tirto.id - Kasus suap PLTU Riau-1 yang menyeret nama Idrus Marham dan Eni Maulani Saragih memasuki babak baru. Peran kedua politikus Partai Golkar itu disebut secara terang benderang dalam dakwaan Johannes Budisutrisno Kotjo yang dibacakan jaksa KPK, di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/10/2019).
Dalam sidang perdana itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) KPK mendakwa Kotjo telah memberi suap sebesar Rp4,75 miliar secara bertahap untuk Eni Maulani Saragih selaku Wakil Ketua Komisi VII DPR RI serta menjanjikan fee proyek untuk Idrus Marham.
“Uang tersebut diberikan dengan maksud agar Eni Maulani Saragih membantu terdakwa [Johannes Kotjo] mendapatkan proyek independent power producer PLTU Mulut Tambang Riau-1,” kata Jaksa KPK Ronald Ferdinand Worotikan saat membacakan dakwaan, Kamis (4/10/2018).
Terkait kasus ini, KPK telah menetapkan Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham sebagai tersangka. Keduanya dinilai berperan sentral dalam mengawal rencana proyek pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau-1.
Skandal suap PLTU Riau 1 ini pertama kali terbongkar saat Eni Maulani Saragih dan Johannes Budisutrisno Kotjo selaku pemegang saham Blackgold Natural Resources (BNR), Limited terjaring operasi tangkap tangan (OTT) KPK, di rumah dinas Idrus Marham (saat kejadian menteri sosial) pada Jumat sore, 13 Juli 2018.
Kronologi Berdasarkan Dakwaan Kotjo
Kasus ini bermula pada 2015 saat Kotjo mengetahui rencana pembangunan PLTU Mulut Tambang Riau 1, sehingga ia berusaha mencari investor yang bersedia melaksanakan proyek itu dan akhirnya mendapatkan perusahaan asal China, yakni CHEC, Ltd, dengan kesepakatan apabila proyek berjalan Kotjo akan mendapatkan fee sebesar 2,5 persen atau sekitar 25 juta dolar AS dari perkiraan nilai proyek 900 juta dolar AS. Uang itu rencananya akan dibagi ke sejumlah pihak, salah satunya Setya Novanto sebesar 6 juta dolar AS.
Pada 1 Oktober 2015, Kotjo melalui Direktur PT Samantaka Batubara, Rudy Herlambang mengajukan permohonan proyek PLTU Riau 1 dalam bentuk independent power producer (IPP) kepada PLN. Inti dari permohonan itu adalah agar PLN memasukkan proyek tersebut ke dalam rencana umum penyediaan tenaga listrik (RUPTL).
Akan tetapi, PLN tidak menanggapi surat itu. Kotjo kemudian pada awal 2016 menemui Setya Novanto untuk meminta bantuan agar dipertemukan dengan pihak PLN. Gayung bersambut, Novanto pun memperkenalkan Kotjo dengan Eni Saragih yang kebetulan sebagai anggota VII DPR yang membidangi energi, riset dan teknologi, serta lingkungan hidup.
Dalam pertemuan yang berlangsung di ruang kerja Ketua Fraksi Golkar itu, Novanto meminta Eni Saragih agar membantu Kotjo dalam proyek PLTU Riau 1. Sebagai konpensasinya, Kotjo akan memberikan fee untuk Eni.
Setelah pertemuan itu, Eni kemudian aktif melakukan lobi, salah satunya mengajak Sofyan Basir (Dirut PLN) dan Supangkat Iwan Santoso untuk menemui Novanto. Saat pertemuan yang berlangsung pada 2016 itu, Novanto meminta proyek PLTGU Jawa III, namun karena sudah ada kandidat, maka Sofyan menawarkan PLTU Riau 1.
Pada awal 2017 kemudian Eni memperkenalkan Kotjo dengan Sofyan dan Supangkat. Sofyan pun mempersilakan Kotjo untuk berkoordinasi dengan Direktur Pengadaan Strategis 2 PT PLN (Persero) Supangkat Iwan Santoso.
Pertemuan antara mereka berempat terus terjadi sepanjang 2017. Supangkat menjelaskan mekanisme pembangunan IPP kepada Kotjo. Ia pun menyanggupi. Masih pada tahun 2017 di lounge Bank BRI, Sofyan Basir menyampaikan bahwa Kotjo akan mendapat proyek PLTU MT Riau-1 dengan skema penunjukan langsung, tetapi PT Pembangkitan Jawa Bali (PT PJB) harus memiliki saham perusahaan konsorsium minimal sebesar 51 persen.
Akhirnya, pada 14 September 2017 di Kantor Pusat PLN dilakukan penandatanganan kontrak induk yang intinya mengatakan pihak-pihak yang terlibat akan bekerja sama dalam bentuk konsorsium untuk mengerjakan proyek pembangunan PLTU MT Riau-1.
Pihak yang menandatangani kontrak tersebut adalah Direktur Utama PT Pembangkit Jawa Bali Iwan Agung Firstantara, Direktur Utama PT PLN Batubara Suwarno, perwakilan CHEC, Ltd Wang Kun, CEO PT Blackgold Rickard Philip Cecile, dan Dirut PT Samantaka Batubara Rudy Herlambang.
Peran IdrusMarham
Di tengah pengaturan proyek yang berlokasi di Indragiri Hulu, Riau tersebut, rupanya Novanto diringkus KPK dalam kasus e-KTP. Berdasarkan surat dakwaan itu, selanjutnya Eni melaporkan perkembangan proyek PLTU Riau-1 ke Idrus Marham yang kala itu menjadi Plt Ketua Umum Golkar. Salah satunya termasuk soal fee 2,5 persen yang akan ia terima dari Kotjo.
Pada 15 Desember 2017, Eni dan Idrus menemui Kotjo di kantornya di Graha BIP Jakarta. Di sana, Kotjo menegaskan soal fee untuk Eni. Lalu, Eni selaku Bendahara Munaslub Golkar meminta sejumlah uang kepada Kotjo untuk penyelenggaraan Munaslub. Guna meyakinkan Kotjo, Idrus Marham menyampaikan "Tolong dibantu ya." Kotjo pun menyanggupi permintaan itu.
Atas permintaan itu, Kotjo meminta sekretarisnya, Audrey Ratna Justianty untuk memberikan sebesar Rp4 miliar kepada Eni. Uang itu diserahkan secara bertahap pada 18 Desember 2017 sebesar Rp2 miliar dan 14 Maret 2018 sebesar Rp2 miliar.
Kemudian, Eni kembali meminta uang kepada Kotjo sebesar Rp10 miliar, tapi Kotjo keberatan. Karenanya, pada 5 Juni 2018, Eni mendatangi Kotjo di kantornya dengan membawa Idrus. "Tolong adik saya ini dibantu... buat Pilkada," kata Idrus kala itu.
Akan tetapi, rupanya Kotjo masih bergeming. Pada 8 Juni, Idrus mengontak Kotjo kembali via WhatsApp guna menegaskan permintaannya tempo hari. Akhirnya, Kotjo menyerahkan uang Rp250 juta ke Eni melalui orang dekat Eni, Tahta Maharaya.
Pada 10 Juli, Eni kembali mendatangi kantor Kotjo dan meminta Rp500 juta. Permintaan itu baru direalisasikan 3 hari kemudian dengan memberikannya kepada Tahta Maharaya. Sayangnya, saat itu keduanya langsung diringkus oleh penyidik KPK.
"Terdakwa seluruhnya memberikan uang seluruhnya sejumlah Rp4,75 miliar kepada Eni Maulani Saragih dan Idrus Marham,” kata Jaksa Ronald.
Atas perbuatannya ini, Kotjo didakwa telah melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau Pasal 13 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz