tirto.id - Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Komjen Polisi Firli Bahuri menegaskan kembali bahwa penyidik Kompol Rossa Purbo Bekti sudah diberhentikan dan dikembalikan ke instansi asalnya, yakni Mabes Polri.
Pemberhentian Kompol Rossa, kata Firli, sudah secara resmi melalui surat keputusan tertanggal 22 Januari 2020 dan ditandatangani oleh Sekretaris Jenderal KPKdan Kepala Biro Sumber Daya Manusia.
Berdasarkan surat keputusan pemberhentian tersebut, membuat Rossa hanya bisa bekerja di KPK hingga 1 Februari 2020. Padahal masa aktifnya sampai September 2020.
“Sesungguhnya pengembalian penyidik Polri yang berstatus pegawai negeri yang dipekerjakan adalah hal biasa,” kata Firli melalui keterangan tertulis, Selasa (4/2/2020).
Rossa merupakan bagian dari tim yang berhasil menyelidiki kasus suap pergantian antar-waktu (PAW) yang kemudian menjerat eks Komisioner KPU RI Wahyu Setiawan, eks Komisioner Bawaslu RI, Agustiani Tio Fridelina, politikus dan kader PDIP Harun Masiku, dan Saeful (staf Sekjen PDIP Hasto Kristiyaanto) sebagai tersangka.
Pemberhentian dan pengembalian Rossa ke kepolisian membuat peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta Zaenur Rohman ragu akan penyelesaian kasus suap PAW itu.
Terlebih lagi, kata Zaenur, sampai saat ini Harun Masiku menjadi satu-satunya tersangka yang masih buron.
Zaenur menilai pengembalian Rossa ke kepolisian bukan sesuai yang kebetulan belaka. Ia menduga ada upaya untuk menjegal kasus suap PAW agar berhenti pada Harun. Atas kejadian penuh drama ini, kata dia, masyarakat Indonesia akan menjadi tidak percaya terhadap KPK.
"Penarikan atau pengembalian jaksa dan penyidik pasti menghambat upaya penuntasan kasus. Karena personil baru perlu mempelajari dari awal. Apalagi penyidik Rossa dikembalikan tiba-tiba. Transfer informasi dan pemikiran belum tentu sudah dilakukan,” kata Zaenur saat dihubungi reporter Tirto.
Keraguan akan kasus PAW tuntas juga dirasakan peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana. Ia menagih kejelasan alasan Firli tiba-tiba mencopot Kompol Rossa dari jajaran penyidik KPK.
"Karena KPK sedang menyidik kasus KPU dan tiba-tiba timnya itu dicopot. Kita patut menduga KPK memang tidak ingin membongkar skandal korupsi yang melibatkan Wahyu Setiawan,” kata Kurnia saat dihubungi reporter Tirto, Rabu (5/2/2020).
Kurnia juga tak habis pikir dengan sikap kekeh Firli mengembalikan Rossa meski pihak Polri sempat membatalkan, lantaran masa jabatannya masih sampai September 2020.
“KPK memasuki era otoritarianisme di bawah kepemimpinan Firli Bahuri. Bagaimana tidak, langkah yang bersangkutan memberhentikan paksa Kompol Rossa sama sekali tidak berdasar,” kata Kurnia.
Ketua KPK Firli Bisa Diseret ke PTUN
Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari menilai Ketua KPK Firli Bahuri memungkinkan dibawa ke pengadilan tata usaha negara atas pencopotan Rossa sebagai penyidik KPK.
Feri melihat proses yang ganjil atas pengembalian Rossa ke Polri dan tidak sesuai ketentuan administratif. Menurut dia, hal itu terkesan mengganggu proses penyidikan kasus yang masih berjalan.
"Terhadap itu pimpinan KPK dapat digugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) atau dikenakan pidana menghalangi proses penyidikan," kata Feri.
Plt Juru Bicara Bidang Penindakan KPK Ali Fikri membantah dengan dikembalikannya Rossa beserta beberapa jaksa dan penyidik lainnya bisa menghambat proses penyidikan kasus PAW. Ia meyakini penyidikan akan tetap berjalan dengan normal.
"Karena teman-teman bekerja atas dasar tim satuan tugas yang terdiri dari teman penyidik, baik itu di penyidikan, penuntutan, seluruhnya bekerja berdasarkan tim bukan atas pribadi,” kata Ali, di Gedung Merah Putih KPK, Jakarta Selatan, Rabu (5/2/2020).
Meskipun saat ini, Ali mengakui bahwa KPK memang kekurangan penyidik. Namun, ia pastikan perkara kasus yang menyeret-nyeret PDIP tetap berjalan optimal.
“Tentunya perkara yang sedang dan akan berjalan ini tentunya butuh SDM. Tetapi untuk perkara PAW ini masih tetap berjalan seperti biasa,” kata dia.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz