baik oleh majikan maupun manajemen apartemen seperti tidak diperbolehkan menggunakan elevator majikan.
"PRT yang bekerja di apartemen juga tidak diperbolehkan asal keluar ke koridor. Mereka baru boleh keluar setelah koridor sepi," ujarnya.
Selain itu, PRT yang bekerja di apartemen juga seringkali dikunci oleh majikannya di dalam unit hunian bila majikannya pergi. Hal itu tentu membahayakan diri PRT karena bila ada kebakaran atau musibah lain, ia tidak akan bisa menyelamatkan diri.
"Karena itu, kami mendorong aparat kepolisian untuk mengusut seluruh kasus kekerasan terhadap PRT hingga tuntas dan DPR segera membahas Rancangan Undang-Undang Perlindungan Pekerja Rumah Tangga," pungkasnya. (T.D018)