tirto.id - Pertemuan tahunan International Monetary Fund (IMF)-World Bank (WB) sedang berlangsung di Bali, mulai Senin (8/10/2018) kemarin hingga 14 Oktober nanti. Meski telah terselenggara, suara-suara yang mengkritisi itu tak juga surut.
Rizal Ramli, mantan Menteri Koordinator Kemaritiman, misalnya, pada 5 Oktober lalu mengatakan acara ini tak pantas dilakukan di tengah bencana.
Presiden ke-6 Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), juga ikut-ikutan bersuara lewat Twitter @SBYudhoyono, kemarin (8/10/2018). Ia meminta pemerintah menjelaskan penggunaan dana ke publik.
"Biar tak jadi fitnah & hoaks, DPR RI bisa minta penjelasan kepada pemerintah & BPK juga bisa lakukan audit apakah terjadi pemborosan," tulis SBY.
DPR dan BPK Bakal Evaluasi
Pernyataan Wakil Ketua Komisi XI, Soepriyatno, senada dengan permintaan SBY. Menurutnya mereka segera mengevaluasi penggunaan dana pertemuan, meski belum ditentukan waktunya. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) bakal dipanggil untuk dimintai klarifikasi.
Komisi XI DPR RI salah satunya membidangi masalah keuangan.
"Kami akan tanyakan ini dana dari mana, untuk apa?" kata Soepriyatno kepada Tirto, Selasa (9/10/2018). Ia mengaku anggaran pertemuan IMF-WB belum pernah disetujui Komisi XI. "Ini pakai dana apa ya?" kata politikus Parati Gerindra ini mempertanyakan.
Ketidaktahuan Soepriyatno sebetulnya patut dipertanyakan. Sebab faktanya biaya operasional pertemuan memang dialokasikan dari APBN tahun anggaran 2017-2018 yang disetujui parlemen. Situs resmi DPR menyebut Komisi XI pada Oktober 2017 menyetujui pagu anggaran Kemenkeu sebesar Rp45,6 triliun dalam RAPBN 2018.
Uang yang dialokasikan buat pertemuan ini mencapai Rp855,5 miliar; terdiri dari anggaran tahun 2017 sebesar Rp45.415.890.000 dan anggaran tahun 2018 sebesar Rp810.174.102.550. Sebesar Rp137 miliar adalah kontribusi dari Bank Indonesia, sisanya APBN (Baca laporan lengkap soal biaya pertemuan di sini).
Memang tak ada mata anggaran yang menyebut secara spesifik mengenai pertemuan dalam APBN. Namun menurut Susiwidjiono, Ketua Pelaksana Harian Annual Meeting IMF-World Bank, komponen biayanya dirinci dalam beberapa bagian yang terpisah, semisal mata anggaran "belanja jasa" dan "belanja modal".
Ketidaktahuan Soepriyatno bisa dimaklumi karena menurut anggota Komisi XI Ecky Awal Muharram legislatif tidak mengawasi hingga satuan tiga (dokumen anggaran yang memuat deskripsi program dan rincian alokasi pagu anggaran).
"Karena kami tidak bisa mengawasi satuan tiga, jadi kami hanya mengingatkan saja," kata Ecky kepada Tirto.
"Mengingatkan" yang dimaksud Ecky adalah agar biaya pertemuan tak mengeluarkan dana terlalu banyak. Dan sekarang mereka menganggap dananya sudah berlebihan.
Pemanggilan juga bakal dilakukan karena Soepriyatno dan Ecky ragu dengan klaim pemerintah yang menyebut pertemuan IMF-WB dapat mendatangkan investasi dengan nilai yang lebih besar ketimbang biaya penyelenggaraannya.
Menurut mereka, investasi itu selalu masih sebatas rencana, tapi realisasinya tetap bergantung pada situasi dan kondisi di lapangan. Hal ini juga yang bakal jadi pembahasan klarifikasi.
Anggota III Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Ahsanul Qosasih, juga merespons dengan nada yang sama dengan keinginan SBY. Ia menyatakan pihaknya bakal melakukan audit terhadap biaya pertemuan IMF-WB. Namun ini bukan kasus khusus. Semua acara yang pakai uang negara adalah subjek audit.
"Jadi pasti akan kami audit, tapi setelah semester I 2019," kata Ahsanul kepada Tirto.
Soal Komisi XI yang menyatakan belum pernah menyetujui anggaran tersebut, Ahsanul mengatakan tidak mungkin pemerintah berani mengeluarkan dana tanpa dianggarkan sebelumnya dan tanpa persetujuan DPR.
"Enggak mungkin enggak dianggarkan ada pengeluaran, itu lebih berbahaya lagi. Nanti kan waktu BPK memeriksa, itu akan detail dari mana dananya," kata Ahsanul.
Sekretaris Badan Kaderisasi DPP PDIP cum anggota Komisi XI, Eva Kusuma Sundari, coba meyakinkan politikus oposisi dengan mengatakan kalau tak ada penyelewengan apa pun. Ia menyebut selalu melakukan pemeriksaan ganda.
"Kemenkeu juga melibatkan auditor internasional. Bukan hanya post audit. Jadi persiapannya juga diaudit," katanya pada Tirto.
Eva pun meyakinkan investasi bakal benar-benar masuk. Sebab, menurutnya, pemerintah sudah melakukan sejumlah persiapan, seperti membuat regulasi yang mempermudah penanaman modal.
"Ini bisa terealisasi, asal yang di dalam negeri juga tidak cerewet. Investor juga malas kalau mereka cerewet," kata Eva.
Pernyataan Eva sebetulnya juga tidak betul-betul amat. Jadi tuan rumah pertemuan internasional tidak lantas membuat negara-negara atau institusi lain langsung tertarik menanamkan uang. Dalam hal ini, Peru dan Turki, yang juga sempat jadi tuan rumah pertemuan IMF-World Bank, adalah contoh terbaik.
Menurut data Bank Dunia, investasi asing langsung Peru ketika menyelenggarakan pertemuan (2015) sebesar 4,372 persen dari total GDP. Namun, setahun setelahnya, alih-alih naik, justru turun jadi 3,571 persen. Begitu pula dengan Turki. Dari 1,573 persen dari GDP pada 2009 (tahun penyelenggaraan) menjadi 1,427 persen pada 2010. Malah, setahun kemudian, kembali turun jadi 1,404 persen.
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Rio Apinino