Menuju konten utama

Korupsi Bupati Jepara dan Ironi Peningkatan Dana Bantuan Parpol

Ade Irawan menilai meskipun dana parpol sudah dinaikkan hampir 10 kali lipat, tapi partai masih belum menunjukkan perbaikan tata kelola keuangannya.

Korupsi Bupati Jepara dan Ironi Peningkatan Dana Bantuan Parpol
Hakim tunggal Lasito berbicara dengan Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman, pada sidang perdana gugatan praperdilan terhadap Bupati Jepara Achmad Mazuki, di Pengadilan Negeri (PN) Semarang, Senin (30/10/2017). ANTARA FOTO/R. Rekotomo

tirto.id - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) resmi menetapkan Bupati Jepara Ahmad Marzuqi sebagai tersangka kasus suap. Pria kelahiran 11 Agustus 1964 ini diduga telah menyogok hakim Pengadilan Negeri Semarang Lasito sebesar Rp700 juta.

Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan mengatakan, uang itu diberikan guna mempengaruhi putusan praperadilan dari kasus korupsi yang menjerat Marzuqi.

“Terkait putusan atas praperadilan kasus dugaan korupsi penggunaan dana bantuan partai politik dengan tersangka Bupati Jepara,” kata Basaria di Gedung KPK, Jakarta, Kamis (6/11/2018).

Kasus ini bermula saat Kejaksaan Tinggi Jawa Tengah pada pertengahan 2017 menetapkan Marzuqi sebagai tersangka korupsi dana parpol. Saat itu Marzuqi disebut menyalahgunakan dana bantuan politik (banpol) untuk Partai Persatuan Pembangunan (PPP) untuk tahun 2011 dan 2012.

Dana bantuan yang berasal dari APBD Kabupaten Jepara, malah digunakan untuk tunjangan hari raya (THR) pengurus Dewan Pimpinan Cabang PPP atas perintah Ketua DPC PPP, yakni Ahmad Marzuqi.

Tak terima dengan status tersangka itu, Marzuqi kemudian mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri Semarang dengan nomor register perkara: 13/PId.Pra/2017/PN.Smg.

Menurut Basaria, Marzuqi pun mulai mencoba mendekati Lasito melalui panitera muda di PN Semarang.

“Hakim tunggal memutuskan praperadilan yang diajukan AM [Ahmad Marzuqi] dikabulkan dan menyatakan penetapan tersangka AM tidak sah dan batal demi hukum,” kata Basaria.

Namun KPK menduga Marzuqi telah memberikan dana sebesar Rp700 juta kepada hakim Lasito terkait putusan atas praperadilan tersebut. Uang itu diserahkan ke rumah Lasito di Solo dalam bungkusan tas plastik bandeng presto dan ditutup dengan kotak bandeng presto agar tidak terlihat.

Ironi Bantuan Dana Parpol

Kasus yang menjerat Marzuqi ini menjadi ironi di tengah upaya parpol yang sedang memperjuangkan kenaikan bantuan dana partai politik. Apalagi, KPK telah memberikan sinyal mendukung kenaikan anggaran bantuan partai yang sudah lama diwacanakan.

Dalam acara peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2018 yang digelar KPK di Hotel Bidakara, Jakarta Selatan, Ketua KPK Agus Rahardjo menyampaikan pentingnya menaikkan besaran dana parpol.

Hal itu disebut-sebut sebagai salah satu upaya agar partai politik tidak mencari dana dari korupsi yang dilakukan para kadernya, terutama yang di parlemen dan pemerintahan.

“Yang direkomendasikan KPK antara Rp1.000 sampai Rp10.000. Yang sudah dibantu pemerintah juga Rp1.000. Jadi, masih jauh sekali dari dana ideal yang diperlukan partai,” kata Agus di Hotel Bidakara, Jakarta, Selasa (4/12/2018).

Sayangnya, dua hari setelah Agus Rahardjo menegaskan pentingnya menaikkan anggaran bantuan dana parpol, justru kasus yang menjerat Marzuqi kembali mencuat.

Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Ade Irawan menilai kenaikan dana parpol saat ini belum perlu dilakukan. Alasannya, pemerintah baru saja menaikkan dana parpol secara siginifikan dari yang awalnya hanya Rp108 per suara menjadi Rp1.000 per suara.

Alasan kedua, kata Ade, meskipun dana parpol sudah dinaikkan hampir 10 kali lipat, tapi parpol masih belum menunjukkan perbaikan tata kelola keuangan.

“Aku pernah ketemu wasekjen atau bendahara [parpol], dia bilang laporan keuangan yang benar itu bukan ada yang di laporan tertulis, itu ada di kepala ketua umum dan sekjen,” kata Ade kepada reporter Tirto, Jumat (7/12/2018).

Selain itu, kata Ade, korupsi politik yang kerap terjadi di Indonesia bukan hanya disebabkan karena kurangnya dana bantuan politik. Ia menilai, salah satu penyebabnya adalah politik yang berbiaya tinggi yang disebabkan oleh mahar politik.

Lebih lanjut, Ade menjelaskan penerapan mahar politik ini disebabkan partai tidak memiliki sistem kaderisasi yang baik. Untuk itu, kata dia, sebelum meningkatkan kembali dana parpol, semestinya pemerintah mendorong agar partai memperbaiki tata kelola keuangan, serta kaderisasinya.

Juru Bicara KPK Febri Diansyah pun memberi pernyataan senada. Ia mengatakan di samping mendorong agar parpol diberi dana politik yang rasional, juga mesti dibangun sistem yang mendorong peningkatan akuntabilitas partai politik.

"Misalnya melalui revisi UU Partai Politik, jadi ada kewajiban untuk membuka informasi pada publik, [atau] misalnya ada kewajiban memenuhi standar pengelolaan keuangan negara sebagaimana institusi-institusi lain sehingga dana itu bisa dipertanggungjawabkan dengan lebih maksimal,” kata Febri.

Febri menegaskan, peningkatan dana parpol dan peningkatan akuntabilitas parpol merupakan dua hal yang tak terpisahkan.

Tujuannya adalah agar kasus penyelewengan bantuan dana partai yang dialokasikan dari APBN dan APBD tidak disalahgunakan seperti kasus yang menjerat Bupati Jepara Ahmad Marzuqi.

Baca juga artikel terkait KASUS SUAP HAKIM atau tulisan lainnya dari Mohammad Bernie

tirto.id - Hukum
Reporter: Mohammad Bernie
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Abdul Aziz