tirto.id - Lima pedagang kaki lima (PKL) di Jalan Brigjen Katamso, Gondomanan, Yogyakarta melakukan aksi topo pepe di depan Keraton Yogyakarta menuntut keadilan. Mereka protes atas gugatan seorang pengusaha karena dituding menempati tanah Keraton tanpa izin dan hendak digusur setelah ada ketetapan pengadilan.
Kelima orang pedagang yang melakukan aksi pada Senin (11/11/2019) itu adalah Budiono tukang kunci, Sutinah penjual nasi rames, Agung tukang kunci --anak Budiono--, dan pasangan suami istri Sugiyadi dan Suwarni penjual bakmi.
"Iya [lapak kami] mau digusur, besok pagi jam 9 mau dieksekusi [...] Mau mengadu ke Sultan bagaimana pendapat Sultan kalau rakyatnya yang kecil mau digusur gimana solusinya," kata Sugiyadi saat ditemui di sela aksi topo pepe di Alun-Alun Utara, Keraton Yogyakarta.
Pendamping hukum para PKL, Budi Hermawan dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Yogyakarta mengatakan kasus sengketa hak guna tanah milik Keraton Yogyakarta ini terjadi sejak 2015.
Hal itu bermula saat seorang pengusaha Eka Aryawan pemegang kekancingan atau surat bukti hak guna dari Keraton menggugat PKL.
Eka menggugat lima PKL untuk mengosongkan lahan dan membayar ganti rugi Rp1,12 miliar. Hal itu dilakukan karena menilai mereka tak memiliki izin untuk menempati tanah kekancingan seluas 73 meter persegi.
Padahal, kata Budi, lima PKL tersebut tak menempati bagian dari 73 meter persegi tersebut. Mereka hanya menempati lahan sekitar 4x5 meter persegi yang berada di depan lahan kekancingan.
Menurut Budi, kelima PKL itu pun telah menempati lokasi tersebut sejak tahun 60-an secara turun temurun. Dan latar belakang penempatan lokasi tersebut, kata dia, atas seizin Sri Sultan Hamengkubuwono ke-IX.
"Mereka memang tidak punya kekancingan atau tanda bukti, tetapi mereka bayar pajak, mereka punya SPPT [surat pemberitahuan pajak terutang]. Artinya penguasaan tanah di sana juga dipungut pajak oleh negara," kata dia.
Namun, keputusan pengadilan atas sengketa hak tersebut berkata lain. Lima PKL tersebut dihukum untuk mengosongkan tempat mereka berjualan.
Dalam putusan PN Yogyakarta Nomor 86/PDT.G/2015/PN Yyk Tahun 2016, Eka Aryawan melawan lima orang PKL yang dibacakan hakim ketua Suwarno pada 11 Februari 2016, amar putusan menyatakan gugatan dikabulkan sebagian.
"Menghukum para tergugat dan atau kepada siapa saja atas izin para tergugat untuk menyerahkan dan mengosongkan tanah seluas lebih kurang 28 m2," seperti dikutip dari laman resmi Mahkamah Agung.
Atas hasil putusan pada Pengadilan Negeri Yogyakarta itu, para tergugat mengajukan banding. Namun putusan banding kemudian menguatkan putusan pada pengadilan tingkat pertama.
Tak menyerah, para PKL itu kemudian mengajukan kasasi sampai ke Mahkamah Agung. Hakim Ketua Mahdi Soroinda Nasution, pada 19 Juli 2017 kemudian membacakan putusan. Dalam amar putusan disampaikan kasasi ditolak oleh majelis hakim.
"Kami sudah berjuang hingga kasasi. Putusan kasasi baru turun 2018, di akhir 2018 ada penetapan eksekusi. 2018 hingga sekarang ini, kemudian teman-teman [PKL] baru mendapatkan di akhir 2019 ini tentang pelaksanaan eksekusinya," kata Budi.
Pihaknya mempertanyakan rencana eksekusi tersebut. Sebab dalam putusan hakim, kata Budi, tidak menyebutkan para PKL telah menempati bagian dari 73 meter persegi tanah kekancingan yang digunakan Eka Aryawan.
"Kalau mau dieksekusi apa yang akan dieksekusi. Kami akan tetap bertahan, teman-teman [PKL] di sana akan tetap bertahan," kata Budi.
Keraton Pertanyakan Eksekusi Tanah dan Bangunan
Kuasa Hukum Keraton Yogyakarta Achiel Suyanto saat dihubungi, pada Senin (11/11/2019) menyatakan pihaknya turut mempertanyakan eksekusi tanah dan bangunan yang hendak dilakukan oleh pengadilan.
"Kami dari Keraton pun akan mempertanyakan yang mau dieksekusi apanya. Kalau tanah, kan, tanah tidak bersengketa. Tanah itu milik Keraton jadi tidak bersengketa. Yang bersengketa itu hak-nya," kata Achiel.
Dalam perkara ini, kata dia, yang bersengketa hanya pemegang hak pemegang kekancingan dengan para PKL yang menghuni lahan di depan tanah kekancingan yang dinilai tanpa izin.
"Jadi saya mau mempertanyakan pengadilan kok mau mengeksekusi tanah dan bangunan. Lho bangunan apa dan tanah apa? Jadi itu rancu," kata dia.
Berdasarkan surat pemberitahuan yang pihaknya terima disebutkan bahwa eksekusi akan dilakukan terhadap tanah dan bangunan. “Makanya kok dalam surat pemberitahuan itu tanah dan bangunan yang mau dieksekusi. Saya tanya, tanah dan bangunan yang mana yang mau dieksekusi,” kata Achiel.
“Jadi pengadilan berlebihan kalau mengeksekusi tanah. Tidak boleh itu," ujar dia.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz