tirto.id -
Di samping itu, 23 persen tanah dikuasai oleh korporasi perkebunan skala besar, para konglomerat dan sisanya dimiliki masyarakat.
"Tercatat, rata-rata pemilikan tanah petani di pedesaan kurang dari 0,5 hektar dan tidak bertanah," ungkap Sekjen KPA, Dewi Kartika, melalui siaran pers yang diterima Tirto, Selasa (23/9/2017).
Menurut Dewi, persentase kenaikan jumlah petani yang tak sebanding dengan pertambahan areal pertanian itulah yang telah berkontribusi besar meningkatkan angka pengangguran.
Bahkan, tambah Dewi, hal ini juga menyebabkan semakin lebarnya jurang ketimpangan lantaran para petani itu beralih profesi menjadi buruh dengan upah murah.
"Per Maret 20017, data BPS mengatakan sebanyak 17,10 juta penduduk miskin hidup di pedesaan dan ditandai dengan terus naiknya indeks kedalaman dan keparahan kemiskinan," imbuhnya.
Hal ini cukup ironis mengingat, reforma agraria telah dimasukkan sebagai salah satu prioritas kerja nasional yang terdapat pada butir ke-5 program Nawacita Joko Widodo-Jusuf Kalla (Jokowi-JK).
Sayangnya, kata Dewi, setelah memasuki tiga tahun masa pemerintahannya, Jokowi-JK belum benar-benar melaksanakan reforma agraria sejati. Indikasinya bisa terlihat dari belum ditanganinya Peraturan Presiden (Perpres) tentang Reforma Agraria.
Sementara di sisi lain, tuntutan untuk membentuk lembaga otoritatif pelaksana reforma agraria malah dilemahkan dan hanya menjadi tim pelaksana yang berada di bawah Kementerian Kordinator Perekonomian.
Artinya, ungkap Dewi, "reforma agraria hanya dimaknai sebagai persoalan ekonomi semata tanpa memperhatikan aspek keadilan sosial."
Penulis: Hendra Friana
Editor: Maya Saputri