tirto.id - Deputi Advokasi dan Jaringan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara), April Perlindungan menilai, kawasan pesisir Kabupaten Kulonprogo, Provinsi D.I. Yogyakarta (Jogja) belum ideal memitigasi bencana tsunami.
Menurut dia, ada eksploitasi di daerah pesisir selatan (Pansela) Pulau Jawa itu berupa pembangunan bandara dan tambak udang. Hal ini, kata dia, berdampak ketahanan alam rentan menghadapi tsunami di masa mendatang.
“Kemampuan mitigasi di DIY bagian barat ini belum ideal, karena ada eksploitasi pesisir berupa tambak dan bandara. Jumlah mangrove belum bisa imbangi dengan luas tambak,” kata April ditemui saat berkunjung ke Mangrove Wana Tirta, Dusun Pasir Mendit, Desa Jangkaran, Kecamatan Temon, Kulonprogo, DIY, Rabu (6/11/2019).
Letak bandara baru Yogyakarta International Airport (YIA) berjarak sekitar 3 kilometer dari lokasi hutan mangrove. Sedangkan tambak ada di sekitar hutan mangrove.
April juga bilang, prasyarat mitigasi tsunami di pesisir di antaranya berupa ‘benteng alam’ seperti padang lamun, terumbu karang, dan mangrove. Sedangkan di Kulonprogo, kata dia, ada hal serupa yakni gumuk pasir, sungai, dan mangrove.
Jarak antara Pansela Jawa ke pemukiman di sana sekitar 150 meter. Sepanjang jarak itu, terdapat ‘benteng alam’ tersebut.
“Dari sisi alam dan inisiasi warga ini sudah masuk bagian mitigas. Tapi eksploitasi pesisir untuk kepentingan ekonomi ini bikin rentan penduduk saat ada tsunami,” imbuh dia.
Ketua Kelompok Wana Tirta, Warso Suwito mengatakan, selama mendiami Pansela di barat Yogyakarta ini belum pernah mengalami tsunami. Namun, bencana tsunami yang terjadi di Indonesia membuatnya dan warga bergerak menanam mangrove sebagai salah satu cara memitigasi bencana.
Luas lahan mangrove di desanya mencapai 15 hektare hingga 20 hektare. Pengelolaan mangrove oleh tiga kelompok. Wana Tirta, kata Suwito, dikenal paling awal pada 2009.
Warso mengaku cemas dengan tambak udang di bibir pantai yang luasnya mencapai ratusan hektare bila dijumlah jadi satu. Sedangkan luas mangrove lebih kecil.
“Itu ada tambak yang jebol karena kena ombak tinggi. Itu memicu gumuk pasir jadi labil, sehingga bila ada gelombang tinggi air bisa langsung ke sungai lalu ke pemukiman,” ujar Warso.
Warso juga mengatakan, gelombang tinggi kali terakhir terjadi saat Pangandaran diguncang gempa Magnitudo (M) 6,9 pada Agustus 2019 lalu. Saat itu, air laut melintasi gumuk pasir dengan panjang sekitar 50 meter, lalu masuk ke sungai.
“Peristiwa gempa mengajarkan kami agar terus merawat mangrove. Karena ini salah satu cara mengurangi lajunya. Apalagi letak desa kami di Pansela yang rawan gempa besar dan rentan tsunami,” imbuh Warso.
Penulis: Zakki Amali
Editor: Irwan Syambudi