Menuju konten utama

Dulu Sukarno Melemahkan Badan Antikorupsi, Jokowi Ingin Menirunya?

Apakah Jokowi hendak meniru Sukarno yang pernah membubarkan lembaga antikorupsi?

Dulu Sukarno Melemahkan Badan Antikorupsi, Jokowi Ingin Menirunya?
Presiden Soekarno ketika diberi pengarahan oleh pejabat militer pada tanggal 5 April 1963 di Denpasar, Bali, Indonesia. AP / Horst Faas

tirto.id - Pada dekade 1950-an, Indonesia dihadapkan pada sejumlah permasalahan khas negara baru. Setelah lepas dari kekalutan perang selama 1945-1949, pemerintah diadang masalah prasarana fisik yang hancur dan perekonomian yang buruk, serta diperparah oleh kondisi politik yang tak stabil.

Sehari-hari masyarakat kota waswas oleh inflasi, sementara di desa-desa produksi pertanian macet. Tidak seperti sekarang, di zaman susah itu status pegawai negeri tak menjamin kemakmuran. Gaji mereka rendah dan sekali ada kenaikan harga mereka bisa kapiran. Keadaan inilah yang menjadi pangkal merebaknya inefisiensi, salah urus, dan korupsi di kalangan pegawai pemerintahan, termasuk tentara dan kalangan partai.

Dari kalangan militer, Jenderal Abdul Haris Nasution adalah salah seorang yang jengah dengan kondisi ini. Ia memandang aparatur negara yang tertib dan bersih adalah syarat mutlak terbentuknya pemerintahan yang berwibawa. Ia mendapati bahwa sebagian alasan munculnya pemberontakan di daerah adalah ketidakpuasan atas korupnya aparat-aparat di pusat.

“Apapun program pemerintah, hasilnya akan amat ditentukan oleh pelaksana. Kami sadar bahwa ‘salah urus’ telah berjangkit lama dalam aparatur, baik karena kurang jujur maupun karena kurang ahli,” kata Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas jilid 5 (1985, hlm. 257).

Pihak lain yang juga terang-terangan mengecam perilaku korup aparat negara dan militer adalah PKI. Hanya saja, kecaman mereka lebih bersifat politis untuk memojokkan lawan politiknya yang duduk dalam pemerintahan dan militer. PKI merasa bakal aman karena saat itu anggotanya tidak ada yang masuk pemerintahan.

Pada April 1957, Nasution mulai melakukan kampanye antikorupsi dan penertiban aparat negara. Mulanya ia menggalang dukungan dari institusinya sendiri, Angkatan Darat, lalu membawa isu ini ke kabinet Djuanda. Presiden Sukarno pun kemudian ikut andil dalam kampanye ini.

“Pada tanggal 10 April, Perdana Menteri Djuanda mengeluarkan sebuah peraturan mengenai pemberantasan korupsi yang telah disusun oleh Jaksa Agung Suprapto dan Nasution. Menurut peraturan itu, pengadilan sipil akan menangani kasus korupsi tapi penuntutannya akan berada di tangan orang militer,” tulis Ulf Sundhaussen dalam Politik Militer Indonesia (1986, hlm. 229).

Pers dan publik menyambut baik usaha ini. Berbekal Undang-Undang Bahaya Perang (SOB) dan instruksi Presiden Sukarno, Nasution memulai langkah pertamanya. Perwira-perwira Angkatan Darat dan pejabat-pejabat negara mulai ditelusuri asal-usul kekayaannya. Kampanye pertama ini mampu menjaring orang-orang partai yang terlibat korupsi.

Salah satu politikus yang kena ringkus adalah Zainal Arifin, wakil Partai NU di DPR. Tokoh PSI Sumitro Djojohadikusumo juga sempat diperiksa, namun kasusnya tak tuntas karena ia kemudian membelot ke Dewan Banteng di Sumatra. Sementara dari kalangan militer ada Kolonel Pieters, panglima TNI di Maluku yang kena ciduk gara-gara kasus penyelundupan.

Setelah tahap pertama dinilai cukup berhasil, Nasution percaya diri untuk melebarkan operasinya ke korps pegawai negeri. Pada Agustus 1958, terbit maklumat yang mengharuskan semua pegawai jawatan pemerintah melaporkan afiliasi politiknya kepada Dinas Intelijen TNI. Langkah ini adalah untuk mengakhiri praktik mengisi kas partai dengan duit negara.

“PKI dengan cepat mendukung langkah itu, dan demikian pula halnya dengan sebagaian pers. Tetapi dalam pandangan Djuanda, Nasution telah melampaui wewenangnya dengan mengeluarkan keputusan-keputusan yang menyangkut dinas kepegawaian negeri,” tulis Sundhaussen.

Perbedaan pandangan antara Nasution dan Djuanda akhirnya diselesaikan dengan penyesuaian peraturan. Dinas Intelijen TNI tetap menjadi pelaksana pengumpulan laporan kekayaan dan afiliasi pegawai, tapi laporan itu harus dikumpulkan kepada Djuanda.

Kampanye antikorupsi itu berhasil, tetapi tak berumur panjang. Perhatian Nasution sebagai Kepala Staf Angkatan Darat teralihkan pada eskalasi pemberontakan di daerah yang meningkat. Operasi lalu dialihkan kepada Kabinet Djuanda yang sayangnya justru membuat kampanye ini mandeg.

Berdirinya Paran

Nasution lalu kembali dengan ide membuat lembaga pengawas aparatur negara. Gagasannya sederhana: korupsi adalah bentuk penyalahgunaan wewenang dan hal itu punya konsekuensi hukum. Lembaga tersebut akan mengawasi dan menegakkan aturan sehingga membuat koruptor berpikir berkali-kali jika hendak berbuat lancung.

Ide Nasution direstui Sukarno. Bersama Muhammad Yamin dan Roeslan Abdulgani, ia merancang dan membentuk Badan Pengawas Kegiatan Aparatur Negara alias Bapekan pada 1959. Sultan Hamengkubuwono IX didapuk jadi pimpinannya.

Namun, lembaga ini mandul karena diintervensi oleh Sukarno. Anggota-anggotanya dipilih mengikuti pola Nasakom. Kegandrungan Bung Besar yang berlebihan terhadap persatuan mendorongnya memasukkan para politikus dari kalangan kiri, kanan, dan agamis.

“Komposisi ini secara politis kuat, tapi dalam arti teknis tidak. Pula Bapekan berada langsung di bawah Presiden,” tulis Nasution (hlm. 257).

Di tahun yang sama, trio Nasution, Yamin, dan Roeslan lantas membentuk lagi lembaga yang dinamai Panitia Retooling Aparatur Negara alias Paran. Kali ini mereka sendiri yang pegang kendali. Nasution jadi ketua dan Roeslan jadi “Ketua retuling mental”.

Majalah sejarah Historia edisi 2/tahun I/2012 menyebut fokus pertama Paran adalah mengawasi dan memperbaiki kinerja aparatur negara. Nasution menggunakan lagi metode pelaporan kekayaan. Selain itu, Paran juga menjalin kerja sama dengan kejaksaan, kepolisian, dan bea cukai. Agaknya, Nasution berhasil membentuk lembaga profesional sebagaimana yang diangankannya semula.

“Saya usahakan pula adanya Paran di propinsi-propinsi. Gubernur-gubernur yang dekat kepada saya segera membentuknya, tapi gubernur-gubernur yang agak berkiblat kepada tokoh-tokoh lain di pusat, enggan melaksanakannya,” kenang Nasution (hlm. 259).

Dihentikan Sukarno

Pada Februari 1961, sebagaimana dicatat Sundhaussen, Nasution mulai menyisir Angkatan Darat. Sebuah maklumat yang mengharuskan para perwira tinggi dan menengah melaporkan kekayaannya diterbitkan. Namun, pada pelaksanaannya masih banyak yang mangkir.

Paran juga memulai sebuah kampanye yang dinamai Operasi Budhi. Mulanya operasi ini adalah kebijakan Kolonel Ibrahim Adjie untuk membersihkan Divisi Siliwangi dari tentara korup. Setahun berjalan, Operasi Budhi berhasil menciduk banyak perwira Siliwangi yang korup dan mereka dihukum berat.

“Setelah Operasi Budhi berlangsung sekitar delapanbelas bulan di Jawa Barat, ia dioper sebagai kebijaksanaan resmi Paran yang dipimpin Nasution,” tulis Sundhaussen (hlm. 309).

Perusahaan-perusahaan plat merah menjadi sasaran pertama Paran. Baru tiga bulan berjalan, Operasi Budhi sudah menekan potensi kebocoran dana negara sebesar Rp11 miliar. Paran tak hanya membongkar kasus korupsi, tapi juga inefisiensi dan salah urus di perusahaan-perusahaan tersebut. Beberapa perusahaan bahkan tak punya pembukuan, sehingga tak jelas penerimaan modal dan labanya lari ke mana.

Meski demikian, Paran tak bisa menindak para koruptor secara langsung. Setelah menemukan bukti pelanggaran yang cukup, Paran mengalihkan kasusnya kepada polisi atau kejaksaaan. Sementara pelanggaran yang sifatnya administratif dilaporkan kepada menteri yang bersangkutan disertai rekomendasi.

Langkah-langkah Paran tak selamanya mulus. Intervensi dari pejabat tinggi atau bahkan Presiden Sukarno sering jadi batu sandungan. Ada pejabat perusahaan negara yang mengelak dengan bekingan seorang panglima Angkatan Darat. Ada juga yang berdalih dapat penugasan dari presiden lalu mangkir dari pemeriksaan.

“Semula ditemukan mobil PN yang nomor polisinya sudah menjadi mobil pribadi Presiden Direktur (Presdir) Perusahaan. Presiden membelanya dan ia mengoreksi pendaftaran yang keliru itu. Bahwa Presiden senang kepada orang ini, saya pernah dengar sendiri dari beliau,” keluh Nasution (hlm. 265).

Pada Maret 1964, Nasution selaku ketua Paran mengumumkan bahwa lembaganya menemukan banyak perusahaan negara yang terlibat utang dan memanipulasi duit negara. Menurut Rosihan Anwar yang mendapat informasi dari pengusaha A.M. Dasaad yang mengikuti pengumuman itu, jumlahnya mencapai Rp14 miliar.

Rosihan menambahkan, seorang pimpinan perusahaan negara ketahuan memberi pinjaman cuma-cuma kepada bawahan yang disukainya. Jika langkah culasnya diketahui, ia tak segan memberikan “upeti” ratusan juta ke Istana. Bahkan gara-gara itu ia dapat promosi jadi duta besar.

“Cerita di atas baru satu contoh. Berapa banyakkah jumlah korupsi dan kasus manipulasi lain? Hanya mereka yang melancarkan 'Operasi Budhi' yang mengetahuinya,” tulis Rosihan dalam Sebelum Prahara: Pergolakan Politik Indonesia 1961-1965 (1981, hlm. 426).

Gerakan Paran memang mengundang banyak penentang, terutama dari kalangan politik. PKI misalnya, partai yang semula mendukung gerakan pemberantasan korupsi ini justru bersikap sebaliknya. Mereka menyerang Nasution dengan tuduhan memanfaatkan Paran untuk memperkuat barisan pendukungnya untuk melawan Presiden Sukarno. Di sisi lain, komunikasi Nasution dengan Si Bung Besar memang kerap tak lancar.

Infografik Lembaga Antikorupsi di era sukarno

Infografik Lembaga Antikorupsi di era sukarno. tirto.id/Sabit

Terhadap tekanan politik itu, Paran tak bisa berkutik. Apalagi pada 1962, Nasution tak lagi memegang jabatan KSAD. Meski anggota-anggota Paran masih mempunyai semangat untuk melawan korupsi, namun posisinya kian hari kian terkucil.

Batu sandungan Paran yang terbesar justru adalah Presiden Sukarno. Ia tersinggung wibawanya karena Paran mengusut seorang pimpinan perusahaan negara yang rupanya konco kenthel Sukarno. Gara-gara itu Nasution sampai disidang langsung oleh Presiden Sukarno, Wakil Perdana Menteri Subandrio, Leimena, dan Chaerul Saleh.

Mereka beralasan penertiban seperti yang dilakukan Paran bukan prioritas di masa itu. Bahkan disebut bahwa prestise presiden mesti ditegakkan lebih dulu melebihi kepentingan-kepentingan lain.

“Beberapa lama kemudian oleh Wakil PM I [Subandrio] diumumkan dari Istana bahwa Paran dibubarkan dan dibentuk Komando Tertinggi Retuling Aparatur Revolusi (Kotrar). Panglima Besarnya ialah Presiden dan Wakilnya ialah Subandrio dan Kepala Stafnya Letnan Jenderal Yani,” tulis Nasution (hlm. 266).

Sejarah Berulang

Situasi sulit yang dihadapi Paran di masa lalu, kini mewujud dalam bentuk ancaman terhadap KPK. Kamis, 5 September 2019, melalui sidang paripurna kilat, DPR RI setuju untuk merevisi UU KPK.

Keputusan itu lantas mendapat penolakan langsung dari Ketua KPK, Agus Rahardjo. Ia tak setuju karena revisi itu mengandung ketentuan-ketentuan yang dapat melemahkan independensi KPK.

“Kami harus menyampaikan kepada publik bahwa saat ini KPK berada di ujung tanduk. Atas kondisi di atas, KPK perlu menyampaikan sikap menolak revisi UU KPK,” ujar Agus dalam konferensi pers di Gedung KPK.

Presiden Joko Widodo yang diharapkan tetap berkomitmen pada pemberantasan korupsi justru bertindak sebaliknya. Pada Rabu, 11 September 2019, Joko Widodo mengirim surat presiden (surpres) kepada DPR RI untuk melanjutkan pembahasan revisi UU KPK. Langkah ini jelas mengundang antipati dari kalangan pegiat antikorupsi. Komitmen Jokowi terhadap pemberantasan korupsi kini dipertanyakan.

Baca juga artikel terkait KPK atau tulisan lainnya dari Fadrik Aziz Firdausi

tirto.id - Politik
Penulis: Fadrik Aziz Firdausi
Editor: Irfan Teguh