tirto.id - “Pancasila itu jiwa dan raga kita. Ada di aliran darah dan detak jantung kita, perekat keutuhan bangsa dan negara. Saya Jokowi, Saya Indonesia, Saya Pancasila,” kata Presiden Joko Widodo di akun Instagram, Selasa (30/5/2017).
Tiga hari lalu, Presiden Jokowi memang membuka Pekan Pancasila mulai dari 29 Mei-4 Juni 2017 dengan tema "Saya Indonesia, Saya Pancasila”. Puncak Peringatan Hari Lahir Pancasila akan digelar pada 1 Juni 2017 di halaman Gedung Pancasila Kementerian Luar Negeri, Jl. Pejambon, Jakarta Pusat.
Sejak tahun ini pula Jokowi memberlakukan libur nasional setelah tahun lalu ia meneken Kepres No 24 Tahun 2016 tentang Hari Lahir Pancasila.
Namun kebijakan Presiden Jokowi ini mendapat kritik keras dari bekas Dosen UHAMKA, Alfian Tanjung. Dalam video berjudul “Subuh Berjamaah: Menghadapi Invasi PKI & PKC”, Alfian menyebut penetapan Libur 1 Juni sebagai aksi sepihak Jokowi yang menjadi ciri watak Partai Komunis Indonesia (PKI).
“Jokowi tu benih-benih sepihaknya masih ada, itu watak PKI yang suka aksi sepihak. Mau bukti? Libur 1 Juni itu adalah Pancasilanya PKI, sekarang kan 1 Juni libur Nasional kan? Kapan dibahasnya? Dibahas dengan siapa? Ga boleh dong negara ini bukan negara pala lu, negara bukan negara pribadi, bukan negara punya kamu, Jokowi! negara kita, tahu-tahu 1 Juni libur,” kata Alfian.
Alfian melanjutkan, “Pancasila yang kelima itu adalah Ketuhanan, Ketuhanan nomer 5. Ini adalah Pancasila-nya Marxis, tapi apa? Udah libur, yang nentukan Presiden, sepihak, sikap aksi sepihak itu watak kader komunis! Tak mau musyawarah, seenak perutnya aja, itu dia kan ngurus negara, negara kan memang bukan muslim semua, tapi muslim kan mayoritas, masa gara-gara mau mengakomodir yang minoritas, yang mayoritas dianggap ga ada? Kurang ajar betul. Harus diberhentikan jadi presiden kalau begitu.”
Belakangan dengan pernyataannya itu, Alfian ditetapkan sebagai tersangka ujaran kebencian dan ditahan di Mabes Polri. Polisi membekuk Alfian atas dasar laporan dari masyarakat berinisial S, warga Kecamatan Lakarsanti, Surabaya.
"Dari dua alat bukti yang ada, Alfian Tanjung kini berstatus tersangka. Ditangkap pada Senin (29/5/2017) kemarin dan telah ditahan pada Selasa (30/5/2017)," jelas Kabareskrim Mabes Polri, Komjen Pol. Ari Dono Sukmanto.
Kepolisian juga menetapkan Alfian Tanjung sebagai tersangka dalam kasus penyebaran informasi sesat yang dikhawatirkan menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan terhadap individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, ras dan antargolongan (SARA).
Alfian disangkakan pasal 156 KUHP dan pasal 16 jo pasal 4 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi dan Ras. Tak hanya itu, ia juga dikenai pasal 45 jo 28 UU 19 tahun 2016 tentang ITE.
Lahirnya Pancasila
72 tahun silam, sebelum Alfian ditangkap, 29 Mei 1945, Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUKI) menggelar sidang untuk merumuskan dasar negara, filsafat negara, dan bentuk negara. Sidang digelar sebagai persiapan kemerdekaan Indonesia sebagaimana dijanjikan oleh Jepang.
Pada 29 Mei, salah satu anggota BPUPKI, Moh Yamin ikut merumuskan dasar negara. Dalam pidatonya Yamin menyebut ada lima asas negara yakni “1. Peri Kebangsaan; 2. Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan Rakyat”.
Dua hari kemudian di sidang BPUPKI, 31 Mei, Soepomo juga mengungkapkan gagasannya mengenai konsep negara Indonesia. Ia mengajukan konsep “Negara Integralistik”. Soepomo menilai konsep ini paling cocok untuk Indonesia yang multikultural. Dalam pidatonya itu Soepomo memang tidak secara langsung menyebutkan tentang Pancasila, melainkan memberikan konsepsi mengenai dasar dan bentuk negara.
“Menurut aliran pikiran tentang negara yang saya anggap sesuai dengan semangat Indonesia asli tadi, negara tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang terbesar dalam masyarakat, pun tidak mempersatukan dirinya dengan golongan yang paling kuat (golongan politik atau ekonomi yang paling kuat), akan tetapi mengatasi segala golongan dan segala seseorang mempersatukan diri dengan segala lapisan rakyat seluruhnya,” kata Soepomo.
Sejarawan Orde Baru, Nugroho Notosusanto, menyarikan pidato Supomo tersebut dalam lima butir, yang ia sebut sebagai “Pancasila Supomo”: 1) persatuan, 2) Kekeluargaan, 3) Keimbangan lahir batin, 4) Musyawarah, 5) Keadilan sosial.
Selang sehari, pada 1 Juni 1945, Sukarno juga mengemukakan gagasannya mengenai dasar negara: 1) Kebangsaan Indonesia, 2) Internasionalisme, – atau perikemanusiaan 3) Mufakat, – atau demokrasi, 4) Kesejahteraan sosial. 5) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
“Namanya bukan Panca Dharma, tetapi saya namakan ini dengan petunjuk seorang teman kita ahli bahasa, namanya ialah Pancasila. Sila artinya azas atau dasar, dan di atas kelima dasar itulah kita mendirikan Negara Indonesia, kekal dan abadi…,” kata Sukarno.
Polemik Pencetus Pancasila
Tapi belakangan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (30 Juli 1953 – 12 Agustus 1955), Moh Yamin, menerbitkan buku Persiapan Undang-undang Dasar 1945 yang menuai polemik. Buku itu berisi risalah mengenai sidang BPUPKI di awal konsepsi tentang Pancasila dibentuk para pendiri Republik.
Pengajar dari Kampus Sanatha Dharma Yogyakarta, P.J. Suwarno, dalam Pancasila budaya bangsa Indonesia menyebut buku hasil penyusunan Yamin ini kontroversi. Alasannya, Yamin tidak memuat risalah BPUPKI secara utuh sehingga mengesankan Pancasila merupakan rumusannya.
Mengutip pernyataan dari Hatta, Surwarno menyampaikan naskah terbitan Yamin itu tidak memuat semua naskah yang diserahkan Supomo, bahkan pidato Hatta yang ada dalam bundel naskah itu juga tidak dimuat.
“Ketika Hatta menanyakan naskah itu Yamin mengatakan akan mencarikannya, tetapi sampai Yamin meninggal dunia (17 Oktober 1962) bundel naskah itu tidak dikembalikan, istrinya pun tidak tahu di mana bundel naskah itu berada,” tulis Suwarno.
Akademisi dari UGM, Slamet Sutrisno dalam bukunya Kontroversi dan Rekonstruksi Sejarah menilai ada beberapa kejanggalan dalam klaim Yamin soal Pancasila. Dalam klaimnya, Yamin mengatakan, 'Saya meminta perhatian, bahwa dalam rapat tanggal 29 Mei dulu saya telah melampirkan suatu rancangan UUD Republik Indonesia,"
Namun, menurut Slamet, klaim Yamin terbantahkan setelah pakar dari Univeritas Indonesia, Ananda B. Kusuma, menemukan Pringgodigdo Archief. Dari dokumen itu diketahui, rancangan UUD yang diucapkan Yamin tidak ada dalam Pringgodigdo Archief yang menghimpun notulen asli sidang tersebut. Priggodigdo merupakan mantan juru tulis Belanda. Ia salah satu anggota BPUPKI.
Pringgodigdo Archief, kata Slamet, menyebutkan “pada sidang BPUPKI hanya Ir Soekarno yang mengemukakan Dasar Negara. yang bersila lima."
Slamet juga menyampaikan Pringgodigdo Archief "tercemar" oleh tangan usil yang menambah angka “1” pada durasi pidato Yamin di BPUPKI.
Padahal pada sidang BPUPKI 29 Mei, durasi pidato masing-masing anggota tidak lebih dari 45 menit. Rinciannya Soemitro berpidato 5 menit, Margono 20 menit, Sanusi 45 menit, Sosrodiningrat 5 menit, dan Wiranatakusumah 15 menit. Padahal, durasi sidang BPUPKI pada tanggal itu hanya berlangsung 130 menit.
"Belum diketahui siapa yang mencemari dokumen historis tersebut dan dengan maksud apa. Ananda B. Kusuma menyatakan, bila dilakukan kritik sejarah terhadap dokumen ini adalah tidak mungkin M Yamin memperoleh alokasi waktu 120 menit, karena menurut risalah, sidang berlangsung 130 menit sehingga sulit diterima akal bahwa ada lima pembicara lainnya hanya memakan waktu menit!" tulis Slamet.