Menuju konten utama

Kronologis Bentrok Warga Rempang dengan Aparat Versi Polisi

BP Batam melakukan tiang pancang di lokasi pembangunan Rempang Eco City, namun ditolak oleh warga. Hal itu memicu bentrokan aparat dengan warga. 

Kronologis Bentrok Warga Rempang dengan Aparat Versi Polisi
Sejumlah warga melakukan aksi pemblokiran jalan di jembatan empat Rempang, Galang, Batam, Kepulauan Riau, Senin (21/8/2023).ANTARA FOTO/Teguh Prihatna/aww.

tirto.id - Kepolisian Daerah Kepulauan Riau (Polda Kepri) menjelaskan kronologis bentrokan antara aparat keamanan gabungan dengan warga Pulau Rempang, Batam, saat penjagaan proses pengukuran untuk pengembangan kawasan Rempang Eco City pada Kamis (7/9/2023). Keributan pecah saat petugas gabungan tiba di lokasi.

Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepri Kombes Zahwani Pandra Arsyad mengatakan, semula Badan Pengusahaan (BP) Batam hendak merencanakan untuk melakukan tiang pancang di lokasi pembangunan.

Ia mengatakan, beberapa kali dari tim terpadu akan melakukan pengukuran dan pematokan. Namun, ada sejumlah kelompok masyarakat selalu menghalang-halangi dan mengatakan tidak setuju rencana proyek Rempang Eco City

"Jadi, mereka sudah mengatasnamakan satu kelompok-kelompok dan ini yang membuat menghasut. Padahal, sebenarnya dari kegiatan ini sudah ada beberapa badan usaha kemudian perorangan sudah sukarela menyerahkan kepada pemerintah dalam hal ini dari BP Batam untuk dilakukan proses pembangunan dalam jangka ke depannya untuk mereka mendapatkan cara kehidupan yang lebih baik," kata Pandra saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (8/9/2023).

Perwira menengah Polri itu mengklaim rencana baik itu justru dihasut oleh sejumlah pihak lewat sosial media. Narasi-narasi yang kerap digaungkan, kata dia, tertindas dan lain -lain. Padahal, kawasan itu, semula merupakan kawasan hutan, sedangkan tak jauh dari situ ada otoritas BP Batam.

"[Tapi] ini dikacaukan situasi-situasi seperti ini dibuatlah di sosmed bahwa kami tertindas, kami sebagai warga Rempang. Padahal, itu kawasan hutan. Awalnya itu kawasan hutan," ucap Pandra.

Ia mengklaim BP Batam juga telah menyiapkan relokasi dan ganti rugi kepada warga setempat. Namun, masyarakat tetap menolak. "Sudah disiapkan, itu kemarin itu sedang melakukan pematokan dan juga pengukuran, tetapi dihalang-halangi oleh sekelompok masyarakat," jelas Pandra.

Pandra mengatakan, warga itu memblokade perlintasan yang merupakan tempat aktivitas masyarakat umum. Ia menyebut total ada 17 titik yang diblokade masyarakat.

Lebih lanjut, ia mengatakan perihal penggunaan gas air mata yang berujung ricuh antara warga Rempang dan aparat sejatinya sudah sesuai standar operasional prosedur (SOP). Pandra mengatakan semula masyarakat dinegosiasi oleh tim Polwan. Namun, warga tetap menghalangi.

"Kedua adalah tim Samapta, menghalau, masih kita bertahan jangan sampai dibubarkan," tukas Pandra.

Permasalahannya, kata dia, warga menuduh aparat menghalau jalan dan menghasut melalui sosial media. Kemudian, ratusan warga datang dengan niat bentrok sama aparat keamanan.

"Mereka membawa bom molotov, sebongkah batu, ketapel bahkan membawa senjata tajam yang diarahkan ke petugas," klaim Pandra.

Ia mengatakan semula aparat sudah berusaha membubarkan massa dengan negosiasi. Namun, tak diindahkan. Lalu, petugas berusaha membubarkan dengan menyemprotkan dengan water cannon.

"Dari water cannon tetap gak mau kita pakai gas air mata," kata Pandra.

Pandra mengatakan jika ada warga yang terluka, itu hanya dampak. Sebab, asap gas air mata mengarah ke salah satu sekolah.

"Polisi bukan ngejar-ngejar ke sekolah, justru polisi yang mengevakuasi terhadap anak-anak sekolah ke rumah sakit dan datanya ada di kita ada 11 orang. 1 orang guru, dan 10 siswa. Sudah kembali seperti biasa," klaim Pandra.

Saat ini, Pandra bilang situasi telah berjalan normal.

"Situasi sudah kondusif, dan kita akan lanjutkan terus melalui upaya-upaya apa yang disampaikan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo agar melakukan musyawarah dan mufakat, dan pendekatan humanis," pungkas Pandra.

Sementara itu, Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) mencatat terdapat enam orang warga ditangkap, puluhan masyarakat biasa luka-luka. Tidak hanya itu, ada beberapa anak mengalami trauma, dan satu anak mengalami luka akibat tembakan gas air mata.

Direktur Eksekutif Nasional WALHI, Zenzi Suhadi menuturkan, kejadian itu merupakan tanggung jawab pimpinan BP Batam, Kapolda Kepulauan Riau, Kapolresta Barelang, dan Komandan Panglima TNI AL Batam.

Peristiwa ini juga bertentangan dengan amanat UUD Tahun 1945 yaitu negara wajib melindungi seluruh tumpah darah dan segenap warga negara Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.

“Tindakan tersebut hanya sekedar membela investasi yang akan menggusur masyarakat adat," kata Zenzi dikutip dari keterangan tertulis yang diterima Tirto, Jumat (8/9/2023).

Diketahui, perusahaan yang mengembangkan proyek Rempang Eco City milik Tomy Winata dengan menggunakan bendera PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha. Pengembangan Rempang baru masuk dalam daftar proyek strategis nasional tahun 2023.

Pengembangan PSN itu bakal berdampak pada 10 ribu warga Pulau Rempang dan Galang yang tersebar di 16 Kampung Melayu Tua. Para warga kampung terancam tergusur dan terusir dari ruang hidup yang telah mereka huni turun-temurun sejak 1843.

Baca juga artikel terkait PULAU REMPANG atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Reja Hidayat