tirto.id - Bicara industri film dewasa (porno), Indonesia tidaklah seperti Amerika, Jepang, Denmark atau Prancis. Dari aspek budaya masyarakat sampai sisi regulasinya, semua berbeda. Jangankan bikin film dewasa, omong 'porno' saja di negeri ini ada yang menganggap haram jaddah.
Di Indonesia, lewat Undang-undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi pemerintah tegas mengatur dan membatasi segala hal yang bersifat porno. Inilah kenapa film bokep di Indonesia terlarang. Berbeda dengan Jepang, apalagi Amerika dan sejumlah negara Eropa lainnya yang terang-terangan melegalkan produksi film dewasa itu.
Menyorot soal data film dewasa di sejumlah negara itu, sebelumnya Frederick S. Lane, penulis Obscene Profits: The Enterpreneurs of Pornography in the Cyber Age (2000), dalam artikelnya di laman Satanford University, pernah menyebut empat faktor yang membikin industri pornografi sukses besar.
Analisis Frederick S. Lane pernah disinggung dalam artikel Tirto menyorot soal pendapatan industri film porno di dunia dalam artikel berjudul: Berapa Besar Pendapatan Industri Porno?
Frederick menjabarkan empat faktor tersebut. Pertama, industri pornografi sangat mahir mengumpulkan sekaligus mempertahankan jumlah konsumen melalui serangkaian taktik pemasaran terbuka dan mudah diterima. Kedua, hadirnya banyak iklan dalam industri. Ketiga, kerjasama yang solid dengan pelaku pornografi yang lain. Dan terakhir, industri pornografi cerdas dalam memanfaatkan perkembangan teknologi.
Lalu berapa pendapatannya? Ada banyak riset berusaha menjawabnya. Studi lawas Forrester Research (1998), misalnya, menyebut industri pornografi bernilai sebesar 10 miliar dolar AS. Sementara Adult Video News (2009) mengatakan sebanyak lebih dari 4 miliar dolar AS berputar dalam industri ini. Lalu, catatan dari US News & World Report (2007) menegaskan industri porno memiliki valuasi senilai 8 miliar dolar AS.
Salah satu, kalau tidak bisa dibilang yang terbesar, negara yang sudah mapan dalam industri film porno adalah Jepang, yang biasa disebut Japan Adult Video (JAV). Bisnis tersebut di negara Matahari Terbit itu adalah legal dalam batas tertentu.
Di Jepang, industri porno sendiri punya estimasi pendapatan sekitar 4,4 miliar dolar AS, dengan jumlah produksi sebanyak 20 ribu judul tiap tahunnya. Laporan Forbes (2001) merinci dengan jelas berapa pendapatan industri porno. Menurut mereka, uang yang berputar dalam industri porno kurang dari 3,9 miliar dolar AS (PDF). Angka tersebut didapat dari penjualan dan penyewaan video porno (500 juta-1,8 miliar dolar AS), internet (1 miliar dolar AS), biaya per tayang (128 juta dolar AS), hingga publikasi di media—majalah—(1 miliar dolar AS).
Merujuk laporanThe Guardian mengutip Forbes, diperkirakan industri pornografi di Jepang mencapai sekitar 500 miliar yen atau 4,4 miliar dolar AS per tahun. Nilai ini didapat lewat produksi sekitar 20 ribu judul film porno.
Sementara rangkuman Quartz Atlasmemperkirakan industri pornografi di Amerika Serikat menghasilkan pemasukan 6 milyar dolar AS pada 2018. Angka itu adalah estimiasi nilai terkecilnya. Jika dibuat lebih optimistis nilai estimasi industri porno diperkirakan mencapai 15 milyar dolar setahun. Angka ini lebih kecil dibanding pemasukan industri Hollywood (11,1 milyar dolar AS) ataupun Netflix (11,7 milyar dolar AS) pada tahun 2018.
Namun menurut beberapa ahli, klaim dari industri porno juga perlu dipertanyakan kembali kredibilitasnya. Sebab tidak ada lembaga yang secara resmi mengukur industri mereka. Perkiraannya industri pornografi cenderung tidak mengalami perkembangan signifikan. Alias dari zaman dulu sampai sekarang sebenarnya nilainya cenderung stagnan.
Lalu bagaimana di Indonesia? Data resminya belum ditemukan. Namun kasusnya ada. Ini seperti kentut, tidak bisa dilihat rupanya tapi suara dan baunya bisa dicium. Industri porno di Indonesia begitu. Penampakan industri resminya jelas tidak ada karena terlarang tadi. Namun produknya ada, sebarannya jelas, konsumennya ada.
Ini terjawab dengan beberapa kasus yang diungkap kepolisian baru-baru ini. Dua 'ledakan' kasus mengejutkan dan membetot publik yakni kasus di Surabaya dan Jakarta. Produsen mini film porno "Kebaya Merah" di Surabaya telah memproduksi 92 film dengan keuntungan ratusan juta (Data: Antara). Dua orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus tersebut.
Beberapa bulan berikutnya giliran Polda Metro Jaya mengungkap kasus serupa. Sebanyak 16 orang diperiksa, total jumlah produksi film 120 sejak 2022. Satu tayangan kurang lebih berdurasi 60-90 menit, lalu jika ingin menontonnya maka pelanggan harus membayar biaya langganan sebesar Rp50 ribu (per hari), Rp250 ribu (per bulan), dan Rp500 ribu (per tahun).
Sejauh ini, tercatat ada 0 ribu pengguna yang bergabung. Penghasilan dari rumah produksi ini menembus Rp500 juta, sebagian keuntungan diubah menjadi aset.
Untuk kasus di Jakarta, tirto menelusuri jejak produksi kasus tersebut, di mulai dari lokasi syuting filmnya yang diambil di sebuah ruko di kawasan Srengseng Sawah Jakarta selatan. Ialah Sutarno, Ketua RT setempat yang mengaku menerima kedatangan seseorang berinisial I di rumahnya sebelum kasus PH porno meledak.
Ini terjadi pada pertengahan Januari 2023. Saat itu, I bilang mau menyewa sebuah ruko dua lantai yang akan dijadikan studio iklan serta film pendek bergenre horor dan komedi.
"Saya meminta legalitas berupa KTP dan Kartu Keluarga. Karena dia (pasti) mengurus (izin) kepada kelurahan bahwa dia nanti ada kegiatan," ujar Sutarno kepada Tirto, 7 Oktober. Sayang I tak membawa barang yang dibutuhkan Sutarno.
Alasannya, KTP dan Kartu Keluarga itu tertinggal di "Studio 1", yang letaknya ada di RT 01, sekitar 500 meter dari ruko yang dijadikan "Studio 2".
Sutarno pun menyarankan agar dokumen-dokumen itu difoto dan dikirim melalui pesan WhatsApp. Beberapa kali Sutarno menagih dokumen yang dibutuhkan, tapi I selalu mengelak dengan dalih sedang syuting atau timnya yang akan menyerahkan dua berkas tersebut.
Sutarno mengaku hanya satu kali tatap muka dengan I, pada pertemuan perdana mereka. Pernah juga Sutarno melihat syuting kru di jalanan sekitar rumahnya, I selalu ada di lokasi karena ia berperan sebagai sutradara.
"Syarat" syuting adalah tak mengganggu aktivitas warga setempat dan kelancaran jalanan sekitar. "Dia sering syuting saat hari libur. Di Jalan Pemuda (depan rumah Sutarno) dan Jalan Srengseng Sawah. Syuting biasa, tidak ada adegan dewasa," terang dia.
Bahkan, ia pernah melihat, ada juga artis yang berperan sebagai pocong, hal itu tentu menjauhkan pikiran Sutarno bahwa I dan timnya adalah kru video porno. Sesekali warga melihat I dan awaknya bekerja, namun mereka tak menjadi pusat perhatian penuh lantaran pemeran filmnya bukanlah artis papan atas.
"Rata-rata pemainnya laki-laki, kru juga rata-rata laki-laki. Syuting menjelang sore."
Studio 1, berdasar informasi yang Sutarno tahu, merupakan tempat proses pemilihan peran dan pernah ada spanduk hari penyelenggaraan audisi; bahkan sesekali syuting. Bangunan itu disewa satu tahun sebelumnya. Sementara Studio 2 untuk tempat edit.
Delapan bulan kemudian, kala Sutarno meninggalkan rumah untuk bekerja, sekira pukul 11, tiba-tiba ia mendapatkan informasi bahwa ada penggerebekan di lingkungan rumahnya. Setelah ia cek alamatnya, ternyata itu adalah ruko yang disewa I lantaran bangunan itu dijadikan rumah produksi video porno.
"Warga terkejut karena tak menyangka. Begitu ada penggerebekan, kami kaget. Terlebih lagi, di Studio 1 mereka telah bikin (film dewasa)," kata Sutarno.
Akibat kejadian itu pihak Kelurahan Srengseng Sawah menerbitkan surat instruksi bagi Ketua RW dan Ketua RT untuk mendata para penyewa lahan tempat usaha. Para penyewa akan dibuatkan surat pernyataan perihal usaha yang dijalankan. Jika kenyataannya berbeda dengan kesepakatan, maka mereka bisa diusir.
Ada bangunan ketiga yang juga digerebek oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya yakni sebuah rumah di kawasan Jati Padang, Jakarta Selatan. Penyidik menangkap lima tersangka dalam kasus ini antara lain I (sutradara admin dan pemilik situs), JAAS (kameramen), AIS (editor), AT (penata suara), serta SE (sekretaris dan pemeran).
Direktur Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya Kombes Ade Safri Simanjuntak mengatakan film-film tersebut didistribusikan via situs kelassbintang, togelfilm, dan bossinema.
Penyidik juga menyita sejumlah barang bukti seperti satu set alat syuting, lima perangkat keras, satu diska lepas, lima ponsel, dua laptop, dua komputer, dan dua televisi.
Para pemeran tergiur karena setiap satu kali produksi video, dibayar rata-rata belasan juta. “Pembayaran kepada pemeran kisaran Rp10-15 juta per judul film," kata Ade Safri saat dihubungi reporter Tirto, 13 September.
Kelima tersangka dijerat dengan Pasal 27 Ayat (1) juncto Pasal 45 ayat (1) dan/atau Pasal 34 Ayat (1) juncto Pasal 50 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Lalu Pasal 4 Ayat (1) juncto Pasal 29 dan/atau Pasal 4 Ayat (2) juncto Pasal 30 dan/atau Pasal 7 juncto Pasal 33 dan/atau Pasal 8 juncto Pasal 39 dan/atau Pasal 9 juncto Pasal 35 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. Kemudian berdasar penelusuran polisi, ada 12 artis yang berkelindan dalam perkara ini.
Pasar Pornografi yang Tinggi
Suburnya industri film maupun konten pornografi tak lepas dari permintaan pasar. Lapon, bukan nama sebenarnya mengaku berlangganan layanan konten Only Fans sejak tahun 2018 karena konten-konten yang disajikan ekslusif.
Kala itu, pemuda berusia 25 tahun ini bisa merogoh kocek sekitar Rp100 ribu untuk berlangganan mingguan atau sebulan demi bisa mengakses konten eksklusif, baik foto hingga video vulgar idolanya. Lantaran lamannya berbasis di London, Inggris tersebut, ia membayarnya menggunakan Paypal.
“Biasanya ini nemu penggalan video bokep di situs-situs gratis. Terus dari penggalan itu, ternyata ada bagian full-nya di Onlyfans, jadi ya sudah deh subscribe,” ucap Lanop kepada Tirto, Selasa (10/10/2023).
Berdasarkan pencarian, saat ini belum ditemukan berapa banyak konsumen Indonesia yang mengonsumsi video porno berbayar. Sementara jika merujuk data konsumen luar negeri pada laman pornografi Pornhub per Juni 2022, Filipina menjadi negara dengan durasi terlama menonton Pornhub yakni 11 menit 31 detik, Jepang 10 3 menit, dan Prancis 10,2 menit.
Sementara pada akhir 2022, secara umum Amerika Serikat menjadi negara dengan akses Pornhub tertinggi. Disusul Inggris, Prancis, Jepang, Meksiko, dan Itali.
Rerata waktu yang dihabiskan orang-orang AS ini untuk mengakses Pornhub sekitar 9 menit 41 detik, lebih singkat ketimbang orang-orang Itali 9 menit 52 detik; Inggris 10 menit 5 detik; dan Jepang 10 menit 59 detik.
Rata-rata usia pengunjung Pornhub yakni 37 tahun, dengan proporsi terbesar berada pada rentang 25 - 34 tahun 26% dan 35 - 44 tahun 19%. Pola itu masih nampak sama pada tahun 2021, sementara pada 2019 rerata pengunjung berumur sedikit lebih muda, yaitu 36 tahun.
Kriminolog Universitas Indonesia Adrianus Meliala menduga bisnis pornografi di Indonesia semakin marak sebagai underground economy.
“Saya yakin dalam waktu cepat besaran bisnis di Jepang akan terlampaui mengingat besarnya kelas menengah di Indonesia yang punya uang untuk mengonsumsi pornografi,” ujar Adrianus.
Untuk itu, bila ingin melenyapkan fenomena ini, maka harus berpikir keluar dari hukum normatif (bertindak keras, tegas, tuntas, dan optimal).
Lantas apakah sudah tepat pasal-pasal yang diterapkan oleh polisi kepada tersangka? Adrianus menilai jika publik merasa bisnis ini sebagai hal yang meresahkan maka bisa menggunakan pendekatan hukum konservatif yang berhati-hati, normatif, menggunakan sesuai undang-undang, maka itu akan berkembang sesuai dengan regulasi.
"Jika regulasi mengatur ini maka dia (pelaku) akan menyesuaikan diri. Dia akan berkembang sesuai regulasi. Bukan itu yang diharapkan," sambung Adrianus. Justru penegak hukum bisa menerapkan apa pun undang-undang yang ada sehingga semua elemen sindikat bisa "kena gebuk" lalu kapok. Dampaknya bisnis pornografi di Indonesia bisa dimusnahkan.
"Misalnya, (terapkan) UU ITE, UU Pornografi, KUHP, lalu menggunakan pendekatan akumulatif, wah, itu (bikin) kapok (sindikat)," ucap Adrianus.
Bagaimana dengan publik yang menjadi konsumen? Apakah bisa kena hukum? Adrianus menilai ada dua hal. Pertama, sebagai bentuk kebijakan maka akan muncul pihak yang pro dan kontra, yang diuntungkan dan dirugikan. Lalu juga perlu menganalisis posisi pemerintah dan publik, apakah sebagai pendukung atau penolak.
"Aparat biasanya akan mengikuti apa kata pemerintah dan masyarakat."
Kedua, pelaku mendistribusikan film-film itu dalam situs khusus yang mesti memiliki akun dan berlangganan. Hanya dewasa yang bisa mencapai itu, sementara golongan anak kemungkinan kecil sulit akan membayar biaya langganan. Seyogianya karena ini merupakan tindakan orang dewasa maka tidak boleh dicampuradukkan dengan anak, misalnya.
"Semua ini tergantung politik hukum," jelas Adrianus.
UU Belum Efektif?
Indonesia pada dasarnya memiliki Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi [pdf], yang artinya secara hukum/legal, negara mengatur proses produksi, distribusi, dan konsumsi materi-materi yang bermuatan pornografis. Regulasi itu diproduksi dalam upaya membatasi dan melindungi masyarakat dari terpaan materi pornografi dan dampak-dampaknya.
Namun demikian, Sosiolog sekaligus dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, secara sosiologis, mempertanyakan efektivitas undang-undang itu.
“Apakah mampu mengontrol dan mengendalikan produksi, distribusi, dan konsumsi materi pornografis? Termasuk mengubah anggapan tentang Indonesia sebagai negara yang tergolong 'surganya pornografi?" ujar kepada Tirto, Selasa (10/10/2023).
Keberadaan rumah produksi porno yang baru-baru ini terungkap mengindikasikan bahwa intervensi struktural melalui undang-undang ternyata belum terbukti efektif.
Pada media sosial, materi pornografi masih dapat diakses, dan masih ada pihak-pihak yang memproduksi dan mendistribusi materi pornografis baik melalui media sosial atau lainnya.
"Itu artinya secara sosio-kultural, pornografi masih dekat dan melekat pada sebagian masyarakat," ucap Ida.
Kelemahan utama di negeri ini adalah isu penegakan hukum dan kontrol. Di sisi lain, masyarakat Indonesia tergolong masih buta media, termasuk dalam literasi kemanusiaan. Jika bisnis porografi dilegalkan siapa yang kontrol? Apakah negara mampu?
Lantas apakah entitas bisnis di bidang tersebut hanya berideologi bisnis/komersial tanpa dituntut adanya rasa tanggung jawab sosial dan moral? Apa masyarakat Indonesia termasuk masyarakat yang 'melek media' sehingga mampu memilih dan memilah materi yang dikonsumsinya?
"Jangankan pornografi, apakah kita pernah berpikir dampak film-film yang beredar di masyarakat yang bergenre kekerasan dan horor? Bagaimanapun film memang hiburan, tapi juga perlu mengedukasi," terang Ida.
Kajian tahun 2005, kata Ida, menunjukkan bahwa paparan pornografi itu tidak mengenal wilayah administratif, tidak mengenal desa atau kota. Dalam era digital ini tentu bisa semakin masif, demikian pula dampaknya.
Ida berpendapat generasi muda (termasuk anak) kini sedang diterjang gelombang tsunami informasi, tanpa dilengkapi dengan kemampuan memilih dan memilah. Sayangnya, mereka tanpa pendampingan. Tidak sedikit yang mengalami gangguan mental, berkepribadian rapuh.
"Saya tidak mampu membayangkan jika terjadi legalisasi pornografi. Tanpa dilegalkan saja akses masih mudah. Terbukti ada forum pornografi yang anggotanya bisa jutaan laki-laki," terang dia.
Pornografi bisa menjadi candu sebagaimana narkoba/zat adiktif atau judi daring. Pemerintah Indonesia sedang sibuk literasi digital, itu saja masih menjadi PR berat, lantaran luasnya Indonesia dengan beragam karakteristik masyarakat.
"Indonesia masih berjuang dengan setop judi, narkoba, kekerasan seksual, korupsi, perundungan, dan lainnya. Apakah mau ditambah bebannya dengan isu pornografi?" Pungkas Ida.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Restu Diantina Putri