tirto.id - Sinar Putri Utami, wartawan harian Kontan, sudah lebih dua tahun liputan di pengadilan untuk mengisi halaman hukum di koran tempat ia bekerja. Setiap Senin hingga Kamis, ia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, mencari informasi tentang perkara-perkara yang berkaitan dengan bisnis. Entah itu perkara wanprestasi, perbuatan melawan hukum oleh perusahaan, atau perkara-perkara niaga seperti sengketa merek, sengketa paten, hingga kepailitan.
Sinar harus memantau tiap ruang sidang untuk memastikan perkara apa yang sedang disidangkan. Ia juga harus menemui kuasa hukum tiap-tiap pihak untuk mengetahui duduk perkara. Tak jarang Sinar mengejar-ngejar panitera untuk melihat berkas gugatan. Beberapa panitera cukup mengerti tentang keterbukaan informasi dan mau memberikan berkas kepadanya, untuk dibaca.
Tetapi sebagian besar panitera tidak memberi izin. “Ini berkas rahasia, minta saja ke kuasa hukumnya,” ujar seorang panitera kepadanya suatu waktu. Padahal perkara-perkara yang diliputnya adalah perkara yang terbuka untuk umum.
Tiap-tiap pengadilan negeri di Indonesia memang memiliki sistem informasi penelusuran perkara (SIPP). Namun informasi di sistem itu hanya memuat nomor perkara dan para pihak yang terlibat sengketa. Tak ada isi berkas gugatan, informasi tentang kuasa hukum, dan jadwal persidangan.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat misalnya, saat tulisan ini sedang ditulis pun SIPP-nya tak bisa diakses. Padahal jika sistem ini berfungsi dengan baik, seorang wartawan seperti Sinar tak perlu buang-buang waktu mengecek satu demi satu ruang sidang setiap saat. Pertanyaan yang diajukannya kepada kuasa hukum pun bisa lebih mendalam, bukan lagi sebatas isi gugatan yang seharusnya sudah ia dapatkan di situs pengadilan.
Persoalan ketidaklengkapan isi SIPP ini sudah pernah disampaikan Sinar kepada Bambang Kustopo sejak tahun lalu. Bambang adalah hakim sekaligus Humas PN Jakpus kala itu. Namun tetap tak ada perubahan hingga kini.
Katakanlah secara teknologi, sumber daya manusianya belum mumpuni, tetapi mengapa ketika Sinar meminta izin melihat berkas secara langsung, kerap mendapat penolakan? Sinar memang bebas masuk ruang sidang, tetapi hampir seluruh pihak di perkara perdata tidak membacakan gugatan, permohonan, atau jawabannya dalam proses persidangan. Semuanya dianggap dibacakan. Bagaimana Sinar bisa tahu isinya jika tak dibacakan, tak dipublikasi, dan tak diberi izin untuk melihat langsung?
Tertutupnya data di pengadilan hanya salah satu contoh tidak terbukanya data publik. Atau dibuka, tetapi tak lengkap alias sepotong-sepotong.
Tahun 2008 lalu, sebuah Undang-undang tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP) disahkan dan diundangkan. Ia mengamanatkan seluruh instansi pemerintah baik pemerintah pusat dan daerah untuk memberikan informasi kepada masyarakat melalui media penyebaran informasi terkecuali jenis informasi yang mendapatkan pengecualian oleh undang-undang.
Menurut pasal 17 UU tersebut, beberapa informasi publik yang masuk ke dalam pengecualian adalah informasi yang menghambat proses penegakan hukum, mengganggu kepentingan perlindungan hak atas kekayaan intelektual dan perlindungan dari persaingan usaha tidak sehat.
Informasi yang membahayakan pertahanan dan keamanan negara, merugikan ketahanan ekonomi nasional, merugikan kepentingan hubungan luar negeri, mengungkapkan isi akta otentik yang bersifat pribadi dan kemauan terakhir ataupun wasiat seseorang, dan mengungkap rahasia pribadi seseorang juga masuk dalam pengecualian.
Dalam pernyataannya yang dikutip dari laman resmi Indonesian Corruption Watch (ICW), Koordinator Divisi Investigasi ICW Febri Hendri menilai UU tentang KIP ini telah cukup mencakup seluruh sektor informasi yang dibutuhkan masyarakat. Mulai dari sektor politik, ekonomi, hukum, pertahanan, keamanan, sosial, budaya, infrastruktur dan lain sebagainya. Hanya saja, menurut Febri, implementasinya masih jauh yang diamanatkan UU. Lembaga negara dan pemerintahan masih memilih-milih informasi publik yang dipubllikasikan.
Hal ini ada penyebabnya. Febri mengatakan ada upaya menutupi kecurangan atau korupsi dalam satu institusi. Jadi ada data-data, yang jika dibuka, maka akan tampak korupsi di lembaga itu. Selain itu, institusi ini juga memiliki kekhawatiran informasi publik yang diberikan akan disalahgunakan oleh si pemohon informasi.
Untuk mengadvokasi keterbukaan informasi publik, ICW telah memenangkan sengketa informasi terkait dana bantuan operasional sekolah (BOS), rekening gendut perwira tinggi polisi, dan laporan keuangan partai politik pada 2012.
“Dalam sengketa rekening gendut perwira, putusan dari Komisi Informasi Publik (KIP) tak dipatuhi oleh Mabes Polri,” ujar Febri.
Di bidang penegakan hukum, keterbukaan informasi dari Mahkamah Konstitusi terbilang cukup baik. Lembaga ini selalu memperbaharui perkara yang masuk, jadwal sidang, hingga risalah hasil sidang. Lembaga-lembaga terkait finansial dan keuangan makro juga lebih terbuka. Namun secara keseluruhan, seperti kata Febri, tak semua informasi publik dipublikasikan.
Penulis: Wan Ulfa Nur Zuhra
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti