tirto.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) menilai putusan majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Bandung yang membebankan kewajiban restitusi korban pemerkosaan dan kekerasan seksual Herry Wirawan ke pemerintah dalam hal ini Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), tidak tepat.
"Restitusi itu merupakan ganti kerugian yang diberikan kepada korban atau keluarganya oleh pelaku atau pihak ketiga," kata Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu di Jakarta, Rabu (23/2/2022) dilansir dari Antara.
Pembayaran ganti rugi korban oleh pelaku atau pihak ketiga itu sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (UU PSK).
Namun, putusan majelis hakim PN Bandung tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 43 Tahun 2017 tentang Pelaksanaan Restitusi bagi Anak yang Menjadi Korban Tindak Pidana.
Dia mengatakan PP tersebut tidak mengenal istilah pihak ketiga. Sementara, dalam kasus Herry Wirawan, pemerintah bukan pihak ketiga karena tidak ada hubungannya dengan perbuatan pidana pelaku.
"Kalau negara jadi pihak ketiga, apakah negara berkontribusi terjadinya tindak pidana ini?" tanyanya.
Dia menjelaskan pihak ketiga yang dimaksud dalam UU Nomor 43 Tahun 2017 itu harus memiliki hubungan hukum secara jelas dengan pelaku. Dalam kasus Herry Wirawan, dia mengatakan keluarga atau yayasan lembaga pendidikan milik terpidana yang harus bertanggung jawab membayar ganti rugi korban.
Terkait argumentasi hakim yang mengatakan bahwa tugas negara adalah melindungi dan menyejahterakan warga negara, dia menilai hal itu tidak bisa dilihat dari konteks restitusi korban Herry Wirawan.
"Jadi jangan hanya melihat dalam konteks material atau harus ada uang yang dibayarkan kepada korban," ujarnya
Di luar hal tersebut, katanya, negara sudah hadir melalui LPSK dengan program perlindungan, Dinas Unit Pelaksana Teknis Perlindungan Perempuan dan Anak atau UPT PPA Jawa Barat dan bantuan lainnya.
Herry Wirawan, ustaz cabul sekaligus pemilik Madani Boarding School di Cibiru, Kota Bandung, Jawa Barat resmi divonis. Menjelis Hakim menghukum Herry seumur hidup. Ia dinilai terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar hukum dengan memperkosa 13 santriwatinya hingga hamil dan melahirkan.
Selain hukuman penjara seumur hidup, hakim mempertimbangkan sejumlah hal lain. Pertama, hakim memutuskan untuk tidak memberikan hukuman kebiri. Hakim mengacu pada Pasal 67 KUHP yang menyatakan bahwa terdakwa yang dihukum penjara seumur hidup tidak mendapat hukuman lain.
Selain itu, majelis hakim menetapkan angka restitusi (uang pengganti kepada korban) sebesar Rp331.527.186 untuk 12 korban. Namun majelis hakim membebankan biaya restitusi tersebut kepada KPPA karena Herry dinilai berhalangan untuk membayar.
Kritik bermunculan terkait restitusi yang dibebankan kepada pemerintah, bukan kepada pelaku pemerkosaan.
Direktur JalaStoria Ninik Rahayu menilai, tanggung jawab restitusi tetap harus dibebankan kepada terdakwa.
“Restitusi adalah hak korban, tetapi tanggung jawab untuk membayar restitusi dalam dokumen hukum yang ada, misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tetap menjadi kewajiban terdakwa yang sduah dinyatakan bersalah, bukan pada negara seperti putusan terlapir,” kata Ninik kepada reporter Tirto, Selasa (15/2/2022).
Menurut Ninik, terdakwa harus dibebankan untuk membayar dengan konsep mencicil jika tidak mampu membayar. Ia pun menolak jika ada gagasan hukuman restitusi disubsider dengan hukuman kurungan.