Menuju konten utama

Logika Industri Sepakbola di Balik Bursa Transfer Lucky Hakim

Seorang "pemain" yang punya kemampuan lebih untuk membawa "tim" menjuarai kompetisi biasanya bakal dihargai lebih mahal.

Logika Industri Sepakbola di Balik Bursa Transfer Lucky Hakim
Ketua Umum DPP Partai Amanat Nasional (PAN) Zulkifli Hasan memberikan keterangan kepada wartawan mengenai pendaftaraan caleg PAN, Kamis (12/4/2018). ANTARA FOTO/ Reno Esnir

tirto.id - Kalau Anda pikir bursa transfer hanya terjadi pada pemain sepak bola saja, Anda salah besar. Perpindahan dari satu "klub" ke "klub" lain dengan "biaya transfer" juga terjadi di dunia politik dengan rupa yang mirip. Hal ini terjadi pada seleb cum politikus Lucky Hakim. Ia awalnya berkarier di PAN, kemudian berlabuh ke Nasdem pimpinan Surya Paloh.

Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan menyebutkan ada yang memberikan uang Rp5 miliar kepada Lucky Hakim sehingga "transfer" berjalan mulus. Zulkifli mengatakan itu kepada awak media, Rabu (18/7/18) di DPR RI, Senayan. Hal ini ia tegaskan kembali sehari setelahnya, tepat sebelum memasuki pintu elevator.

Namun, dalam dua kesempatan itu ia enggak berkomentar terlalu banyak. Ia hanya mengatakan kalau pemberian itu "pengakuan Lucky sendiri."

Rabu kemarin (18/7/2018), beredar tangkapan layar grup WhatsApp bernama "KESEKJENAN". Di sana Lucky menjelaskan duduk perkara transfer itu. Kepada Tirto, Lucky membenarkan kalau itu memang dia yang membuatnya.

Dalam tangkapan layar itu bekas pemain sinetron Culunnya Pacarku ini mengaku tak hanya mendapat uang dari Nasdem sebesar Rp5 miliar, tapi juga "tambahan bantuan logistik senilai Rp2 miliar." Uang tersebut diberikan agar Lucky bisa membantu Nasdem merebut "kursi" di daerah pemilihan Jawa Barat VI (meliputi Kota Bekasi dan Depok). Di sana hanya tersedia jatah enam kursi untuk DPR RI.

Namun Lucky enggan disebut kalau dirinya "dibajak Nasdem" atau semata pindah karena tergiur uang. Sebab kalau memang faktornya cuma itu, Perindo pimpinan Hary Tanoesoedibjo sudah menyediakan "kontrak sinetron" yang jumlahnya lebih besar, senilai Rp10 miliar, atau Berkarya yang menyiapkan Rp6 miliar.

Dalam keterangan tertulisnya kepada Tirto, tergambar bagaimana konflik Lucky-PAN yang memang mirip sinetron. Lucky mengaku selama tiga tahun berkarier di partai itu selalu dalam ancaman, pemerasan, dan tekanan pergantian antar-waktu. Namun, selama itu pula ia enggan berkoar demi menjaga nama baik partai, sampai akhirnya Lucky mengaku dipecat partai pada 31 Januari 2018.

"Hal inilah yang membuat saya tidak cocok lagi dengan kebijakan DPP PAN yang telah mem-PAW saya secara sepihak," katanya.

Setelah pemecatan, PAN akhirnya juga mengganti Lucky. Di Komisi X DPR, ia diganti Intan Fitriana Fauzi pada awal Juli lalu. PAN sendiri berkilah pergantian itu karena Lucky sudah pindah ke "kapal" yang lain.

Lucky mengatakan ia telah memutuskan mundur dari PAN pada 11 April atau setelah empat bulan dipecat dan sebelum diganti di DPR. Ia tidak menjelaskan apa pada saat diganti langsung pindah ke Nasdem atau tidak. Namun berdasarkan penelusuran Google News, berita pertama yang menyebut Lucky pindah ke Nasdem setelah mengundurkan diri tertanggal 2 Mei.

Harga Naik Karena Track Record

Logika politik kadang sama seperti logika sepakbola. Seorang "pemain" yang punya kemampuan lebih untuk membawa "tim" menjuarai kompetisi biasanya bakal dihargai lebih mahal.

Wakil Sekretaris Jenderal PAN Saleh Daulay membenarkan itu lewat kasus Lucky Hakim. Ia mengakui bahwa angka transfer yang menyentuh Rp5 miliar tersebut bisa terjadi karena sebelumnya Lucky pernah menjadi anggota legislatif.

"Jujur saja, adanya nilai transfer yang besar itu karena dia pernah menjadi anggota DPR. Kalau belum pernah duduk, saya yakin angka yang ditawarkan tidak akan sebesar itu," katanya kepada Tirto.

Apa yang dikatakan Saleh Daulay diperkuat dengan fakta bahwa Lucky Hakim memang berhasil menyingkirkan puluhan orang untuk dapat enam kursi di DPR RI dari dapil Jawa Barat VI dengan perolehan suara yang cukup meyakinkan.

Pada pemilu 2014 lalu, jumlah caleg dari seluruh partai di dapil itu mencapai 71 orang. Lucky memperoleh suara 57.891, lebih tinggi ketimbang Wenny Haryanto (Golkar, Komisi VIII) yang mendapat 32.906 suara, Risa Mariska (PDIP, Komisi III) yang memperoleh 27.578 suara, dan Nuroji (Gerindra, Komisi X) dengan 52.838 suara. Lucky hanya kalah dari Mahfudz Abdurrahman (PKS, Komisi V) dengan 61.832 suara dan Sukur Nababan (PDIP, Komisi V) yang mendapat 123.493 suara.

Analis politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan menilai banyak sekali cara dan pendekatan partai politik demi menggaet calon kadernya. Dua di antaranya adalah lewat "jalur idealis" dan "pragmatis". Jika lewat jalur idealis, partai bakal mencari kader dengan visi, misi, program, gagasan, dan ideologi yang sama. Jika lewat jalur pragmatis, salah satunya adalah dengan uang.

"Itu memungkinkan terjadi. Jadi tidak ideologis lagi, malah pragmatis sekali," kata Djayadi kepada Tirto. Dan perpindahan Lucky masuk dalam kategori ini.

Meski demikian, Djayadi berpendapat apa pun cara yang ditempuh partai demi menggaet kader—entah idealis maupun pragmatis—tetap tidak boleh melupakan aspek mendasar kader politik: integritas dan kompetensi. Dua hal itu bisa dibangun lewat pendampingan dan pelatihan menjadi politikus berkualitas dan mahir menentukan arah kebijakan yang akan diambil ketika menjadi pejabat.

"Jangan cuma planga-plongo saja di kursi pemerintahan. Hanya jadi pelengkap," katanya.

Baca juga artikel terkait PILEG 2019 atau tulisan lainnya dari Haris Prabowo

tirto.id - Politik
Reporter: Haris Prabowo
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Rio Apinino