tirto.id - Jika selama ini kamu berpikiran salon adalah tempat untuk orang dewasa, coba pikir lagi. Di Korea Selatan, salon kecantikan untuk anak-anak tak kalah laris dibanding salon kecantikan untuk perempuan dewasa. Akhir Januari lalu, media lokal Korsel, Korea Herald melaporkan bahwa salon kecantikan anak Shushu & Sassy tidak sanggup lagi meladeni konsumen yang datang tanpa reservasi, lantaran terlalu banyak bocah ingin melakukan perawatan kecantikan setiap akhir pekan.
Para tamu rata-rata berusia empat sampai tujuh tahun dan tertarik mencoba paket perawatan kecantikan berdurasi 10 menit. Pilihan paket terdiri dari spa kaki, pijat, masker wajah, pengaplikasian produk perawatan wajah, menikur, pedikur, dan rias wajah. Setiap sesi perawatan ditutup dengan pengaplikasian tabir surya dan lipstik pada bibir klien.
Bisnis salon/spa kecantikan anak sebenarnya masih termasuk kategori usaha baru di Korsel. Pemilik Shushu & Sassy adalah salah satu pengusaha yang memberanikan diri menjelajah industri baru ini. Awalnya, Shushu adalah produsen kosmetik untuk anak yang memulai bisnis sejak 2013. Mereka menawarkan produk kosmetik yang sehat untuk anak-anak, sekaligus menarik dengan warna-warna cerah. Karena produknya laris, mereka berekspansi dengan mendirikan salon dan spa. Ternyata lini bisnis baru ini juga berhasil.
Dalam artikel yang ditulis oleh Park Ju-young untuk Korea Herald, dikisahkan juga kafe untuk anak-anak yang menyediakan jasa rias wajah dan perawatan kulit. Bisnis perhotelan juga terjun ke ranah bisnis ini dengan menciptakan paket liburan keluarga yang menghadirkan program rias wajah dan spa untuk anak-anak.
Sebenarnya, para orangtua anak-anak ini sempat heran dengan konsep perawatan kecantikan untuk anak-anak. Tapi belakangan mereka paham: ini bisnis serius. Di YouTube, ada banyak anak-anak yang menjajal berbagai produk kosmetik. Tayangan-tayangan ini bisa ditonton hingga puluhan juta kali. Dan mereka pula yang bisa mempengaruhi anak untuk memakai kosmetik, ataupun pergi ke salon.
“Dengan menonton tayangan di YouTube--salah satu medium pemasaran paling berpengaruh, anak-anak akan menganggap merias wajah adalah keharusan,” kata Yunkim Ji-yeong asisten profesor Institute of Body and Culture, Universitas Konkuk.
Kim Ju-duck, Profesor Studi Kecantikan Sungshin Women’s, Universitas Seoul, menyatakan tren kecantikan anak mustahil dibendung karena sejumlah media seperti YouTube dan papan reklame terus-terusan menampilkan aktivitas anak-anak merias wajah.
Pada 2016, Ju-duck pernah melakukan riset terhadap 288 siswi Sekolah Dasar. Salah satu hasil risetnya: 42 persen respondennya, anak-anak SD itu, sudah memakai makeup. Jumlah itu, kata Ju-duck, sudah makin meningkat sekarang.
Laris Sejak Sedekade Lalu
Di benua lain, potensi larisnya kosmetik untuk anak-anak bahkan sudah terendus sejak 2007. The New York Times pernah memuat laporan lembaga riset NPD Group yang menyebut persentase anak perempuan pengguna makeup berusia 8-12 tahun meningkat dua kali lipat sepanjang 2007-2009. Produk yang paling sering digunakan adalah maskara dan eyeliner.
Fenomena ini membuat lini produk perawatan wajah Neutrogena mengeluarkan koleksi untuk anak-anak. Direktur Neutrogena, Cara Robinson semakin yakin melansir produk tersebut setelah mendapat data dari lembaga riset lain yang menyatakan tiga dari empat anak berusia 14-17 tahun rutin menggunakan produk alas bedak.
Pada 2016, temuan soal kosmetik anak masih senada. Lembaga riset pemasaran Mintel menyebut 80 persen anak usia 9-11 tahun menggunakan kosmetik dan produk perawatan wajah. Sekitar 54 persen anak rutin menggunakan pensil alis, eye shadow, dan eye liner. Sedangkan 45 persen menggunakan alas bedak dan concealer, dan 30 persen rutin menggunakan perona pipi dan bronzer.
Mintel bahkan melakukan penelitian terhadap anak-anak dengan usia lebih muda, yakni 6-8 tahun. Sekitar 45 persen dari mereka ternyata sudah rutin menggunakan lipstik/lipgloss. Mereka pun rutin menggunakan pengharum tubuh berjenis parfum atau body spray.
Alasan utama anak-anak dan remaja menggunakan makeup adalah agar tampil percaya diri. Rasa tersebut bisa didapat setelah mereka turut mempraktikkan hal yang dilakukan rekan sebaya atau bocah blogger yang ditayangkan di media sosial.
Di AS, beragam temuan ini dimanfaatkan oleh sejumlah orang yang berminat memulai bisnis kecantikan salah satunya Samantha Cutler pemilik produk kosmetik Petite ‘n Pretty. Lini kosmetik yang ditujukan untuk anak berusia empat - 18 tahun. Cutler memilih memasarkan produk secara daring dan mengandalkan para blogger kecantikan anak-anak sebagai endorser.
Cutler berkata kepada WWDbahwa ia rutin mengirim paket kosmetik seharga 200-300 dollar pada para blogger anak-anak. Sejauh ini ia puas karena para blogger itu punya tingkat interaksi yang cukup intens dengan para pengguna media sosial.
“Mereka selalu semangat untuk mencoba kosmetik baru,” kata Cutler yang merekrut blogger dengan pengikut hampir satu juta orang di media sosial.
Namun fenomena ini turut pula mengundang kontroversi dan penentangan. Di Inggris, sejumlah aktivis perempuan yang menamai kelompok mereka Pinkstinks sempat membentuk kampanye “Slap -- on the face of childhood”. Kampanye ini digagas agar produsen kecantikan berhenti melansir produk untuk anak-anak. Aksi ini turut didukung oleh mantan Perdana Menteri Inggris David Cameron.
“Kampanye ini bertujuan untuk mempertanyakan tindakan perusahaan kosmetik yang hendak masuk ke hidup manusia sedini mungkin. Pada akhirnya mereka harus mempertanggungjawabkan aksinya itu,” kata Abi Moore, penggagas kampanye.
Amerika Serikat yang dikenal punya regulasi ketat soal produk kosmetik, ternyata malah belum punya aturan resmi soal komponen yang diperbolehkan jadi material kosmetik anak-anak, ataupun lembaga resmi yang bertanggungjawab mengawasi proses formulasi produk kosmetik anak.
Hal ini turut pula memantik diskusi panjang: apakah anak-anak sudah boleh memakai makeup atau belum? Bagaimana menurutmu?
Editor: Nuran Wibisono