tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali menetapkan satu tersangka baru dalam kasus korupsi e-KTP, yakni politikus Partai Golkar Markus Nari.
"KPK menetapkan MN [Markus Nari] anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga secara melawan hukum memperkaya diri sendiri maupun orang lain atau suatu korporasi," kata Kepala Biro Humas KPK Febri Diansyah saat konferensi pers di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta, Rabu (19/7/2017).
Febri mengatakan Markus Nari ditetapkan sebagai tersangka karena berperan dalam memuluskan pembahasan anggaran dan penambahan anggaran di proyek e-KTP. Selain itu, Markus Nari juga diduga memperkaya sejumlah korporasi dalam proyek e-KTP.
Febri mengatakan, pada tahun 2012, Markus Nari juga diduga ikut berperan mengatur pembahasan perpanjangan anggaran proyek e-KTP sebesar Rp1,49 triliun. Selain itu, Markus diduga meminta uang kepada Irman sebesar Rp5 miliar.
Akibat tindakannya, KPK menyangkakan pasal 3 dan pasal 2 ayat 1 UU Tipikor jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUH. Penetapan tersangka kepada Markus Nari tidak hanya pertama kali, sebelumnya Markus telah disangka melanggar pasal 21 UU Tipikor lantaran berusaha mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung proses pemeriksaan di sidang pengadilan dengan terdakwa Irman dan Sugiharto dalam sidang perkara KTP elektronik serta penyidikan dugaan tindak pidana korupsi terhadap Miryam S. Haryani.
Sebelumnya, KPK juga menetapkan Ketua DPR RI Setya Novanto sebagai tersangka kasus korupsi proyek pengadaan e-KTP pada Senin (17/7).
"KPK menetapkan saudara SN (Setya Novanto) anggota DPR periode 2009-2014 sebagai tersangka karena diduga dengan melakukan tindak pidana korupsi dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan menyalahgunakan kewenangan sarana dalam jabatannya sehingga diduga merugikan negara sekurang-kurangnya Rp2,3 triliun dari nilai paket pengadaan," kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Senin (17/7/2017).
Menurut Agus, Novanto diduga menguntungkan diri atau orang lain atau korporasi. Novanto juga diduga menyalahgunakan kewenangan dan jabatan. Setnov, panggilan akrab Setya Novanto, diduga ikut mengakibatkan kerugian negara Rp 2,3 triliun dari nilai proyek Rp 5,9 triliun.
Setnov disangkakan melanggar Pasal 3 atau Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Alexander Haryanto