tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hari ini memanggil mantan Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi untuk diperiksa. Politikus PKB itu akan diperiksa sebagai tersangka kasus dugaan suap terkait pengurusan dana hibah KONI dan penerimaan lainnya.
"Besok pada hari Jumat akan diagendakan pemeriksaan terhadap tersangka IMN atau Menpora dalam kapasitas sebagai tersangka," kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah di Gedung Merah Putih KPK, Kuningan, Jakarta Selatan pada Kamis (26/9/2019).
Febri berharap Imam bisa koperatif dengan hadir untuk memenuhi panggilan, terlebih saat ini Imam sudah tidak menjabat sebagai Menpora. Sebelumnya, Imam pernah dipanggil tapi mangkir.
"Kami harap besok bisa hadir dan kalau ada bantahan-bantahan silakan disampaikan nanti di depan penyidik," kata Febri.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Imam Nahrawi sebagai tersangka dalam kasus suap dugaan dana hibah Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) pada Rabu (18/9/2019) kemarin.
Imam Nahrawi disangkakan telah menerima uang sejumlah Rp14,8 miliar sepanjang 2014-2018 melalui staf pribadinya, Miftahul Ulum. Pada periode 2016-2018, Imam juga ditengarai menerima tambahan Rp11,8 miliar.
"Sehingga total dugaan penerimaan Rp26.500.000.000. Uang itu merupakan fee atas mengurusi proposal dana hibah KONI kepada menpora tahun anggaran 2018," kata Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat konferensi persnya.
Dugaan keterlibatan Imam Nahrawi dalam suap KONI memang sudah santer terdengar bahkan sejak 9 Mei 2019 dalam sidang pembacaan tuntutan dengan terdakwa Sekjen KONI Ending Fuad Hamidy dan Bendahara KONI Johnny E Awuy.
Jaksa membeberkan bahwa Imam dan Ulum bermufakat jahat untuk menerima fee terkait pengurusan dana hibah untuk KONI tahun 2018.
Jaksa mengungkapkan, terdakwa Johny E Awuy pernah memberikan uang total Rp11,5 miliar kepada Miftahul Ulum secara bertahap atas pengetahuan Ending Fuad Hamidy. Uang itu diduga akan diteruskan lagi ke tangan Imam Nahrawi.
Sebab, sebelumnya kedua terdakwa telah sepakat dengan Ulum bahwa fee untuk Kemenpora ialah 15 persen hingga 19 persen dari total bantuan dana hibah yang dicairkan. Fee itu diperlukan guna memuluskan pencairan proposal yang diajukan KONI.
Rincian pemberian fee sebagai berikut: Maret 2018, Hamidy atas sepengetahuan Johny memberikan Rp2 miliar kepada Miftahul Ulum di Gedung KONI lantai 12. Februari 2018, Hamidy memberikan Rp500 juta kepada Miftahul Ulum di Gedung KONI. Juni 2018, Hamidy memberikan Rp3 miliar kepada orang suruhan Miftahul Ulum bernama Arief.
Pada Mei 2018, Hamidy memberikan Rp3 miliar kepada Miftahul Ulum di Gedung KONI Pusat.
Sebelum Lebaran 2018, Hamidy menyerahkan uang senilai Rp3 miliar dalam bentuk mata uang asing kepada Ulum di lapangan tenis Kemenpora.
Kesimpulan jaksa KPK itu didukung sejumlah bukti, antara lain: keterangan terdakwa Ending Fuad Hamidy dan Johny E Awuy. Selain itu, ada pula bukti berupa keterangan saksi Eni Purnawati selaku Kepala Bagian Keuangan KONI, dan saksi Atam selaku staf KONI.
Kesaksian itu pun diperkuat dengan barang bukti berupa buku tabungan bank atas nama Johny E Awuy dan rekening korannya, serta kartu ATM yang pernah diserahkan Johny kepada Ulum. Jaksa juga memegang bukti elektronik berupa rekaman rekaman percakapan antar pihak-pihak yang terlibat.
Atas perbuatannya tersebut, Imam dan Ulum telah melanggar Pasal 12 huruf a atau huruf b atau Pasal 12 B atau Pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1, Pasal 64 ayat 1 KUHP.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri