tirto.id - Sejumlah orang mengatasnamakan Jokowi Mania mendatangi Dewan Pers melaporkan Majalah Tempo edisi terbaru, Senin (16/9/2019) siang. Mereka berjumlah kurang lebih 20 orang dan mengenakan pakaian berwarna putih.
Ketua Umum Jokowi Mania, Imannuel Ebenezer mengatakan sampul Majalah Tempo diduga telah menghina Presiden RI karena memuat gambar Joko Widodo dengan bayangan hidung panjang seperti tokoh Pinokio.
Ia menuding sampul Majalah Tempo edisi 16-22 September tak lagi menganut kaidah jurnalistik, melainkan cenderung menjadi alat propaganda. Ia menuding sampul majalah seperti itu tidak mendidik bagi masyarakat.
Kuasa hukum Jokowi Mania, Reinhard Taki, menambahkan sampul Majalah Tempo dinilai tidak etis dan tidak mendidik.
“Kami enggak mempersoalkan soal simbol negara. Enggak. Kami membicarakan soal gambar ini menurut saya enggak mendidik. Kalau memang Tempo enggak setuju revisi [UU KPK], buat saja gambar yang baik ya. Berikan pendidikan hukum yang baik kepada masyarakat,” kata dia.
Namun, Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers Ade Wahyudin, merasa hal itu tidak salah sama sekali. Ade bilang, kritik semacam itu "sangat lumrah dalam praktik demokrasi".
"Apalagi Jokowi sebagai Presiden dipilih oleh rakyat. Jadi kedaulatan mutlak milik rakyat. Sehingga kritik adalah hal yang wajar dan bagian dari kebebasan berekspresi," kata dia.
Semiotika Kritik Sosial
Dosen semiotika Fakultas Seni Rupa dan Desain Institut Teknologi Bandung (FSRD ITB), Acep Iwan Saidi, mengatakan gambar sampul Majalah Tempo yang dilaporkan ke Dewan Pers perlu memisahkan dua hal secara jernih, yaitu antara gambar wajah Jokowi dengan gambar bayangan wajah Jokowi dengan hidung panjang.
Jadi, kata Acep, yang berhidung panjang bukan gambar wajah Jokowi, melainkan gambar bayangan wajah Jokowi.
"Dengan demikian, jika gambar Jokowi sendiri merupakan imej yang dipantulkan media [Tempo] sebagai cermin, gambar bayangan itu harus dibaca sebagai cermin di atas cermin atau cermin berlapis. Secara semiotika, saya ingin menyebutnya 'tanda di atas tanda,' sebuah konotasi berlapis," kata Acep saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (17/9/2019).
Itu artinya, lanjut Acep, gambar tersebut harus dibaca sebagai cara bagaimana Majalah Tempo menggambarkan situasi sosial yang berkembang, yakni berbagai tanggapan publik luas terhadap sikap Jokowi terkait tema pemberantasan korupsi yang menjadi konten liputannya.
"Tempo tampaknya menganggap bahwa tanggapan dan sikap yang dominan di masyarakat adalah ketidaksetujuan. Ketidaksetujuan tersebut, pada tingkat yang paling ekstrem, mengingatkan publik pada imej tentang presiden Jokowi sebagai petugas partai—ingat pernyataan Megawati yang terus-menerus menjadi perbincangan itu,” kata Acep.
Gambar di sampul Majalah Tempo, menurut Acep, bukan kritik yang langsung terhadap Presiden Jokowi, melainkan sebuah mekanisme bagaimana Majalah Tempo mendeskripsikan wacana yang berkembang di masyarakat mengenai sikap presiden tersebut.
"Pada titik ini, Majalah Tempo sedang coba menyuarakan suara publik melalui bahasa metaforik gambar cover. Dalam perspektif semiotika sedemikian, hemat saya gambar itu tidak perlu dilaporkan. Tindakan mudah melaporkan adalah representasi dari masyarakat yang cengeng dan antipemikiran," kata dia.
Acep sendiri mengaku tidak menangkap adanya penghinaan maupun bermuatan politis dalam sampul Majalah Tempo. Menurut dia, dalam ranah intelektual, gambar itu menjadi salah satu bagian menarik untuk diperbincangkan, diperdebatkan, baik secara akademik maupun dalam arena publik populer yang lebih terbuka.
"Dan dengan gambar ini, Presiden Jokowi juga memiliki peluang untuk berbicara lebih luas, terlibat dalam wacana yang justeru dapat menyebabkannya terus-menerus berada di tengah-tengah warganya," katanya.
Seniman Boleh Kritis
Sampul Majalah Tempo pun dibela oleh sesama seniman. Riyan Riyadi, orang di balik tokoh ilustrasi ThePopoh, salah satu yang membela. Ia mengaku sepakat dan setuju dengan ilustrasi yang ada di sampul Majalah Tempo.
"Gue setuju cover-nya. Gue suka banget. Lucu. Gue suka banget cover Tempo Pinokio itu. Walau ada yang bilang, 'wah, ini ngejelek-jelekkin Presiden atau pejabat' lah, ya bukan ngejelek-jelekin tapi memang kondisinya seperti itu. Itu cara seniman berbicara lewat visual,” kata Riyan saat dihubungi reporter Tirto, Selasa sore.
Mengkritik lewat ilustrasi oleh para seniman, kata Riyan, menjadi hal yang lumrah. Ia bahkan mengaku dirinya sudah mengkritik asap dan karhutla lewat ilustrasi sejak beberapa tahun terakhir dan di-publish di akun Twitter-nya.
"Kalau dipermasalahin, ya semua juga bisa dipermasalahin. Gue juga agak menyayangkan Jokowi dan orang-orangnya tuh anti-kritik. Apa-apa dipermasalahkan. Apa-apa ditangkap. Kayak Orde Baru," kata Riyan.
Riyan mempertanyakan, jika ilustrasi seperti itu dianggap menghina presiden atau pejabat, bagaimana dengan pejabat yang selama ini justru “menghina rakyatnya:" tak cepat selesaikan masalah karhutla, korupsi merajalela, hingga janji-janji sejak masa kampanye yang tak kunjung terealisasi.
“Itu, kan, sama saja penghinaan terhadap masyarakat. Kayak pejabat dulu janji ketika kampanye, tapi sekarang enggak ada. Gimana itu enggak dalam bentuk penghinaan masyarakat? Kalau dibalikin mereka juga sudah dari kapan tahun ngerendahin masyarakat. Dengan cara nipu, dengan cara nanti-nanti akan janjinya," kata dia.
Ia menambahkan “sangat menyayangkan banget itu ada yang protes karena pejabat ngerasa dihina, ya Majalah Tempo gue pikir enggak sembarangan bikin visual. Mereka berpendidikan, basic jurnalis yang pintar-pintar dan kompeten, enggak ngasal hina. Enggak asal beropini. Gue kurang setuju jika disebut menghina Presiden, karena itu kan cuma bayangan saja, kan. Bayangan Jokowi, bukan Jokowi Pinokio.”
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Abdul Aziz