tirto.id - Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (Lapan) mengatakan tidak ada cuaca ekstrem saat jatuhnya pesawat Sriwijaya Air SJ-182 rute Jakarta-Pontianak melintas di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu (9/1/2021).
"Tampak berawan, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem," kata Kepala Lapan Thomas Djamaluddin kepada ANTARA, Jakarta, Selasa (12/1/2020).
Thomas menegaskan berdasarkan pantuan Sadewa (Satellite-based Disaster Early Warning System) Lapan, tidak ada kondisi awan atau hujan ekstrem di titik kejadian.
Perkiraan kondisi atmosfer dari aplikasi Sadewa Lapan menggunakan Satelit Himawari-8 9 (awan tumbuh) dan model WRF (angin dan hujan) menunjukkan di sekitar titik kejadian tidak ada kondisi atmosfer ekstrem.
Thomas mengatakan walau ada proses pembentukan sistem konveksi di sekitar titik kejadian, tetapi tidak ada indikasi kondisi ekstrem.
"Dinamika atmosfer ini mempengaruhi pesawat yang melintas, tetapi belum tentu menjadi penyebab jatuhnya pesawat," ujarnya.
Analisis dinamika atmosfer menunjukkan sistem konveksi skala meso telah terbentuk di atas Lampung dan Laut Jawa di sekitarnya sejak pukul 11.00 WIB pada 9 Januari 2021. Sistem itu kemudian pecah dan berpropagasi ke selatan, yang berasosiasi dengan pertumbuhan sistem konveksi skala meso lain di atas Jawa bagian barat selama rentang waktu 13.00-15.00 WIB.
Hingga kini Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) masih menginvestigasi kecelakaan Sriwijaya Air SJ-182. Lembaga itu telah mengumpulkan data radar Automatic Dependent Surveillance–Broadcast (ADS-B) dari Airnav Indonesia.
Berdasar data tersebut, diketahui pesawat itu mengudara pada Sabtu (9/1/2021) pukul 14.36 WIB, terbang menuju arah laut. Empat menit kemudian pesawat mencapai ketinggian 10.900 kaki.
Ketua KNKT Soerjanto Tjahjono mengatakan terekamnya data hingga 250 kaki mengindikasikan sistem pesawat masih berfungsi dan mampu mengirim data.
"Dari data ini kami menduga bahwa mesin masih dalam kondisi hidup, sebelum pesawat membentur air," kata Soerjanto dalam keterangan tertulis, Selasa (12/1/2021).
Editor: Bayu Septianto