Menuju konten utama

Kritik Tim Prabowo Saat Bahan Makanan Jadi Pemicu Utama Inflasi

Data BPS menunjukkan bahan makanan menjadi salah satu penyebab inflasi yang dominan dengan kontribusi 0,68 persen terhadap inflasi sepanjang 2018.

Kritik Tim Prabowo Saat Bahan Makanan Jadi Pemicu Utama Inflasi
Petugas mengecek paket sembako di gudang beras Bulog Desa Larangan, Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, Senin (4/6/2018). ANTARA FOTO/Oky Lukmansyah

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan laju inflasi sepanjang 2018 mencapai 3,13 persen. Angka itu berada di bawah prediksi inflasi BI sebesar 3,5 persen, sekaligus lebih rendah dibanding tahun sebelumnya yang tercatat 3,61 persen.

Kepala BPS Suhariyanto mengklaim lebih rendahnya tingkat inflasi sepanjang tahun 2018 menunjukkan pemerintah berhasil mendorong penurunan harga barang.

Menurut Suhariyanto, sepanjang 4 tahun ini, pemerintah juga telah berhasil menjaga tingkat inflasi di bawah 3,5 persen sejak 2014 lalu.

“Inflasi 3,13 persen ini diperoleh saat situasi perekonomian tidak mudah. Saya pikir 3,13 bagus sekali,” kata Suhariyanto saat konferensi pers di kantonya, Rabu (2/1/2019).

Kendati demikian, data BPS menunjukkan kelompok bahan makanan masih menjadi salah satu penyebab inflasi yang dominan dengan kontribusi mencapai 0,68 persen terhadap inflasi sepanjang 2018.

Selain itu, kelompok bahan makanan juga mengalami lonjakan inflasi yang cukup tinggi secara year on year, yaitu tercatat 3,41 persen pada 2018. Padahal tahun sebelumnya hanya tercatat 1,26 persen.

Menanggapi hal itu, Koordinator Juru Bicara Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga, Dahnil Anzar menilai, data BPS itu mengkonfirmasi kritik timnya soal harga bahan pokok di Indonesia yang masih tergolong mahal dan menyebabkan perekonomian menjadi sulit.

Dahnil berkata, beratnya beban ekonomi masyarakat ini ditunjukkan dari menurunnya daya beli, harga bahan pokok yang mahal, hingga beban tarif listrik yang terus naik. Dahnil khawatir bila hal ini terus menerus terjadi, maka akan berdampak juga pada kinerja investasi swasta.

“Kondisi ekonomi seperti ini tidak boleh berlangsung terus menerus. Prabowo-Sandi akan fokus melakukan perbaikan pada harga bahan pokok,” kata Dahnil kepada reporter Tirto.

Sebaliknya, Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf Amin, Irma Suryani Chaniago menampik tudingan Dahnil.

Politikus Partai Nasdem ini mengatakan, data yang ia dapatkan dari Asosiasi Pedagang Pasar menunjukkan harga bahan pokok masih berada dalam level normal dan stoknya pun terkendali.

Meskipun demikian, Irma mengakui bila inflasi bahan makanan sepanjang 2018 yang mencapai 3,41 persen itu memang terjadi. Namun, kata Irma, kenaikan harga hanya terjadi pada sayur-mayur, cabai, dan bawang karena pengaruh musim hujan.

Sementara itu, Irma mengklaim harga daging ayam hingga ikan tidak banyak mengalami kenaikan.

“Saya setiap hari belanja ke pasar. Tidak mungkin bila tidak ada kenaikan harga. Jika bahan pokok berfluktuasi itu wajar karena musim memengaruhi harga,” kata Irma.

Irma menilai harga yang mahal tidak semata-mata dapat dianggap sebagai sesuatu yang buruk. Sebab, kata dia, harga tersebut perlu disesuaikan juga dengan biaya tanam yang harus dipikul petani.

Karena itu, Irma menilai pengendalian harga bahan pokok harus mempertimbangkan, baik pembeli maupun penjual.

“Kalau harga bahan pokok murah dan tidak sesuai biaya tanam itu tidak adil buat petani. Harus ada keseimbangan dan keberpihakkan buat petani dan pembeli,” kata Irma.

Daya Beli Masyarakat Harus Dijaga

Wakil Direktur Insitute For Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto memaklumi bila ada yang menganggap perekonomian Indonesia sedang sulit. Sebab, dari sisi makro, target pertumbuhan ekonomi memang tidak tercapai dan kondisi nilai tukar yang lebih parah dibanding tahun lalu.

Eko juga memaklumi bila representasi dari kesulitan ekonomi itu terlihat dari inflasi bahan makanan yang dirilis BPS, Rabu kemarin.

“Konteks semakin sulitnya [ekonomi] bisa jadi benar karena bahan makanan naiknya 2x lipat dari inflasi umum di bulan Desember 2018. Yang paling banyak mikir makanan itu, kan, orang miskin,” kata Eko.

Namun demikian, kata Eko, pembahasan ini tidak boleh melupakan faktor daya beli masyarakat. Menurutnya, kebijakan pemerintah yang menopang daya beli masyarakat dengan APBN perlu menjadi sorotan.

Sebab, kata dia, hal itu menunjukkan adanya upaya pemerintah belum berhasil dalam menaikkan daya beli masyarakat terbawah bila tidak mengongkosi APBN melalui belanja sosial.

“Harusnya indikatornya adalah daya beli masyarakat dan pengentasan kemiskinan masyarakat. Ini seharusnya bisa merefleksikan kondisi itu [mahalnya harga bahan makanan]” kata Eko.

Sementara itu, ekonom dari Universitas Surabaya (Ubaya) Putu Anom Mahadwartha menilai harga bahan pokok memang memiliki tren yang selalu naik. Menurutnya, kenaikan harga termasuk yang disebabkan oleh inflasi tidak serta-merta merupakan hal yang salah.

Sebab, kata dia, hal tersebut justru menjadi gambaran bagaimana peningkatan daya beli masyarakat.

“Secara mikro kita perlu inflasi loh ya. Itu enggak salah-salah amat karena sebagai cerminan kenaikan kemampuan pemerintah mendukung peningkatan daya beli masyarakat,” kata Putu.

Putu mengatakan persoalan terkait mahalnya harga pangan itu sepatutnya diarahkan pada daya beli masyarakat.

Menurutnya, saat ini masyarakat masih memiliki daya beli yang cukup baik. Putu menilai, masyarakat kelas bawah sejauh ini masih terbantu dengan kehadiran subsidi pemerintah yang sasarannya sudah cukup baik dibanding sebelumnya.

Selain itu, Putu juga mengatakan tercapainya daya beli masyarakat dapat dilihat dari perbandingan inflasi dan upah minimum regional.

“Jangan sampai daya beli masyarakat itu hilang karena masyarakat harus tetap mampu mengimbangi kenaikan harga. Tapi daya beli masyarakat masih cukup kok,” kata Putu.

Baca juga artikel terkait INFLASI 2018 atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Abdul Aziz