Menuju konten utama

Kritik Jokowi ke DPR: Jokowi Juga Punya Andil Bikin RUU yang Ruwet

Pemerintahan Jokowi juga punya andil menambah RUU di DPR. Di sisi lain, Presiden Jokowi mengimbau DPR tak banyak buat UU.

Kritik Jokowi ke DPR: Jokowi Juga Punya Andil Bikin RUU yang Ruwet
Presiden RI Joko Widodo. ANTARA/Irfan Anshori

tirto.id - Presiden Joko Widodo (Jokowi) kembali menyampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), serta Pemerintah Daerah (Pemda) agar tidak banyak membuat Undang-Undang (UU) dan peraturan lainnya.

Menurut Jokowi, sudah terlalu banyak regulasi yang dibuat dan saling tumpang tindih. Bagi Jokowi, semakin banyak UU dan regulasi akan semakin rumit dan berpeluang menghambat investasi. Padahal, Indonesia harus memanfaatkan momentum kepercayaan dari persepsi internasional yang sudah baik seperti, persepsi dunia usaha, global competitive index.

"Saya sudah sampaikan juga ke DPR, sekarang buat undang-undang enggak usah banyak-banyak, satu, dua, tiga, cukup tapi kualitasnya yang baik, mempercepat pertumbuhan ekonomi, yang memberikan dorongan pada pertumbuhan ekonomi, yang memberikan beban kepada rakyat semakin ringan. Perda-perda seperti itu. Enggak usah banyak-banyak. Semakin banyak aturan main yang kita buat semakin ruwet negara ini," kata Presiden Jokowi.

Jokowi menyampaikannya pada Rapat Kerja Pemerintah mengenai Percepatan Pelaksanaan Berusaha di Daerah, di Hall B3, JIExpo Kemayoran, Jakarta, Rabu (28/3/2018).

Jokowi pernah menyampaikan hal serupa pada 29 November 2017. Saat itu, ia menyatakan di Indonesia sudah ada 42 ribu regulasi dan meminta DPR mengurangi jumlah pembuatan UU agar tidak menghambat kinerja pemerintah.

Pernyataan Jokowi mendapat respons dari Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan yang menilai Jokowi tidak bisa hanya menyudutkan DPR dalam perkara pembuatan UU. Menurut Taufik, pemerintah ikut berperan dalam setiap pembahasan UU dan penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas).

“Makanya itu pemerintah harus memfilter juga mana yang berkualitas. Mana yang jadi kebutuhan masyarakat dan yang bukan,” kata Taufik, di Kompleks DPR, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (27/3/2018).

Taufik mengatakan, pemerintah juga ikut mengusulkan rancangan undang-undang (RUU) padahal kemampuan DPR dalam melakukan pembahasan RUU sangat terbatas. Ia menyebut, alat kelengkapan dewan [AKD] yang terdiri dari 11 komisi dan 5 badan hanya mampu membahas dua RUU dalam setahun.

“Jadi maksimal mampu 32 atau 33 RUU per tahun dalam prolegnas," kata Taufik.

Jumlah RUU yang dibahas lebih banyak seperti yang terjadi dalam Rapat Paripurna DPR pada 5 Desember 2017, yang menyepakati jumlah RUU yang dibahas adalah 50 RUU dalam Prolegnas 2018. Sebanyak 16 RUU di antaranya adalah usulan dari Pemerintah (PDF).

Soal banyaknya jumlah ini, anggota Badan Legislatif DPR Fraksi PDIP Junimart Girsang mengatakan DPR tidak mungkin membahas sebuah UU tanpa persetujuan pemerintah. Junimart juga membantah UU yang dihasilkan DPR hanya membikin keruwetan dan mengganggu kinerja pemerintah lantaran UU dibuat berdasarkan aspirasi dan kebutuhan masyarakat.

Anggota Komisi III DPR RI ini mencontohkan revisi RUU tentang mineral dan batu bara (Minerba) yang sekarang masuk Prolegnas. Menurutnya, UU tersebut merupakan inisiatif DPR atas aspirasi masyarakat yang menilai belum ada peraturan mengenai kegiatan penambangan di Indonesia.

Nah, kalau disebut agar tidak menimbulkan gonjang-ganjing, gonjang-ganjing yang mana?” kata Junimart.

Anggota Baleg dari Golkar Ace Hasan Syadzily juga menyanggah bahwa UU yang dibuat DPR selama ini menghambat kinerja pemerintah. Sebaliknya, menurutnya seluruh UU yang disahkan adalah untuk mendukung kinerja pemerintah.

“Justru seperti Undang-undang tax amnesty itu malah mendukung pemerintah,” kata Ace pada Tirto.

Tax amnesty merupakan salah satu kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penerimaan negara dari pajak dan reformasi perpajakan. Bahkan Jokowi langsung turun tangan mengampanyekan program tersebut ke masyarakat.

Pemerintah Punya Banyak Wewenang

Pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Andalas Feri Amsari menilai Jokowi tak paham tentang proses pembuatan perundang-undangan seperti yang diatur dalam UU Nomor 11 Tahun 2012 tentang Peraturan Perundang-Undangan (PDF).

Feri menjelaskan pemerintah punya porsi lebih banyak dalam semua tahapan pembuatan perundang-undangan. Pemerintah bisa mengusulkan, membahas bersama, menyetujui, dan menetapkan.

“DPR tidak bisa menetapkan. Pemerintah bahkan bisa bikin Perppu (peraturan perundang-undangan),” kata Feri kepada Tirto.

Feri mencontohkan pembahasan UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD (MD3). Pembahasan UU tersebut memang menjadi usulan DPR, tapi ada andil besar pemerintah terhadap masuknya pasal-pasal kontroversial di dalamnya yang membuat gaduh.

“Makanya presiden tidak boleh hanya sekadar menyalahkan DPR. Bagian besar dari itu ada juga kesalahan presiden,” kata Feri.

Pada Raker antara Pemerintah dan DPR perihal UU MD3, pada 7 Februari 2018, Menkumham Yasonna Laoly bahkan turut mengusulkan perubahan pada Pasal 73 ayat 1 tentang pemanggilan paksa yang menjadi salah satu pasal kontroversial di UU tersebut.

Dari risalah rapat yang disimpan redaksiTirto, disebutkan bahwa Jokowi telah menyetujui seluruh pasal di dalam sambutan yang dibacakan Yasonna. Dalam sambutan itu cuma dibahas satu hal, ucapan terima kasih Jokowi atas perubahan MD3 terutama penambahan jumlah pimpinan jatah partai pemenang Pemilu.

Pada sisi lain, Feri menyatakan, permintaan Jokowi berarti membuat DPR tidak berfungsi. Ia menyebut DPR punya fungsi utama untuk membuat UU dalam sistem presidensial. “Fungsi lain seperti budgeting itu juga bagian dari legislatif. Karena anggaran harus berupa undang-undang,” kata Feri.

Di luar konteks hukum tata negara, ucapan Jokowi ini bisa merugikan upaya pencitraan menjelang Pemilu Presiden 2019. Pendapat ini dikemukakan pengamat komunikasi politik dari UIN Jakarta Iding Rasyidin.

Iding juga menyebut perkataan Jokowi bisa berdampak pada hubungannya dengan partai politik. “Bisa membuat hubungan Jokowi dengan partai merenggang,” kata Iding kepada Tirto.

Menurut Iding, pernyataan Jokowi tersebut sama saja membatasi kewenangan anggota-anggota fraksi partai di DPR. Sementara selama ini, pembuatan UU juga menjadi ajang pencitraan mereka ke publik.

Iding berpendapat lebih tepat bila permintaan tersebut adalah Sekretaris Negara atau menteri terkait. Dengan begitu, sorotan tidak akan langsung mengarah kepada Jokowi.

“Kalau sekarang pertanggungjawaban ucapan ada pada Jokowi,” kata Iding.

Baca juga artikel terkait RUU atau tulisan lainnya dari M. Ahsan Ridhoi

tirto.id - Hukum
Reporter: M. Ahsan Ridhoi
Penulis: M. Ahsan Ridhoi
Editor: Mufti Sholih