tirto.id - “Tukarkan simpanan euro, dolar atau emas kalian yang disimpan di bawah bantal dengan lira ke bank-bank kita. Ini adalah bagian dari perjuangan nasional,” seru Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan di hadapan pendukungnya di Kota Bayburt pada Jumat (10/8)
Belum sampai dua bulan pasca pengangkatan diri kembali menjadi Presiden Turki, Erdogan harus menerima kenyataan pahit nilai tukar lira sempat terperosok dalam sampai dengan 20 persen dan mencatatkan rekor terendah.
Imbauan kepada rakyat Turki agar menjual mata uang asing dan membeli mata uang lokal, harapan Erdogan dapat menjadi balasan terhadap negara-negara yang melancarkan perang ekonomi terhadap Turki. Namun, nilai tukar lira terhadap greenback tak kunjung menguat. Mengutip data Reuters, Senin (13/8), nilai tukar lira terhadap dolar AS terkapar di posisi TRY 6,870 per dolar AS atau bertambah lemah 6,84 persen dibanding penutupan akhir pekan lalu.
Sejak 1 Januari 2018 sampai dengan 13 Agustus 2018, nilai tukar lira Turki telah merosot sampai dengan sekitar 40 persen. Penyebab melemahnya nilai tukar lira di hadapan dolar AS, antara lain adalah rendahnya tingkat suku bunga acuan yang ditetapkan dalam menghadapi tingginya angka inflasi, memburuknya hubungan dengan Amerika Serikat (AS), serta kekhawatiran atas kebijakan ekonomi yang diusung Erdogan.
Jumat lalu, Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengumumkan mengganjar tarif impor barang logam berupa aluminium dan baja asal Turki sebanyak dua kali lipat. Pengumuman ini yang membuat nilai tukar mata uang lira Turki terjun terhadap dolar AS. Sebabnya, penggandaan tarif bea masuk impor barang logam asal Turki ini dikhawatirkan akan menambah tinggi inflasi serta kenaikan angka pengangguran di Turki.
“Saya baru saja mengesahkan penggandaan tarif pada baja dan aluminium asal Turki masing-masing sebesar 50 persen dan 20 persen. Sehubungan dengan nilai tukar lira Turki, akan meluncur turun dengan cepat terhadap dolar AS yang sangat kuat. Hubungan kami dengan Turki tidak baik saat ini,” tulis Trump di akun resmi twitter @realDonaldTrump pada 10 Agustus lalu.
Erdogan menguatkan rakyat Turki agar tidak perlu panik terhadap ancaman tersebut, dengan mengatakan bahwa pemerintah memiliki ‘persiapan untuk seluruh jenis kemungkinan negatif’ yang menjadi ganjalan pertumbuhan ekonomi Turki. Namun, rakyat Turki mengaku telah merasakan penderitaan akibat tingginya inflasi dan juga pelemahan nilai tukar mata uang lira.
Aylin Ertan, pemilik usaha katering di Ankara mengaku khawatir atas masa depan usaha kecilnya. Ini karena, makanan, harga sewa dan bahan bakar mengalami kenaikan harga di Turki. “Harga bahan makanan yang saya beli semakin mahal, bahan bakar yang saya gunakan untuk mengantar makanan juga bertambah, tetapi saya tidak bisa menaikkan harga jual makanan yang saya buat. Saya hanya khawatir, suatu saat saya akan menderita kerugian,” cerita Aylin seperti dilansir dari NBC News.
Toko-toko maupun bar di sepanjang lorong pusat perbelanjaan utama Istanbul, Istiklal Cadessi atau yang juga dikenal dengan sebutan Independence Acenue, banyak yang menggantungkan tanda ‘Disewakan’ di depan pintunya. Hari-hari tanpa pelanggan kerap dialami para pedagang, yang membuat banyak dari mereka yang gulung tikar.
“Menurut saya kami sedang mengalami krisis ekonomi, meski tidak ada yang secara gamblang menyebut hal itu. Tapi, penjualan maupun keuntungan menurun dan kami harus membuka toko yang lebih kecil dengan staf yang lebih sedikit. Saya rasa saya hanya bisa bertahan satu tahun lagi di sini sebelum benar-benar bangkrut,” ucap Tekin Acar, pedagang kosmetik seperti diwartakan BBC.
Keluhan ancaman kebangkrutan juga disampaikan Erol Avci kepada BBC, seorang pedagang karpet yang telah menjalankan usaha selama 39 tahun. “Saya mulai bekerja sejak usia 18 tahun dan ini adalah yang terburuk yang pernah ada. Penjualan turun 80 persen dan tidak menghasilkan laba. Saya bahkan sudah tidak menerima gaji,” ungkap Erol.
Inflasi tahunan Turki berdasarkan per Juli 2018 berdasarkan data Turkish Statistical Institute (TUIK) seperti yang dilansir dari CNBC mencapai 15,85 persen, lebih tinggi dibanding Juni 2018 yang sebesar 15,35 persen, dan merupakan capaian inflasi tertinggi sejak Januari 2004.
Parahnya, Erdogan justru menekan bank sentral untuk tidak menaikkan tingkat suku bunga acuan. Padahal, salah satu kaidah umum untuk mengatasi tingginya inflasi adalah dengan kenaikan tingkat suku bunga acuan. Bank Sentral Turki pada 24 Juli kemarin memutuskan untuk mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 17,75 persen yang memberikan efek samping berupa pelemahan nilai tukar.
“Gambaran besar adalah bahwa ekonomi Turki tetap rentan terhadap pergeseran sentimen pasar,” ucap Urgas Ulku, Analis di Institute of International Finance seperti dikutip dari media Inggris, Express.
Ekonomi Turki terus mengalami turbulensi tinggi sejak pertengahan 2016, di mana terdapat kombinasi dari besarnya defisit transaksi berjalan, utang sektor swasta yang tinggi, pendanaan asing yang signifikan dalam sistem perbankan, serta nilai utang pemerintah dalam denominasi mata uang asing yang meningkat tinggi.
Utang sektor swasta Turki per April 2018 melonjak sampai dengan 70 persen dari PDB Turki. “Lebih dari setengahnya adalah dalam mata uang asing. Jadi, depresiasi lira yang terjadi akan memangkas keuntungan perusahaan dan mengubah keseimbangan bisnis perusahaan,” imbuh Urgas Ulku, seperti diwartakan Financial Times.
Setali tiga uang, utang pemerintah Turki juga menggunung dikarenakan imbal hasil surat utang atau obligasi negara dengan tenor 10 tahun meningkat tajam hingga lebih dari 20 persen. Yang artinya, investor melihat risiko gagal bayar yang tinggi atas surat utang yang dikeluarkan oleh pemerintah.
“Pelemahan nilai tukar lira bersifat multifaset, yang disebabkan tidak hanya oleh posisi eksternal yang lemah dalam hal defisit transaksi berjalan dan cadangan mata uang yang tidak memadai, tetapi juga lingkungan politik yang menantang yang memperparah kerentanan lira,” kata Kerry Craig, ahli strategi pasar global di JP Morgan Asset Management, seperti dikutip dari Bussiness Insider.
Apa yang terjadi saat ini di Turki, sebagian juga terjadi di Indonesia. Persoalan defisit transaksi berjalan yang menahun, dan melemahnya kurs rupiah terhadap dolar AS. Pada perdagangan pagi Senin (13/8), rupiah terjerembab 0,9 persen menjadi Rp14.612 per dolar AS, yang merupakan capaian terendah dalam tiga tahun. Mengutip data Bahana Sekuritas, pelemahan rupiah lebih dalam dibanding pelemahan mata uang negara ASEAN lainnya seperti peso Filipina, baht Thailand, kyat Myanmar dan juga dong Vietnam yang turun tidak lebih dari 0,5 persen.
Namun, melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar saat ini tidak bisa dibandingkan dengan jatuhnya lira. Sebab, kondisi fundamental ekonomi Indonesia yang lebih kuat ketimbang Turki meski sama-sama berstatus sebagai negara berkembang. Data terbaru defisit transaksi berjalan Indonesia per Juni 2018 yang diumumkan Bank Indonesia memang berada dalam tren kenaikan menjadi 3 persen dari PDB atau setara dengan $8 miliar.
Angka itu lebih tinggi dibanding defisit transaksi berjalan tiga bulan pertama 2018 yang sebesar $5,7 miliar atau setara 2,2 persen PDB. Namun, angka tersebut lebih rendah ketimbang defisit transaksi berjalan Turki yang sebesar 5,5 persen.
“Indonesia punya hal-hal positif yang bisa dilihat selama minggu ini. Pertumbuhan ekonomi yang kuat (5,25 persen), inflasi rendah dan defisit APBN yang diperkirakan lebih rendah rendah,” kata Sri Mulyani, Menteri Keuangan RI seperti dilansir dari Antara.
Nilai tukar rupiah yang menembus level psikologis Rp14.600 per dolar AS saat ini, Bank Indonesia (BI) mengklaim masih dapat mengendalikan. Intervensi pasar valas untuk memastikan terjaganya likuiditas di pasar, menjadi upaya bank sentral menjaga pelemahan rupiah lebih jauh. Konsekuensinya adalah cadangan devisa BI yang kian terpangkas.
“Jika tekanan yang datang semakin kuat, BI akan menjalankan dual intervensi dengan stabilisasi di pasar surat berharga negara (SBN),” ucap Direktur Eksekutif Departemen Pengelolaan Moneter BI, Nanang Hendarsyah seperti dikutip dari Antara.
Editor: Suhendra