Menuju konten utama

KPK Yakin Bisa Menjerat Petinggi Lippo Grup

KPK meyakini dapat menjerat petinggi Lippo Grup, Eddy Sindoro meskipun ia berada di luar negeri. Ia diduga terlibat dalam kasus suap yang menjerat mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution.

KPK Yakin Bisa Menjerat Petinggi Lippo Grup
Terdakwa kasus suap pengurusan perkara terkait perusahaan Lippo Group di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Pusat Edy Nasution bersiap mengikuti sidang lanjutan di Pengadilan Tipikor, Jakarta, Rabu (9/11). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan.

tirto.id - Komisi Pemberantasan Koupsi (KPK) meyakini dapat menjerat petinggi Lippo Grup, Eddy Sindoro meskipun ia berada di luar negeri. Ia selaku Presiden Komisaris Lippo Group diduga terlibat dalam kasus suap yang menjerat mantan Panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) Edy Nasution.

Dalam sidang tuntutan di pengadilan Tipikor Jakarta, Senin (21/11/2016), Edy Nasution dituntut delapan tahun penjara ditambah denda Rp300 juta subsider lima bulan kurungan karena menerima Rp1,5 miliar, Rp100 juta, 50 ribu dolar AS, dan Rp50 juta terkait pengurusan sejumlah perkara anak perusahaan Lippo Grup di PN Jakpus.

Dalam tuntutan, uang tersebut disebut merupakan inisiatif dari Eddy Sindoro selaku Presiden Komisaris Lippo Group yang membawahi beberapa anak perusahaan di antaranya PT Jakarta Baru Cosmoplitan (JBC) dan Paramount Enterprise Internasional) dengan Evan Adi Nugroho selaku Direktur, PT Metropolitan Tirta Perdana (MTP) dengan Hery Soegiarto sebagai direktur, dan PT Across Asia Limited (AAL) yang menghadapi permasalah hukum pada peradilan tingkat pertama di antaranya PN Jakpus hingga tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI.

Namun, hingga saat ini KPK belum bisa menghadirkan Eddy Sindoro untuk diperiksa sebagai saksi, baik di tingkat penyidikan maupun penuntutan. Akan tetapi, komisi antirasuah tetap optimistis dapat menjerat yang bersangkutan.

“Ya tetap diupayakan, upaya [penetapan tersangka] tentu akan ke sana, jadi tim penyidik yang bicara,” kata Jaksa Penuntut Umum KPK Dzakiyul Fikri di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta, seperti dikutip Antara.

Dzakiyul menyampaikan hal itu seusai sidang pembacaan tuntutan terhadap mantan panitera Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Edy Nasution.

Selain itu, Dzakiyul juga mengungkapkan bahwa peran Nurhadi juga akan diungkap. "Tentang yang bersangkutan, kan juga banyak disebut dalam dakwaan, ya mungkin setelah perkara ini nanti lebih diungkap," tambah Dzakiyul.

Edy Nasution dituntut berdasarkan Pasal 12 huruf a UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 65 ayat 1 KUHP sebagaimana dakwaan kesatu pertama dan Pasal 12 B UU No. 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam dakwaan pertama terdapat empat penerimaan uang. Penerimaan pertama, Edy menerima Rp1,5 miliar untuk revisi penolakan permohonan eksekusi tanah PT JBC agar Edy melakukan pengurusan perubahan redaksional (revisi) surat jawaban dari PN Jakarta Pusat untuk menolak permohonan eksekusi lanjutan dari ahli waris berdasarkan putusan Raat Van Justitie Nomor 232/1937 tanggal 12 Juli 1940 atas tanah lokasi di Tangerang dan tidak mengirimkan surat tersebut kepada pihak pemohon eksekusi lanjutan.

Karena setelah beberapa waktu tidak ditindaklanjuti Edy maka Wresti melaporkan kepada Eddy Sindoro dan meminta untuk membuat surat memo yang ditujukan kepada promotor, yaitu Nurhadi selaku Sekretaris MA RI, guna membantu pengurusannya, setelah itu Edy menghubungi Wresti dan menyampaikan bahwa dalam rangka pengurusan penolakan atas permohonan eksekusi lanjutan atas arahan Nurhadi agar disediakan uang sebesar Rp3 miliar. Terhadap permintaan uang itu, Eddy Sindoro pun hanya menyanggupi pemberian uang Rp1,5 miliar.

Uang diserahkan pada 26 Oktober 2015 di Hotel Acacia dalam mata uang dolar Singapura dalam amplop cokelat besar.

Penerimaan kedua adalah uang Rp100 juta untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT MTP untuk pengurusan penundaan teguran aanmaning perkara niaga PT MTP melawan Kymco melalui PN Jakpus sesuai putusan Singapura International Arbitration Centre (SIAC) yang diharuskan membayar ganti rugi sebesar 11.100 dolar AS.

Uang Rp100 juta diantarkan oleh Dpddy kepada Edy pada 17 Desember 2016 di Hotel Acacia pukul 09.13 WIB.

Penerimaan ketiga adalah uang 50 ribu dolar AS untuk pengurusan pengajuan Peninjauan Kembali (PK) PT AAL yang diputus kasasi sudah pailit melawan PT First Media Tbk pada 31 Juli 2013 dengan salinan dikirim pada 7 Agustus 2015, namun hingga batas waktu yang telah ditentukan UU, PT AAL tidak mengajukan upaya hukum.

Edy menerima uang dari salah satu kuasa hukum yang baru dari Law Firm Cakra & Co yaitu Austriadhy 50 ribu dolar AS yang terbungkus dalam amplop warna cokelat

Terakhir penerimaan Rp50 juta untuk pengurusan perkara lain pada 20 April di Hotel Acacia.

Sedangkan dalam dakwaan kedua, jaksa menilai bahwa Edy terbukti menerima gratifikasi senilai Rp10,35 juta, 70 ribu dolar AS, dan 9.852 dolar Singapura dan tidak dilaporkan ke KPK.

Atas tuntutan itu, Edy akan mengajukan nota pembelaan (pledoi) pada 30 November 2016.

Terkait perkara ini, Doddy Aryanto Supeno sudah divonis penjara selama empat tahun ditambah denda Rp150 juta subsider tiga bulan kurungan, sedangkan KPK juga sedang melakukan penyelidikan untuk Nurhadi.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz