tirto.id - Bupati Cianjur Irvan Rivano Muchtar ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada Rabu (12/12/2018) pekan lalu. Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan menyampaikan Irvan diduga memangkas pembayaran Dana Alokasi Khusus (DAK) Pendidikan Cianjur Tahun 2018.
Pangkasannya sebesar 14,5 persen dari total anggaran Rp46,8 miliar. Dari potongan 14,5 persen itu, Irvan menerima tujuh persen atau sekitar Rp6,78 miliar, dan sisanya ia bagikan ke pihak lain.
Menurut Laporan Tahunan KPK Tahun 2017 (PDF), dugaan tindak pidana korupsi yang melibatkan DAK juga terjadi dalam penyelewengan DAK bidang pendidikan tahun 2007 Kabupaten Rokan Hulu, DAK kegiatan peningkatan sarana dan prasarana Sekolah Menengah Kejuruan di Garut, dan DAK bidang pendidikan tahun 2008, 2010, dan 2011 di Timor Tengah Utara.
Indonesian Corruption Watch mencatat, sepanjang 2005-2016, 85 dari 425 kasus korupsi di sektor pendidikan berasal dari penyelewengan DAK. Kerugiannya mencapai Rp377 miliar.
Tidak hanya DAK Pendidikan yang digasak. DAK Fisik pun jadi bancakan para politikus untuk memperkaya diri.
Dua bulan lalu, KPK menetapkan Wakil Ketua DPR Taufik Kurniawan sebagai tersangka. Politikus PAN itu diduga menerima hadiah terkait perolehan anggaran DAK Fisik pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Tahun Anggaran 2016. Menurut KPK, Taufik diduga menerima suap sebesar Rp3,65 miliar guna meloloskan DAK untuk Kebumen.
Sebelumnya, Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar KPK pada 4 Mei 2018 juga meringkus anggota DPR Komisi XI Amin Santono. Beserta Kepala Seksi Pendanaan Kawasan Perumahan dan Pemukiman pada Ditjen Perimbangan Keuangan Yaya Purnomo, politikus Demokrat itu disebut menerima suap untuk mengusahakan DAK Kabupaten Lampung Tengah yang sebesar Rp79,775 miliar dan Dana Insentif Daerah (DID) yang setara Rp8,5 miliar. Amin menerima Rp2,8 miliar, sementara Yaya mendapat Rp300 juta.
Atas berbagai penyelewengan itu, peneliti di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Rusli Abdulah menilai DAK memang menjadi salah satu anggaran yang membuat politikus terjerumus ke pusaran korupsi.
Penilaian serupa juga dikatakan Direktur Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Feri Amsari pada November lalu. Menurut Feri, pangkal penyelewengan ini terletak pada proses penentuan daerah penerima DAK. Sistem yang ada sekarang mengarahkan pihak daerah mengajukan diri guna mendapat DAK. Alhasil, mereka mesti melobi DPR agar pengajuan mereka diterima.
Misteri Indeks Gini dan Otonomi Daerah
Meski demikian, Rusli mengatakan DAK tetap penting dalam mengurangi ketimpangan di Indonesia.
Di Indonesia, ketimpangan lazimnya diukur menggunakan indeks gini. Indeks gini merentang dari 0 hingga 1. Semakin indeks gini suatu wilayah mendekati 0, jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin semakin sempit. Sebaliknya, semakin indeks gini suatu daerah mendekati 1, jarak ketimpangan semakin melebar.
Indeks gini Indonesia mencapai 0,35 pada 1964. Semasa Orde Baru, indeks gini paling rendah berada di titik 0,32. Ini terjadi pada 1987 dan 1990. Sedangkan indeks gini paling tinggi terjadi pada 1978, yakni sebesar 0,38.
Indeks gini Indonesia beranjak naik justru sejak otonomi daerah diterapkan pasca-1998. Pada 1996, dua tahun sebelum Soeharto lengser, indeks gini Indonesia mencapai 0,36. Pada awal otonomi daerah dilaksanakan (2004), indeks gini Indonesia berada di angka 0,32. Sepuluh tahun kemudian, pada September 2012, indeks gini Indonesia mencapai 0,413.
Kemudian, sejak September 2012 hingga Maret 2018, tren indeks gini Indonesia cenderung menurun. Pada September 2013, indeks gini berada di angka 0,413. Lalu, pada September 2016, indeks gini Indonesia tercatat sebesar 0,394.
Dalam buku Ketimpangan di Era Otonomi (2018), INDEF mengkaji sejumlah parameter yang berkorelasi dengan meningginya indeks gini sejak otonomi daerah diterapkan hingga September 2016. Parameter itu mencakup kemampuan fiskal daerah; rasio belanja modal, pendidikan, dan kesehatan terhadap total belanja dalam APBD; hingga pertumbuhan ekonomi. INDEF juga menaruh perhatian pada DAK.
DAK bukan satu-satunya bentuk dana transfer pemerintah pusat ke daerah. Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Bagi Hasil, dan DAK masuk dalam Dana Perimbangan. Ada pula Dana Insentif Daerah dan Dana Desa. Selain itu, terdapat Dana Otonomi Khusus untuk Papua, Papua Barat, dan Aceh, serta Dana Keistimewaan untuk Yogyakarta.
Menurut penelitian yang digelar INDEF, DAU berkorelasi positif dengan indeks gini. Artinya, kalau DAU naik, ketimpangan semakin parah.
Hasil penelitian INDEF menyebutkan setiap satu persen kenaikan DAU justru memperlebar ketimpangan sebanyak 0,01. Padahal, DAU selalu meningkat setiap tahun. Pada 2013, DAU terealisasi sebesar Rp311,1 triliun, sementara pada 2016, realisasi DAU sebesar Rp389,6. Namun, sebagian besar DAU digunakan untuk belanja pegawai.
"Kenaikan alokasi DAU yang seharusnya digunakan untuk peningkatan penyediaan layanan kepada masyarakat, lebih digunakan untuk membiayai belanja rutin seperti belanja pegawai pemerintah provinsi, dan kabupaten, atau kota. Ini membuat belanja pelayanan dasar tidak optimal," ujar Rusli.
Namun, DAK berkorelasi negatif dengan indeks gini. Dengan kata lain, jika DAK naik, ketimpangan justru mengecil. Penelitian INDEF menunjukkan setiap satu persen kenaikan DAK berkontribusi pada penurunan indeks gini sebesar 0,01 persen. Dibanding DAU, menurut INDEF, DAK ternyata lebih bisa memperkecil ketimpangan.
INDEF menduga hal tersebut terjadi karena DAK digunakan untuk belanja yang sudah ditentukan pemerintah pusat. Belanja itu merupakan prioritas nasional.
"Dana yang pengelolaan ditujukan untuk prioritas nasional dan memiliki ketentuan ketat dari pusat berkontribusi terhadap penurunan indeks gini. DAU yang ketentuan penggunaannya tidak diatur, tidak berkontribusi dalam penurunan indeks gini," sebut Rusli kepada Tirto usai diskusi publik INDEF, Rabu (7/11/2018).
Mengintai DAK
Pengawasan lebih ketat terhadap DAK. Begitu kata Rusli agar DAK tidak melulu digarong para politikus. Menurutnya, Badan Pemerika Keuangan (BPK) harus beranjak, tidak hanya melihat output—kesesuaian antara realisasi dan rencana—suatu program yang biasanya hanya diukur dari yang hal-hal bersifat fisik.
Temuan Rusdi menunjukkan bahwa ada sebuah daerah yang tidak memiliki sekolah. Lalu, anggaran pendidikan digunakan untuk membangun sekolah. BPK akan menilai pembangunan itu tidak bermasalah apabila realisasi anggaran sesuai peruntukannya.
"Kalau sudah sesuai, berarti kemungkinan tidak ada korupsi," ujar Rusli.
Bagi Rusli, penilaian seperti tidak cukup. Efektivitas anggaran, misalnya dalam pendidikan, juga harus memperhitungkan outcome dan impact dari suatu program.
"Apakah di daerah itu, kebutuhan sekolahnya memenuhi rasio yang ideal? Jangan-jangan tidak ada siswa yang mau sekolah di situ. Otomatis tidak ada outcome dalam penganggaran," katanya.
Sedangkan, impact yang dimaksud Rusli mencakup hal seperti, "Ketika ada siswa yang sekolah di situ. Bagaimana dengan pengajarannya? Apa siswa semakin percaya diri, kecerdasan verbal atau motorik bertambah sehingga ketika lulus bisa mendapatkan pekerjaan."
Rusli juga menegaskan BPK dan KPK perlu mengetahui modus penyelewengan DAK. Tentu, agar uang rakyat tak lagi digasak.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Windu Jusuf