Menuju konten utama

Kontroversi Dewan Pengawas KPK: Bisa Jadi Alat Intervensi Presiden?

Dewan Pengawas KPK dinilai bisa digunakan sebagai kaki tangan presiden dan DPR untuk mengintervensi komisi antirasuah.

Kontroversi Dewan Pengawas KPK: Bisa Jadi Alat Intervensi Presiden?
Anggota Wadah Pegawai KPK menaburkan bunga diatas nisan bertuliskan RIP KPK saat melakukan aksi di gedung KPK Jakarta, Selasa (17/9/2019). tirto.id/ANdrey Gromico

tirto.id - Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) yang baru direvisi mengamanatkan pembentukan satu badan baru bernama Dewan Pengawas. Ini tertuang dalam Pasal 37E ayat 1.

Anggota Dewan Pengawas KPK sebelumnya diusulkan dipilih oleh DPR. Namun, berdasarkan draf RUU KPK hasil pembahasan pemerintah dan DPR yang disahkan di rapat paripurna, ia jadi dipilih Presiden.

Ketua dan anggota Dewan Pengawas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37A diangkat dan ditetapkan oleh Presiden Republik Indonesia,” demikian bunyi pasal tersebut.

Presiden akan membentuk panitia seleksi (pansel) untuk menjaring dan menyeleksi orang-orang yang mendaftar sebagai anggota Dewan Pengawas. Lalu, pansel menyerahkan nama-nama hasil seleksi tersebut kepada Presiden.

Setelah itu, Presiden akan mengirimkan nama-nama calon anggota Dewan Pengawas KPK ke DPR untuk dikonsultasikan. Kemudian, Presiden menetapkan ketua dan anggota Dewan Pengawas KPK.

Presiden Republik Indonesia menetapkan ketua dan anggota Dewan Pengawas dalam jangka waktu paling lama 14 hari kerja terhitung sejak konsultasi sebagaimana dimaksud pada ayat 9 selesai dilaksanakan," demikian bunyi Pasal 37E ayat 10.

Mekanisme pemilihan Dewan Pengawas KPK oleh Presiden ini dikritik Fraksi Gerindra dan PKS. Dua parpol oposisi ini menilai, jika semua anggota Dewan Pengawas KPK dipilih Presiden, maka ia akan berpotensi melemahkan KPK.

Salah satu kewenangan Dewan Pengawas KPK adalah memberi izin penyadapan. Wakil Ketua Komisi III DPR RI Fraksi Gerindra Desmond Junaedi Mahesa mengatakan “pelemahan KPK terjadi ketika izin tersebut ditolak.”

Karenanya Desmond ingin anggota Dewan Pengawas KPK tidak hanya dipilih presiden, tapi juga DPR dan KPK.

“Gerindra mengusulkan harusnya Presiden memilih 2, DPR 2, satunya dari unsur pimpinan KPK. Ketua KPK [Jadi] Dewan Pengawas,” kata Desmond.

Hal serupa diungkapkan anggota DPR dari Fraksi PKS Ledia Hanifa Amalia. Menurut Ledia, Fraksi PKS menganggap Dewan Pengawas menyebabkan KPK tidak bekerja independen dan kredibel.

Dan itu tidak selaras dengan misi revisi, yaitu, “memberikan penguatan kepada KPK.”

PKS juga mengkritisi keharusan KPK meminta izin penyadapan ke Dewan Pengawas, kata Ledia.

Penyadapan adalah senjata KPK mencari bukti dalam mengungkap kasus extraordinary crime. Karena itu sebaiknya KPK tidak perlu minta izin, tapi sebatas lapor ke Dewan Pengawas saat menyadap.

“Dan monitoring ketat agar penyadapan tidak melanggar hak asasi manusia,” katanya.

Alat Presiden dan DPR

Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus menilai wajar antara eksekutif dan legislatif berebutan dapat 'kursi' di Dewan Pengawas, sebab merekalah yang berpotensi korup.

Lebih jauh, keberadaan Dewan Pengawas KPK dapat jadi alat Presiden dan DPR untuk mengintervensi komisi antirasuah. Selain itu Dewan Pengawas KPK juga sangat mungkin membocorkan informasi kepada orang-orang yang hendak disadap.

“Mana mungkin itu bisa mengatasi pemberantasan korupsi,” kata Lucius.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana punya kekhawatiran serupa.

"Pasti [ada kebocoran informasi]. Memang sejak awal ini ada campur tangan eksekutif dan legislatif dalam penindakan KPK, yang seharusnya bisa dilakukan independen oleh struktur KPK yang sudah berjalan dengan baik," kata Kurnia.

Infografik 15 Hari membunuh KPK

Infografik 15 Hari membunuh KPK. tirto.id/Quita

Sementara ahli hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera Bivitri Susanti menilai konsep Dewan Pengawas KPK sudah keliru sejak awal. Soalnya, saat ini sudah ada beberapa lembaga yang mengawasi kinerja KPK.

Ada DPR, misalnya, yang punya hak angket untuk memastikan KPK bekerja sesuai UU. Kemudian ada lagi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang tugasnya untuk mengaudit keuangan dan kinerja lembaga pemerintah, tidak terkecuali KPK. Ada pula Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) yang punya hak mengaudit penyadapan.

Intinya, sudah banyak instansi yang perannya serupa Dewan Pengawas KPK. Bivitri lantas menyimpulkan: “Ini hanya permainan pemerintah dan DPR saja.”

Kesalahan lain adalah, Dewan Pengawas itu sebetulnya tidak berhak memberi izin penyadapan. Bivitri menjelaskan, izin penyadapan itu sifatnya pro justitia: tidak bisa diberikan ke pihak yang bukan lembaga penegak hukum.

“Kalau di negara-negara lain, wewenang ini diberikan ke hakim, bukan Dewan Pengawas. Tidak boleh,” tegas Bivitri.

Dalih Pemerintah

Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) Wiranto menilai kekhawatiran para aktivis berlebihan. Dia menegaskan Dewan Pengawas ada agar komisi antirasuah tidak sewenang-wenang bertindak.

“Dalam sistem demokrasi, tidak ada lembaga yang memiliki kekuasaan tak terbatas, Presiden sekalipun,” kata Wiranto di kantor Kemenkopolhukam, Jakarta, Rabu (18/9/2019).

“Bukan melemahkan, [tapi agar] KPK tidak abuse of power,” tambahnya.

Baca juga artikel terkait REVISI UU KPK atau tulisan lainnya dari Riyan Setiawan

tirto.id - Politik
Reporter: Riyan Setiawan & Adi Briantika
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz