tirto.id - Menyimak lirik lagu Ebiet G. Ade "Titip Rindu Buat Ayah" ini semacam dipaksa mengingat kemuskilan hidup orang tua, yang meskipun dikalahkan berkali-kali, tetapi tetap tegar menjalani nasib dan takdirnya.
Seno Gumira Ajidarma pernah menggambarkan betapa mengerikannya menjadi tua dengan segala problematikanya dalam karya berjudul "Menjadi Tua di Jakarta", yang quotes-nya sering bermunculan di media sosial. Bedanya, Seno berbicara dalam ranah yang lebih spesifik, yakni kehidupan di Ibukota.
Ia bilang: “Alangkah mengerikannya menjadi tua dengan kenangan masa muda yang hanya berisi kemacetan jalan, ketakutan datang terlambat ke kantor, tugas-tugas rutin yang tidak menggugah semangat, dan kehidupan seperti mesin, yang hanya akan berakhir dengan pensiun tidak seberapa.”
Makna Lirik Lagu Ebiet G. Ade "Titip Rindu Buat Ayah"
Meski sama-sama menangkap keresahan itu, karya Ebiet masih menyimpan semangat walau dikemas dalam nada-nada sendu. Di sisi lain, lagu ini juga berkisah dalam lingkup lebih personal, yakni tentang orang tua, yang mungkin saja berbicara tentang ayahnya sendiri.
Dalam lirik itu, Ebiet mencoba mengisahkan pandangan sang anak tentang seorang ayah dengan segala kelelahannya, bahkan hingga "nafas tersengal" namun masih tetap tabah menjalani kehidupan.
Pemilihan diksi terkait perubahan-perubahan fisik menjadi tua semakin membuat lagu ini memiliki nyawa serta narasi yang kuat. Coba lihat: "Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari. Kini kurus dan terbungkuk."
Di sisi lain, lirik lagu ini juga dengan baik menarasikan tentang sebuah perjuangan hidup orang tua yang sudah mengerti tentang asam garam kehidupan. Setelah tersadar akan lika-liku kehidupan sang bapak, si anak ini teringat akan beban kehidupan yang juga harus ia jalani.
Ebiet G. Ade adalah salah satu musisi yang kepiawaian menulis liriknya memiliki ciri khas kuat dan belum tergantikan. Meski demikian, pria bernama lengkap Abid Ghoffar Aboe Dja’far ini tidak pernah membayangkan bila perjalanan musiknya akan sejauh ini. Sebab, niat awalnya hanya ingin menjadi guru agama.
Namun, panggilan bermusiknya lebih kuat sehingga memutuskan untuk melanjutkan sekolah di Yogyakarta. Di kota Pelajar itu, bakat musik Ebiet semakin terasah, meski tidak serta merta datang dari sana.
Sebab, sejak kecil ia telah belajar musik dari kakaknya, Ahmad Mukhodam. Hasrat seni Ebiet muda menemukan salurannya saat ia berusia 17 tahun pada 1971. Di sela-sela sekolahnya, Ebiet kerapkali nongkrong di Malioboro bersama seniman-seniman.
Malioboro pada dekade '70-an sangat berbeda dengan saat ini. Saat itu, Malioboro adalah sebuah ruang publik inklusif dimana segala lapisan masyarakat, khususnya seniman, berkumpul dan berinteraksi. Para seniman Yogyakarta kerapkali berdiskusi dan menggelar pentasnya di tempat ini.
Malioboro adalah sekolah serta panggung seni pertama bagi Ebiet. Di tempat inilah ia menimba ilmu sastra dari tokoh-tokoh sastra Malioboro seperti Emha Ainun Nadjib atau Cak Nun, Linus Suryadi AG, Eko Tunas, E.H Kartanegara, di bawah bimbingan sang “Presiden Penyair Malioboro”, Umbu Landu Paranggi.
Ebiet juga pernah berguru kepada komponis terkenal Kusbini. Sayangnya, Ebiet ternyata tidak memiliki bakat untuk deklamasi puisi, meskipun kemampuannya menulis syair sudah tidak diragukan lagi.
"Keinginan saya justru ingin jadi penyair, penulis, bahkan pengin jadi wartawan. Tapi Tuhan berkehendak lain," ujarnya kepada Tempo.
Lirik Lagu "Titip Rindu Buat Ayah" Ebiet G. Ade:
Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa
Benturan dan hempasan terpahat di keningmu
Kau nampak tua dan lelah
Keringat mengucur deras
Namun kau tetap tabah
Meski napasmu kadang tersengal
Memikul beban yang makin sarat
Kau tetap bertahan
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia
Ayah, dalam hening sepi kurindu
Untuk menuai padi milik kita
Tapi kerinduan tinggal hanya kerinduan
Anakmu sekarang banyak menanggung beban
Engkau telah mengerti hitam dan merah jalan ini
Keriput tulang pipimu gambaran perjuangan
Bahumu yang dulu kekar, legam terbakar matahari
Kini kurus dan terbungkuk
Namun semangat tak pernah pudar
Meski langkahmu kadang gemetar
Kau tetap setia
Editor: Iswara N Raditya
Penyelaras: Ibnu Azis