tirto.id - Serangan kelompok teroris nyaris seminggu belakangan merupakan akumulasi sikap intoleran yang telah lama tumbuh. Terlibatnya pelajar, mahasiswa, dan guru menandakan kurikulum pendidikan gagal meredam benih ekstremisme.
Koordinator Komisi Orang Hilang dan korban Kekerasan (KontraS) Yati Andriyani menilai melawan terorisme dengan gagasan lebih mendesak daripada revisi UU Antiterorisme. Sebab dampaknya bersifat jangka panjang. Hanya dengan cara membentuk karakter inklusif, pluralis, dan toleran pemahaman radikal bisa diberangus sejak dini.
"Dunia pendidikan paling strategis untuk mendidik generasi muda termasuk menghasilkan pendidik yang berjiwa toleran," kata Yati di Kantor KontraS, Jakarta, Kamis (17/5/2018).
Yati menuturkan, pendekatan hukum positivistik atau keamanan justru akan membuat benih terorisme berkembang biak. Maka dari itu menurutnya tak lagi relevan dibanding pendekatan pendidikan.
“Pendidikan adalah fondasi setiap orang: bagaimana dia berempati terhadap sesuatu, mengerti tentang keberagaman, bagaimana dia memahami nilai-nilai kemanusiaan,” terangnya.
Hal serupa diungkapkan Direktur Lembaga Studi Sosial dan Agama (ELSA), Tedi Kholiludin. Menurutnya hakikat hidup harmonis di tengah kemajemukan bangsa harus ditanamkan secara kompeherensif di sekolah.
“Sekolah sangat efektif untuk membendung radikalisme melalui kurikulum dibandingkan penangan hukum melalui Undang-Undang Antiterorisme,” kata Tedi saat dihubungi Tirto, Kamis (17/5/2018).
Berdasarkan penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2017, didapati 25 persen siswa dan 21 persen guru menyatakan Pancasila tak relevan lagi. Selain itu ada 84,8 persen siswa dan 76,2 persen guru setuju penerapan syariat Islam di Indonesia.
Bahkan riset itu Juga mengemukakan 52 persen siswa setuju dengan kekerasan demi solidaritas agama. Sedangkan 14 persen di antara responden itu membenarkan serangan bom.
Survei Setara Institute pada 2015 di 171 SMU Negeri, dengan sampel 114 sekolah, menemukan 8,5 persen anak sekolah setuju dasar negara pancasila diganti dengan negara berbasis agama dan 7,2 persen siswa setuju eksistensi gerakan ISIS.
Begitu juga Survei Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) yang dilakukan Desember 2015, terindikasi dukungan terhadap ISIS menguat. Terdapat 4 persen warga berusia 22-25 tahun dan 5 persen warga yang masih sekolah dan kuliah mengenal ISIS dan menyatakan setuju dengan apa yang diperjuangkan ISIS.
Ini membuktikan kegiatan belajar dan mengajar pun penting untuk diperhatikan. Bangku sekolah dan perkuliahan dijadikan salah satu basis untuk menyuntikkan paham keagamaan yang sempit.
Ketua Komisi VIII DPR RI, Ali Taher turut mendesak pemerintah percepat deradikalisasi melalui kurikulum terpadu di institusi pendidikan. Untuk mempercepatnya, Politikus PAN itu menyarankan pemerintah bekerjasama dengan tokoh-tokoh agama, NU, Muhammadiyah, MUI, dan lembaga keagamaan lainnya.
“Bangsa ini kan bangsa besar, kita memerlukan hubungan yang baik di antara umat beragama,” ungkap Taher kepada Tirto, Kamis (17/5/2018).
Penggodokan tak Kunjung Usai
Tahun lalu Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Suhardi Alius sempat angkat suara langkah strategis membendung radikalisasi di kalangan pelajar. Kepada Menteri Pendidikan dan kebudayaan, Muhadjir Effendy, Alius menyampaikan pelajaran keberagaman perlu untuk perkuat pendidikan karakter.
Tapi hingga kini kurikulum penangkal benih terorisme itu belum selesai dibahas. Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud, Awaludin Tjalla kurikulum itu masih dalam proses “dimatangkan”. Rencananya juga akan diujicobakan dulu di beberapa sekolah wilayah Aceh, Lampung, dan Bogor terlebih dahulu.
"Sejak tahun kemarin, Puskurbuk ditugaskan untuk menyiapkan naskah akademik dan panduan implementasi muatan kurikulum pencegahan radikalisme," ujarnya saat dihubungi Tirto, Kamis 17 Mei 2018.
Nantinya jika sudah jadi, kurikulum untuk antisipasi tindakan terorisme akan diselipkan dalam kegiatan intrakurikuler, kokurikuler, dan ekstrakulikuler.
Berdasarkan survei Pusat Penelitian dan Pengambangan Kemendikbud pada Juli-September 2016, didapati 8,2 persen siswa setuju memilih ketua OSIS dari agama mayoritas. Kemudian ada 23 persen responden yang merasa lebih nyaman dipimpin oleh seseorang dari agama yang sama. Responden riset itu 160 siswa, guru, dan kepala sekolah dari sekolah di Singkawang dan Salatiga.
Sejauh ini, sembari menunggu kurikulum itu, muatan toleransi dan keberagaman sebagai karakter bangsa disisipkan ke mata pelajaran yang sudah ada. "Diintegrasikan melalui kompetensi dasar terutama di mata pelajaran Agama, PPKN, IPS dan Bahasa,” tuturnya.
Ia juga menambahkan: “Memuat nilai-nilai tanggung jawab, empati, saling menghargai, saling menghormati tolong menolong, cinta Tanah Air, rasa persaudaraan, berpegang teguh dengan ajaran agama."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Dieqy Hasbi Widhana