tirto.id - Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Sitti Hikmawatty menilai penting pengenalan seksual sejak dini kepada anak. Salah satu yang perlu ditekankan, kata dia, adalah pengenalan identitas seksual mereka. Menurut Sitti, hal itu penting agar anak-anak tersebut tidak tergolong kepada orientasi seksual homogen dalam LGBT.
"Pengajaran seksual pertama adalah mengenal jenis kelamin adanya jenis kelamin yang berbeda itu adalah salah satu pengajaran seksual," kata Sitti di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (3/8/2019).
Dalam pertemuan yang sama, Muhammad Iqbal dari Rumah Konseling juga menegaskan bahwa Indonesia sekarang sedang darurat LGBT. Menurut dia, LGBT adalah penyakit. Oleh sebab itu, ia mendukung hal ini harus dicegah sejak dini.
"Memang child grooming dan LGBT ini mengerikan," tegas Iqbal.
Selain itu, Kabag Penum Mabes Polri Asep Adi Saputra juga sempat mengatakan tentang pentingnya mencegah pelecehan seksual dengan modus grooming child. Dia juga menegaskan bahwa penting juga mencegah LGBT.
"Konsekuensi kita mengatakan darurat child grooming dan LGBT ini juga harus ada kepedulian dari semua pihak. Jangan sampai ini menjadi tugas bagian-bagian tertentu saja, tetapi semua harus ada kebersamaan," kata Asep di lokasi yang sama.
Sebelumnya, Lenny Sugiharto, Direktur Lembaga Yayasan Srikandi Sejati, lembaga nirlaba yang berfokus pada advokasi transgender mengatakan, kelompok LGBT masih jadi sasaran kebencian. Misalnya, dianggap sepele dan dipandang rendah oleh masyarakat, hingga dimarjinalkan pemerintah.
“Seharusnya jika ingin mengaitkan dengan moral, tentu tak hanya ditujukan ke LGBT saja. Ada banyak masalah di luar sana yang bersinggungan dengan moral dan lebih parah dari LGBT, namun tak pernah dibahas," ujar Lenny.
"Mungkin karena LGBT jumlahnya kecil, maka bisa lebih mudah dimanfaatkan sebagai konsumsi bagi pihak-pihak tertentu. Yang jelas masalah moral dan dosa itu bukan urusan manusia,” kata Lenny.
Yulianus atau biasa disapa Mami Yuli, Ketua Forum Komunikasi Transgender se-Indonesia (FKWI), mengungkapkan tantangan kelompok LGBT di Indonesia umumnya menghadapi argumen berbasis agama. Pandangan moral ini bisa berubah jadi kebencian, yang dibawa "kelompok tertentu", dan justru ditampung pemerintah.
“Negara kita, kan, dasarnya hukum. Bukan agama. Tapi, banyak dari mereka, kelompok-kelompok tertentu ini, yang membawa semangat agama," kata Mami Yuli. "Sayangnya, peran pemerintah untuk menghentikan itu tidak ada. Ujung-ujungnya dibiarkan,” tambah dia.
“Diberdayakan, enggak. Dihujat, iya. Hak hidup kami seperti enggak ada. Ketegasan pemerintah di mana?” Mami Yuli protes.
Di sisi lain, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen PAS) Kemenkumham juga pernah ingin mengisolasi narapidana terindikasi LGBT ke kamar isolasi. Kepala Bagian Humas Ditjen PAS Kemenkumham Ade Kusmanto mengatakan, kelak para napi yang terindikasi LGBT itu akan dibina secara psikis dan keagamaan.
Namun, rencana itu dikritik oleh Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara. Ia menilai tidak ada peraturan soal pemisahan narapidana LGBT. Selama ini klasifikasi itu diatur dalam Undang-undang Nomor 12 tahun 1995 tentang Pemasyarakatan.
Anggara juga merujuk pada keputusan Asosiasi Psikiatri Amerika (APA) yang mencoret homoseksualitas dari Panduan Diagnostik dan Statistik Gangguan Mental (DSM) pada 1987 setelah memasukannya pada 1968.
"Itu bukan penyakit. Lagipula pemisahan itu biasanya karena violence, napi high risk. Bukan begitu-begitu," katanya lagi.
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Alexander Haryanto