tirto.id - Berdasar data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menyebutkan satu dari enam anak perempuan di Indonesia menikah sebelum berusia 18 tahun.
KPPPA juga mencatat setiap tahun ada 340.000 anak perempuan yang menikah sebelum genap berusia 18 tahun di Indonesia.
Padahal, menurut pejabat KPPPA Sri Prihantini Lestari Widjayanti di Palu, Rabu, pernikahan pada usia dini bisa menimbulkan masalah seperti kekerasan dalam rumah tangga serta peningkatan risiko kematian ibu saat hamil dan melahirkan.
"Menikahkan anak di usia dini menambah masalah, karena banyak dampak buruk dari pernikahan di usia dini," kata Sri Prihantini, Asisten Deputi Partisipasi Lembaga Profesi dan Dunia Usaha KPPPA, saat membuka lokakarya mengenai pencegahan kekerasan berbasis gender.
Pernikahan pada usia dini, menurut dia, juga membuat anak perempuan rentan mengalami pelanggaran hak. "Dan tercabut dari kebahagiaan masa anak-anak," katanya.
Sebagaimana di tingkat nasional, kasus pernikahan dini di Provinsi Sulawesi Tengah juga tergolong masih tinggi, 31,91 persen.
Daerah di Sulawesi Tengah yang kasus pernikahan dininya masih tinggi antara lain Kabupaten Tojo Una-una, Parigi Moutong, Kabupaten Banggai Laut, Banggai Kepulauan, dan Kabupaten Sigi.
Sri Prihantini mengatakan, KPPPA berharap semua pemangku kepentingan, tokoh agama, dan komponen masyarakat mendukung upaya pencegahan pernikahan usia dini.
"Perempuan dan anak menjadi kelompok rentan," katanya.
Menikah Muda Rentan Perceraian
Sejumlah penelitian menemukan bahwa pernikahan di usia muda berpotensi meningkatkan risiko perceraian.
Salah satunya riset Nicholas Wolfinger, seorang profesor dari studi keluarga dan konsumsi dan sosiologi di Universitas Utah, Amerika Serikat.
Ia menganalisis data National Survey of Family Growth (NSFG) dan mendapati pada periode 2006 hingga 2010, risiko tingkat perceraian untuk pernikahan pada usia 20-24 tahun mencapai 20 persen. Risiko ini terbanyak kedua setelah pernikahan pada usia di bawah 20 tahun yakni 32 persen.
Tren peningkatan perceraian itu sebenarnya juga sudah dibaca oleh Premchand Dommaraju (peneliti Nanyang Technological University) dan Gavin Jones (peneliti National University of Singapore). Mereka meneliti tren perceraian di Asia dan secara spesifik di negara-negara Asia dengan penduduk mayoritas Muslim, yakni Malaysia dan Indonesia.
Hasil riset yang diterbitkan di Asian Journal of Social Science 39 pada 2011 itu menunjukkan tren perceraian di dua negara Islam ini sudah terjadi sejak awal hingga akhir 1990-an.
Penulis: Maya Saputri
Editor: Agung DH