tirto.id - Satu bagian yang paling membekas dalam ingatan dari film The Post (2017) mungkin adalah cuplikan mesin cetak berjalan pada dini hari 18 Juni 1971. Itu terjadi usai pemimpin redaksi surat kabar lokal The Washington Post, Ben Bradlee (diperankan Tom Hanks), memerintahkan tim produksi lewat telepon: “Kita [jadi] mencetak itu!” Keputusan pemilik The Washington Post, Katharine Graham, telah bulat untuk melanjutkan pencetakan edisi pagi surat kabar itu.
Katharine sebelumnya berdebat cukup seru dengan para dewan direktur. Ia meninggalkan para dewan dalam keringat dingin karena keputusan tersebut.
Surat kabar itu akan memublikasikan sesuatu yang luar biasa: dokumen rahasia Amerika Serikat terkait Perang Vietnam. Dokumen-dokumen itu akan dikenal luas sebagai “Makalah Pentagon (Pentagon Papers)”.
Publikasi makalah—yang versi utuhnya punya tebal tujuh ribu halaman—itu akan menguak skandal para Presiden AS—Harry S. Truman, Dwight D. Eisenhower, John F. Kennedy, dan Lyndon B. Johnson—yang secara sistematik “berbohong” kepada publik dan Kongres. Salah satunya, Presiden Johnson (menjabat 1963–1969) yang berpura-pura berkonsultasi dengan para penasihatnya pada 21 Juli 1965 terkait pengiriman pasukan ke Vietnam, padahal ia telah mengirim para petarung ke sana empat hari sebelumnya.
Sebelum The Washington Post, koran tersohor lain, The New York Times, sudah memublikasikan bagian-bagiannya. Namun The New York Times malah dihadapkan pemerintah ke muka hakim dan awalnya dilarang terbit. Seperti dicatat dalam buku Freedom of Speech in the United States (2017), surat kabar “[yang seharusnya] bebas [itu] dilarang memublikasikan dokumen penting.” Nasib berhadapan dengan pengadilan juga dilahap oleh Katharine dan surat kabarnya.
The Washington Post dan The New York Times melawan sensor lewat Mahkamah Agung mulai 26 Juni 1971. Beberapa hari kemudian, 30 Juni, dua surat kabar itu menang: Mahkamah Agung memutuskan pemerintah tidak dapat melarang publikasi Pentagon Papers. Sejak saat itulah, kata Floyd Abrams dalam “The Pentagon Papers, A Decade Later”, wartawan “melihat fungsi mereka sebagai pengungkap ketidakberesan alih-alih corong pemerintah.”
Perjalanan Panjang
The Washington Post didirikan oleh seorang Demokrat bernama Stilson Hutchins pada 1877. Edisi pertamanya, yang dicetak di 914 Pennsylvania Ave Washington DC sebanyak 10 ribu eksemplar berisi empat halaman dengan harga 3 sen, terbit pada Kamis 6 Desember 1877, tepat 144 tahun yang lalu.
Mengutip situs resmi, ada delapan berita yang mereka sajikan di edisi pertama. Pertama, soal kesehatan Paus di Roma yang memburuk; kedua tentang perang di Konstantinopel; ketiga ringkasan peristiwa yang terjadi di New York; keempat tentang kecelakaan di sebuah sirkus di South Carolina, kelima peristiwa di Kongres; keenam tentang kondisi terkini kapal karam di lepas pantai Nags Head; ketujuh, tajuk rencana tentang manuver Pemerintahan Spanyol di Kuba; dan terakhir tentang “seorang bujangan tua meninggal karena efek gabungan dari gigitan kucing dengan kebodohannya sendiri.”
Beberapa orang yang kelak menjadi tenar pernah menulis di sini pada tahun-tahun awal berdiri, sebut saja Joseph Pulitzer—namanya kelak diabadikan sebagai penghargaan prestisius di bidang jurnalisme dan sastra—dan Theodore Roosevelt—Presiden ke-26 AS.
Setahun setelah berdiri, Hutchins membeli surat kabar lokal lain, The Washington Union. Dua tahun kemudian, pada 1880, The Washington Post yang kemudian dikenal luas dengan singkatan The Post sajaakhirnya menerbitkan edisi Minggu. Ini membuat mereka menjadi koran pertama yang terbit tujuh hari dalam sepekan.
The Post kembali membeli surat kabar lain, satu-satunya kompetitor mereka yang tersisa sebagai media yang terbit pagi hari, Daily Republican, pada 1888. Pada tahun tersebut The Post juga berupaya memperluas pangsa dengan meluncurkan The Evening Post yang, seperti namanya, terbit sore hari.
Perusahaan ini kemudian dijual oleh sang pendiri ke mantan kepala kantor pos, Frank Hatton, dan seorang politisi Demokrat, Beriah Wilkins, pada 1889. Sejak itu The Post beberapa kali berpindah tangan, dari John R. McLean pada 1905 lalu dipindahkan ke anaknya, Edward, pada 1916.
Di masa Edward itu sirkulasi dan iklan The Post turun, bangkrut, hingga dilelang oleh kurator—ahli hukum pengurus kepailitan—pada 1933. Pada lelang itu Eugene Meyer yang memang telah tertarik membeli The Post menang karena menawar dengan harga tertinggi, 825 ribu dolar AS.
Di bawah Meyer The Post akhirnya kembali meningkat dan stabil. Hingga 1943 atau setelah 10 tahun sejak dibeli, sirkulasi koran naik tiga kali lipat atau setara 162 ribu dan iklan mencapai 12 juta baris setelah sebelumnya hanya 4 juta baris.
Pada 1946, karena ditunjuk oleh Presiden AS Harry S. Truman sebagai Presiden International Bank for Reconstruction and Development, Meyer menyerahkan kemudi perusahaan kepada menantunya, Philip Graham, yang merupakan orang dekat keluarga Kennedy.
Berbeda dengan The New York Times yang berekspansi secara nasional, The Post banyak berfokus pada pasar lokal—sekalipun memang mendapat perhatian dan pembaca nasional. Graham melakukan ekspansi lokal pada 1954 dengan membeli perusahaan saingan, Times-Herald, yang sebelumnya juga merupakan gabungan Washington Times dan Herald.
Graham meninggal pada 1963. Sekali lagi kepemilikan perusahaan berpindah, kali ini ke Katharine yang tidak lain merupakan istri Graham.
Pada masa tiga pemimpin inilah—Eugene Meyer, Philip Graham, dan Katharine Graham—The Post mencapai masa keemasan.
Buku Katharine The Great: Katharine Graham and The Washington Post (1979) menjelaskan pada dekade 1960-an kepemimpinan perempuan dalam industri berita adalah hal langka. Tapi Katharine membuktikan dia mampu, dan ada alasan jelas mengapa masanya juga dianggap era keemasan The Post. The Post di bawahnya sama sekali tidak mengubah pendirian: Berfokus pada pemberitaan bidang politik.
Menerangi dalam Gelap
Di tangan Katharine setidaknya ada dua kasus besar yang menyeret Gedung Putih berhasil dibongkar. Pertama, kasus Makalah Pentagon tahun 1971 yang memberi arti penting pada kebebasan pers. Kedua, Skandal Watergate pada 1972 yang menyeret Presiden Richard Nixon ke kejatuhannya pada 1974.
Bagaimana keputusan Katharine dan surat kabar asuhannya dapat memiliki arti penting dan berperan menentukan masa depan kebebasan pers di AS?
Pada 13 Juni 1971, The New York Times—perusahaan surat kabar yang jauh lebih besar dari The Post—mulai memublikasikan Makalah Pentagon yang mereka dapatkan dari Daniel Ellsberg, seorang peneliti senior MIT. Namun, setelah beberapa seri, mereka dilarang menerbitkannya lagi oleh pemerintah. Fenomena sensor pers itu menjadi titik tolak yang penting bagi semua industri surat kabar di AS.
Mengetahui manuver itu, Ellsberg, yang sempat menjadi bagian dari tim riset Makalah Pentagon dan punya pendirian sangat menentang Perang Vietnam, kemudian menawarkan sebagian dokumen (dari total tujuh ribu halaman) kepada reporter The Washington Post, Ben Bagdikian. Karena dunia pers pada saat itu telah mengetahui nasib yang menimpa Times, Ben bersikap hati-hati dan menginformasikan tawaran itu kepada Ben Bradlee, pemimpin redaksinya. Bradlee punya pendirian idealis, bahwa informasi kengerian Perang Vietnam beserta manuver hitam pemerintah harus dibongkar dan informasi di dalam makalah itu adalah hak publik.
Titik penentu dicetak atau tidaknya artikel tentang Makalah Pentagon berada di tangan Katharine. Pada minggu pertengahan Juni itu semua koran lain sedang menahan napas. Tidak ada yang berani melangkah untuk memublikasikan Makalah Pentagon sekalipun mereka memiliki akses terhadapnya.
Katharine, dalam autobiografinya Personal History (1998), menceritakan bagaimana ia dihadapkan pada dua kondisi yang sama-sama sulit: memublikasikannya, terancam penjara, dan The Post akan digulung habis oleh pemerintah; atau tidak tapi dengan bayaran matinya kebebasan pers. “Dengan perut kembung”, tulisnya, Katharine akhirnya memilih mempertahankan kebebasan pers. Ia memutuskan untuk mencetak koran pagi 18 Juni 1971.
Namun jangan dibayangkan ia mengatakannya dengan lantang dan heroik. Ia bercerita suaranya hari itu penuh kegelisahan karena juga berpikir tentang para karyawan yang akan kehilangan sumber penghidupan.
Sejarah memang akhirnya mencatat bahwa pilihan Katharine membuat banyak instansi pers bersatu dalam solidaritas untuk sama-sama memublikasikan berita tentang skandal Makalah Pentagon. Pada masa keemasan di bawah Katharine, surat kabar yang berani “menyerukan suara kepada yang berkuasa” telah berperan sebagai penyeimbang kekuasaan pemerintah.
Penulis: Christopher Reinhart
Editor: Rio Apinino