tirto.id - Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo merespons bentrokan antara aparat keamanan gabungan dengan warga Rempang, Batam, Kepulauan Riau, saat penjagaan proses pengukuran untuk pengembangan kawasan Rempang Eco City. Keributan pecah saat petugas gabungan tiba di lokasi.
Listyo mengatakan, saat ini memang di daerah itu memang sedang dilakukan pembebasan lahan oleh Badan Pengusahaan (BP) Batam perihal pembangunan Rempang Eco City di lahan seluas 7.572 hektare.
Namun, klaim jenderal bintang empat itu, ada sekelompok masyarakat menolak rencana pengembangan.
"Terkait Pulau Rempang, sebagaimana kita ketahui bahwa di sana ada kegiatan terkait dengan pembebasan atau mengembalikan kembali lahan milik otoritas Batam yang saat ini dikuasai oleh beberapa kelompok masyarakat," kata Listyo di Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Listyo mengklaim berbagai upaya telah dilakukan mulai dari musyawarah dengan warga setempat telah dilakukan. Ia juga mengklaim BP Batam telah menyiapkan relokasi dan ganti rugi terhadap lahan yang akan dilakukan pembebasan demi rencana pembangunan Rempang Eco City.
Namun demikian, masih ada sebagian masyarakat menolak hal itu. Karena itu, pada Kamis pagi kemarin pihak kepolisian terpaksa turun untuk melakukan penertiban kepada warga yang menolak.
Kendati demikian, klaim Listyo, upaya musyawarah tetap dikedepankan antara warga dengan BP Batam dalam menyelesaikan kasus ini .
"Karena ada beberapa aksi yang kemudian dilakukan upaya-upaya penertiban. Namun demikian, upaya musyawarah, upaya sosialisasi penyelesaian dengan musyawarah mufakat menjadi prioritas sehingga masalah di Batam, Pulau Rempang bisa diselesaikan," tutur Listyo Sigit.
Diketahui, perusahaan yang mengembangkan proyek Rempang Eco City milik Tomy Winata dengan menggunakan bendera PT Makmur Elok Graha (MEG), anak perusahaan Artha Graha.
Terpisah, Kepala Biro Humas Promosi dan Protokol BP Batam, Ariastuty Sirait mengatakan, untuk kegiatan di Rempang Galang saat ini adalah untuk melakukan pengukuran kawasan hutan di Rempang.
Ia mengaku pihaknya terpaksa meminta bantuan kepada Tim Terpadu Kota Batam karena adanya pemblokiran jalan dan sweeping yang dilakukan oleh warga di Jembatan 4 dan Dapur 6.
“Sebelum melaksanakan kegiatan pengukuran ini, kita sudah melakukan berbagai tahapan sosialisasi oleh tim kecil yang masuk ke masyarakat maupun dari Tim Terpadu. Namun, warga tetap melakukan pemblokiran jalan, sehingga terpaksa melibatkan Tim Terpadu untuk menjalankan proyek strategis nasional ini,” kata Ariastuty dikutip reporter Tirto dari website resmi BP Batam, Jumat (8/9/2023).
Ariastuty mengimbau kepada masyarakat agar tidak melanggar aturan yang tentunya dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain. Ia mengklaim pelepasan tembakan gas air mata ini tidak akan terjadi, jika masyarakat mengizinkan tim untuk melakukan pengukuran.
“Kami berharap masyarakat tidak terprovokasi dengan isu yang berkembang. Kegiatan ini kami pastikan sudah melalui tahapan sosialisasi sebelumnya kepada warga,” tutupnya.
Keributan dipicu karena warga disebut masih belum setuju dengan adanya pengembangan kawasan tersebut yang merupakan 16 kampung adat masyarakat Melayu. Akibat keributan tersebut, petugas menembakkan gas air mata karena situasi tidak kondusif.
Buntut insiden itu, beberapa siswa sekolah dekat lokasi dibawa ke rumah sakit akibat terkena gas air mata yang terbawa angin.
"Ada belasan siswa yang saya tau dibawa oleh ambulan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan. Gas air mata itu tadi terbawa angin, karena ribut dekat dari sekolah kami," ujar Kepala Sekolah SMP Negeri 22 Muhammad Nazib dikutip Antara, Kamis (7/9/2023).
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Reja Hidayat