tirto.id - Kumpulan puisi tentang Hari Buruh Internasional yang menginspirasi dan penuh makna dapat dibagikan dalam peringatan May Day 2023.
Kumpulan puisi May Day tersebut dapat digunakan untuk memperingati Hari Buruh Internasional.
Hari Buruh Internasional, secara resmi dijadikan sebagai tanggal merah oleh pemerintah, ditetapkan pada tahun 2014. Penetapan itu dilakukan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sehingga, sejak tahun 2014 hingga sekarang, 1 Mei sebagai Hari Buruh atau May Day ditetapkan sebagai tanggal merah atau hari libur nasional.
Berdasarkan laman resmi International Labour Organization (ILO), bahwa telah dilakukannya Konferensi Perburuhan Internasional. Dalam menyambut Hari Buruh Internasional, ILO akan mengangkat tema Hari Buruh Internasional 2023 "Lingkungan Kerja yang Aman dan Sehat".
“Para ahli dan konstituen untuk mendiskusikan implikasi yang ditimbulkannya terhadap dunia kerja, serta bagaimana menerapkan kerja yang aman dan sehat secara praktis di dunia kerja,” tulisnya dalam laman ILO.
Kumpulan Puisi Hari Buruh Internasional 2023 yang Menginspirasi
Berikut adalah kumpulan puisi tentang Hari Buruh Internasional yang menginspirasi, yang dapat dijadikan untuk merayakan serta memperingati Hari Buruh Internasional yang dikutip dari Buku Antologi Puisi Agraria Indonesia karya Surya Saluang.
Berita Buruk Buat Penguasa
kabarkan kepada mereka
bahwa masih ada perlawanan
kabarkan pada mereka
bahwa rakyat butuh makan
kabarkan pada mereka
kalau buruh butuh kerja
kabarkan pada mereka
jika petani di desa butuh tanah
kabarkan pada mereka
bahwa penindasan bukan lagi zamannya
kabarkan pada mereka
andai rakyat marah dan memberontak
kabarkan pada mereka
Tuhan pun berpihak pada kami
kabarkan pada mereka
ini berita buruk untuk penguasa
kabarkan berita buruk ini pada mereka
bahwa penindasan akan melahirkan perlawanan
karena Tuhan pun bersama kami!
Surat pada Penguasa
dengan darah yang mengucur
sepanjang penderitaan yang bergeming
di tubuh rentaku
kukatakan pada kalian yang telah
dititipkan sayap oleh Tuhan
untuk terbang mengepak di atas kepalaku
bahwa matiku tinggal beberapa detak jantung lagi
dan aku tidak memiliki serbuk gula untuk bekal
anak-anakku menyeberangi aspal
aku mohon pada kalian yang telah direstui langit untuk
menjadi pemimpin
jangan lagi sepetak tanahku kalian incar untuk pembangunan
hanya itu yang kumiliki!
Jalan yang Kupilih
teriris hatiku
melihat ke arah itu
bagaimana nasib kami
tertindas tiada arti
dimana perasaanmu
kami ada disini
kami berdiri di atas tanah kami
mencari nafkah
untuk keluarga kami
biar panas terik
menyinari kulit kami
hingga membakar ari kami
kami tak gentar
inilah jalan yang kami pilih
hidup di asal kami
bertani di pesisir
Pasir Bak Emas
aku mencari sesuatu
suatu ketentraman hati
aku berjalan di gelapnya malam
terfikirkan yang menyala siang tadi
ketika keadilan
tengah dipertaruhkan
dan tak lagi dihiraukan
ketika suara kami tak lagi didengar
harta dan kekayaan berkilau
pasir itu menyala bak emas
diperebutkan dan ingin dikuasai
tanpa peduli dengan nasib rakyat sendiri
dimana kami harus meneruskan hidup
ini tanah kami!
kami tak rela kau ingin menguasainya
kami lawan walau apapun!
Bumi Pertiwi
ketika mentari telah menampakkan diri
itulah waktu untuk kami maju dan berdegap hati
dengan bambu runcing yang selalu menyertai
tibalah kami di pertaruhan nyawa ini
untuk memperjuangkan bumi pertiwi
walau kami tau semua itu tak mudah
tetapi kami yakin, badai bernyawa pasti musnah
tergelincir oleh licinnya batu
terseret oleh derasnya arus
dan tak akan menemukan jalan yang lurus
bumi pertiwi
percayalah pada kami
bahwa kami tak akan berdiam diri
melihat badai bernyawa terus beraksi
karena kami cinta akan pesisir ini
Di Sanalah Bersama Keluargaku Tak Berdaya
di sanalah bersama keluargaku tak berdaya
melihat penguasa seenaknya merampas tanah kami digusur tanpa beralasan
karena kami tak memiliki kekuatan
kami dilarang bertempat tinggal dengan alasan tak masuk di akal
dipenjarakan bila kami melawan
karena mereka memiliki aturan
seenaknya saja mereka menggusur
bagaikan batu tanpa hati
kami tak mampu berkata lagi
karena rumah kami tak bisa kembali
Penulis: Sulthoni
Editor: Yulaika Ramadhani