tirto.id - Dalam waktu seminggu ini, "Muhammadiyah" terekam dalam kaitannya dengan berita-berita aksi teror, khususnya profiling terduga pelaku aksi terorisme.
Peledakan bom di Gereja Santa Maria Tak Bercela, Surabaya pada Minggu (15/5) pagi misalnya memunculkan nama YF (18 tahun) dan FH (16 tahun). Kedua remaja itu tercatat pernah menjadi siswa dan ketua OSIS di salah satu SMP Muhammadiyah di Surabaya. FH duduk di kelas 9. Sementara itu, YF usai lulus dari SMP yang sama dengan adiknya, duduk di bangku kelas 11 salah satu SMA Muhammadiyah, juga di Surabaya.
Artinya, kedua orangtua mereka--yang juga melakukan bom bunuh diri di dua gereja lain--punya kecenderungan untuk mempercayai sekolah Muhammadiyah dalam hal pendidikan anak-anaknya.
Sebelumnya pada Sabtu (12/5) dini hari, polisi mengamankan DSM (18 tahun) dan SNA (21 tahun) karena hendak menusuk anggota Mako Brimob Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Dari hasil pemeriksaan, DSM merupakan warga Kabupaten Temanggung yang tercatat sebagai anggota Ikatan Pelajar Muhammadiyah (IPM) Kendal.
Dari rekam profil tersebut, bisakah dikatakan bahwa Muhammadiyah perlu menyalakan alarm terkait sistem pendidikan dan pengkaderannya?
Direktur Eksekutif Maarif Institute Abdullah Darraz mengatakan keterlibatan sejumlah pelajar Muhammadiyah dalam aksi terorisme tidak berarti bahwa sekolah Muhammadiyah mengajarkan terorisme. Sebab dalam kasus pengeboman Gereja Santa Maria Tak Bercela, bibit radikalisme itu datang dari orang tua.
“Ini tidak bisa digeneralisasi,” kata Darraz kepada Tirto, Selasa (15/5).
Meski begitu, Darraz mengkritik sistem pendidikan Muhammadiyah yang gagal mendeteksi radikalisme di kalangan siswanya. Kegagalan ini menurutnya tidak bisa dilepaskan dari kultur keterbukaan pemikiran yang tumbuh di kalangan warga Muhammadiyah. Ucapan atau imbauan keagamaan para tokoh Muhammadiyah tak melulu menjadi pedoman. Mereka bisa mengkaji agama dari tokoh non-Muhammadiyah yang secara pemahaman berbeda jauh.
“Ini memang kelemahan keorganisasian yang terlalu cair, tidak ada [pola hubungan] patron-klien yang jelas. Kalau Muhammadiyah kan terlalu demokratislah bahasaya. Jadi, di situ ada problem,” katanya.
Darraz juga mengkritik sikap elit Muhammadiyah yang terkesan permisif terhadap masuknya pengajar-pengajar tak berlatar pendidikan atau keorganisasian Muhammadiyah di sekolah Muhammadiyah. Ia mencontohkan pernah mendengar pengakuan orangtua siswa di salah satu sekolah Muhammadiyah yang mengatakan ada pengajar yang menerjemahkan ajaran Islam secara kaku dan dengan sikap tertutup terhadap perbedaan.
“Misalnya, dia mengharamkan televisi, dan radio. Saya tahu dan pernah dengar sendiri dari orangtuanya siswa. Masih ada yang kayak begitu," katanya.
Anggota Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah PP Muhammadiyah, Afif Hamka menolak anggapan bahwa sistem pendidikan di Muhammadiyah berkontribusi terhadap tumbuhnya radikalisme di kalangan siswa. “Bagaimanapun, orangtua berperan lebih besar dalam pendidikan dibandingkan sekolah,” ujarnya saat dihubungi Tirto.
Afif mengakui tenaga pengajar di sekolah Muhammadiyah berasal dari berbagai latar belakang. Namun, ia memastikan para pengajar telah mendapatkan pemahaman tentang kemuhammadiyahan sebelum terjun ke sekolah. “Ada itu programnya. Darul Arqam namanya. Jadi mereka biasanya di-coach dan dilatih terlebih dahulu,” ujarnya.
Afif mengatakan Muhammadiyah terbuka tak mempersoalkan latar belakang pemahaman agama para pengajarnya. Termasuk kepada mereka yang kerap disebut sebagai penganut wahabi atau salafi. Sebab, yang terpenting menurut Afif adalah mereka tidak mengajarkan kekerasan dan kaku dalam menafsirkan agama di dalam kelas.
“Siapa yang bilang yang bilang Wahabi jelek? Itu kan cuma tuduhan yang enggak benar. Padahal kita tahu Wahabi itu adalah yang memurnikan ajaran Islam dari hal-hal yang ngaco,” katanya.
“Jangan sampai mengatakan yang keras itu Wahabi. Saya enggak setuju ya. Jangan stigmatisasi ke Wahabi.”
Ketua Pemuda Muhammadiyah Dahnil Azhar juga tak ingin institusi pendidikan Muhammadiyah disalahkan hanya lantaran beberapa siswanya menjadi pelaku teror bom. Sebab, menurutnya, mengawasi siswa dalam jumlah banyak sangat sulit. Apalagi di Indonesia ada ribuan sekolah Muhammadiyah.
Kendati demikian, ia mengakui kultur pemikiran di Muhammadiyah yang sangat cair dan egaliter, sehingga berpotensi disusupi kelompok radikal. Mereka tidak memahami nilai-nilai yang dibawa Muhammadiyah, yakni Islam moderat.
“Sering kali kebaikan Muhammadiyah ini dimanfaatkan oleh banyak kelompok,” katanya. “Muhammadiyah sejak dulu mengikut tuntunan Nabi Muhammad. Sebagai ummatan washatan, umat yang di tengah.”
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir Effendy, mengatakan mengawasi siswa yang terjangkit paham radikal bukan tugas gampang. Apalagi indoktrinasi radikalisme itu--dalam kasus teror di Surabaya--tak muncul dari ekstrakurikuler atau kegiatan belajar mengajar melainkan orang tua.
Menurutnya, sekolah tidak saja perlu memperkuat hubungan dengan siswa maupun orangtua siswa, tapi juga dengan masyarakat. Tujuannya, agar sekolah dapat segera mengetahui dan mengambil langkah antisipatif melalui penguatan pendidikan karakter jika ada siswa yang dideteksi terpapar paham radikal.
“Makanya kami ingin sekolah punya data lengkap hubungan antara siswa dengan orangtua, dan hubungan orangtua dengan sekolah,” ujar Muhadjir.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia Susanto meminta sekolah peka mendeteksi radikalisme di kalangan siswa. Menurutnya, sekolah harus mulai mengambil peran lebih untuk menanamkan nilai-nilai toleransi dan inklusivitas dalam agama.
Sebab, menurutnya, hanya melalui pendidikanlah kemunculan terorisme dapat dicegah sejak awal. “Pemerintah dan Pemerintah Daerah perlu melakukan langkah-langkah antisipatif dan pencegahan secara masif melalui berbagai model pendekatan agar ruang gerak jaringan terorisme dapat dicegah sedini mungkin,” ujarnya.
Penulis: Hendra Friana
Editor: Muhammad Akbar Wijaya & Maulida Sri Handayani