tirto.id - Tak ada lagi kolam karet berisi air hangat yang pernah membuatku nyaman dan santai saat persalinan pertama. Ia digantikan kasur dingin dan pisau bedah dokter di Rumah Sakit. Saat ini, tak lagi mudah menemukan bidan atau dokter yang mau membantu kelahiran dengan water birth.
Tahun 2009 di bulan September adalah saat-saat yang paling mendebarkan dalam hidupku. Aku tengah menunggu kelahiran anak pertama. Saat itu rasanya campur aduk, tapi perasaan bahagiaku hampir tertutup rasa takut luar biasa akan persalinan. Maklum, banyak cerita-cerita negatif di luar sana yang berseliweran. Membuat calon ibu muda sepertiku trauma bersalin sebelum waktunya.
Untungnya, saat itu dokter kandunganku sangat kooperatif. Ia menawarkan berbagai pilihan persalinan dengan menjelaskan kelebihan dan kekurangannya. Akhirnya, aku memilih water birth untuk kelahiran buah hatiku. Persalinan yang dilakukan dalam kolam berisi air hangat.
Mulai masuk ke kolam saat bukaan delapan, dan sekitar 30 menit di setelah masuk ke dalam air, bayi keluar.
Cerita pengalaman melahirkan dengan metode water birth di atas datang dari Zein Shafia (37). Zein menjalaninya di Rumah Sakit Pusat Pertamina.
Saat itu, persiapan persalinan dimulai dari menyedot kotoran besar dan kecil. Tujuannya agar saat melahirkan tak ada cemaran kotoran ke dalam air. Suhu dan kebersihan air pun selalu dijaga, air kotor digulir dengan yang bersih. Seusai persalinan, Zein mengaku ia bisa langsung banyak berjalan, minim rasa sakit dan trauma psikis.
“Beda banget sama kelahiran kedua ini yang pakai [tindakan operasi] caesar. Recovery-nya lama dan masih terasa sakit.”
Namun, kini akses melahirkan dengan water birth tak semudah zaman Zein melahirkan dulu. Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia (MKDKI) tidak merekomendasikan water birth karena tidak masuk dalam prosedur operasional standar melahirkan dan tidak diajarkan di kurikulum medis. Surat rekomendasi IBI itu berlaku sejak tahun 2015.
Keputusan ini jadi disesalkan banyak pihak, setidaknya Zein. Begitu pula Galuh, seorang ibu (31) yang menjajal metode water birth di salah satu klinik bersalin di Bandung tahun 2012 lalu. Saat itu, water birth sudah mulai diminati, sehingga mudah pula baginya mencari klinik yang membuka jasa ini.
Galuh mulai kepincut persalinan water birth lantaran unggahan Dewi “Dee” Lestari mengenai gentle birth. Saat itu ia mulai mencari rujukan mengenai gentle birth dan water birth. Akhirnya, Galuh mendatangi klinik yang bekerja sama dengan Dee untuk mempromosikan persalinan minim trauma.
Setelah berdiskusi dengan petugas kesehatan di klinik tersebut, Galuh memutuskan akan melahirkan anaknya di dalam air. Kata Galuh, air hangat yang digunakan pada metode water birth membuatnya merasa rileks. Bahkan, saking jatuh cinta dengan metode ini, ia mengaku segan jika harus melahirkan dengan cara lain.
“Kalau water birth saja sesakit ini, enggak kebayang melahirkan dengan cara biasa.”
Tenaga Kesehatan Tak Lagi Berani
Pada 2011, Kompas.com menulis tentang Martini Nazif, seorang wanita yang kehilangan anak pertamanya setelah bersalin di dalam air. Diduga, kasus itu terjadi karena kelalaian dokter. Saat itu, Martini dianjurkan dokter melakukan water birth meski telah memilih melahirkan dengan cara caesar. Keganjilan mulai terasa saat ia masuk pembukaan penuh, tetapi dokter belum juga datang.
Keganjilan lainnya ia rasakan saat sang suami diminta untuk mengoperasikan alat bantu persalinan. Di saat yang sama, sang dokter juga tengah menangani persalinan water birth lain. Ketika akhirnya persalinan berhasil, bayinya tak mengeluarkan suara. Sang bayi sempat diberi tindakan pertolongan, tapi nyawanya tak terselamatkan. Sementara itu, Martini masih tetap dibiarkan selama satu setengah jam di dalam kolam.
Kasus tersebut menjadi salah satu cikal bakal pelarangan water birth di Indonesia. Dr. dr. Ali Sungkar, Sp.OG-KFM, dokter ahli kandungan dan kebidanan bahkan menegaskan bahwa metode ini tak pernah menjadi kurikulum resmi sekolah kedokteran. Water birth hanyalah metode alternatif melahirkan.
“Kurang direkomendasikan karena risikonya masih cukup tinggi,” katanya dalam diskusi kesehatan di Chubb Square Jakarta beberapa waktu lalu.
Menurut tulisan dalam laman kesehatan WebMD, water birth memang memiliki beberapa risiko seperti infeksi, tali pusat putus sebelum bayi keluar dari air, suhu tubuh bayi bisa menjadi terlalu tinggi atau terlalu rendah. Jika tidak tanggap menangkap bayi, maka dikhawatirkan mereka akan menghirup air, kejang, tidak bernafas, bahkan tenggelam.
Masih menurut laman yang sama, jika dilakukan oleh tenaga kesehatan profesional dan alat-alat yang memadai, metode water birth bisa lebih banyak memberikan keuntungan bagi persalinan. Ia bisa membantu meringankan rasa sakit, memperkecil peluang anestesi, dan mempercepat kelahiran. Para calon ibu bisa merasa lebih nyaman dan mudah memegang kendali karena persalinan di air membantu mereka mengambang, bergerak lebih mudah daripada di tempat tidur.
“Dari riset, jurnal, dan rujukan lain yang saya baca, water birth dan home birth adalah yang paling nyaman karena membuat ibu dan bayi minim trauma,” ujar Yesie Aprillia. Yesie adalah bidan dan praktisi serta pelatih hypnobirthing dan gentle birth.
Ia menilai peraturan di Indonesia belum mengakomodir kenyamanan perempuan dalam persalinan. Malah yang terjadi, tenaga kesehatan yang membantu kelahiran water birth merasa terintimidasi dan terdiskriminasi. Mereka harus main kucing-kucingan dengan dinas kesehatan. Jika ketahuan, mereka bisa terancam pencabutan surat izin praktik.
Penulis buku Art of Water Birth - Indahnya Melahirkan dalam Air yang menjadi best seller pada 2011 ini merasakan sendiri sulitnya menjadi praktisi. Surat izin kliniknya tak kunjung turun hingga sekarang. Ia menduga hal ini menyangkut aktivitasnya memasyarakatkan water birth.
“Karena aturan tak bisa diubah, sekarang kita yang harus punya trik melahirkan di mana saja asal minim trauma,” katanya memberi tips.
Kuncinya, lanjut Yesie, ada pada calon ibu. Mereka harus memperbanyak pengetahuan tentang proses persalinan, juga kasus yang sering terjadi, cara menghindari, dan mengatasi masalah persalinan. Ia menganjurkan calon ibu untuk mencari tenaga kesehatan yang punya filosofi selaras. Tak lupa memperbaiki gizi, berlatih cara bernapas, dan mengatasi kepanikan saat hari melahirkan.
Untuk meminimalkan intervensi, ibu hamil bisa datang ke fasilitas kesehatan ketika melewati bukaan lima, ditandai dengan kontraksi lima menit sekali. Mereka jadi tak perlu berlama-lama berada di rumah sakit. Singkatnya, hanya numpang melahirkan.
“Rumah sakit juga tak bisa diintervensi, harus mulai dari kita. Buat persalinan yang kita inginkan, siasati, bawa aroma terapi, penutup mata, atau birthing ball punyamu.”
Selain getol mengedukasi calon ibu untuk menyiasati persalinannya, Yesie masih berharap aturan pelarangan water birth dan home birth dapat melunak. Setidaknya, pemerintah perlu mengkaji metode tersebut selama beberapa tahun sebelum benar-benar mengeluarkan rekomendasi pelarangannya.
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani