tirto.id - Menteri Pertahanan Prabowo Subianto dalam pertemuannya dengan Menteri Pertahanan Rusia Sergey Shoygu di Moskow pada Selasa (28/1/2020) lalu sempat membicarakan rencana pemerintah Indonesia untuk membeli 11 jet pesawat tempur Sukhoi dari Rusia.
Pembicaraan terkait pembelian 11 Sukhoi SU-35 yang kontraknya bernilai Rp16,75 triliun tersebut dipastikan oleh Duta Besar RI untuk Rusia Wahid Supriyadi pada Rabu (29/1/2020), seperti dilaporkanCNN Indonesia. "Ya, tadi disinggung juga (soal pembelian Shukhoi). Itu tinggal tunggu proses saja," sebutnya.
Kendati demikian, Wakil Menteri Pertahanan Sakti Wahyu mengatakan bahwa belum ada kesepakatan yang tercapai dalam pembicaraan kedua menteri tersebut. Menurutnya, pembicaraan terkait pembelian 11 jet Sukhoi tersebut masih berada dalam tahap awal.
Rencana pembelian alutsista ini jelas merupakan salah satu langkah krusial bagi Indonesia. Terlebih, pada periode Desember-Januari lalu, Indonesia sempat 'bersitegang' dengan Cina terkait kapal-kapal nelayan Cina yang menerobos Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia.
Terkait hal tersebut, pemerintah Cina pernah mengklaim bahwa mereka tidak melanggar hukum internasional. Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Cina Geng Shuang menegaskan bahwa perairan Natuna termasuk dalam wilayah Cina.
"Kami berulang kali dan dengan jelas menyatakan bahwa Cina memiliki kedaulatan atas Kepulauan Nansha dan hak kedaulatan serta yurisdiksi atas perairan terkait (relevant waters). Posisi kami sesuai dengan hukum internasional," ujarnya dalam konferensi pers, Rabu (8/1/2019).
Pemerintah Indonesia sendiri telah menyusun strategi terkait penanganan ‘konflik’ Natuna ini. Strategi tersebut dibahas dalam rapat di kantor Kemenko Polhukam, yang dihadiri langsung sejumlah menteri. Selain Menlu Retno Marsudi, rapat ini juga diikuti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumardi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, serta Menko Polhukam Mahfud MD selaku pimpinan rapat.
Salah satu langkah yang akan ditempuh adalah penambahan armada patroli di ZEE Indonesia. "Jelas [ada tambahan pasukan]. Saya saja sudah kirim lagi kok. Itu dinamika. Jadi tidak usah rapat pun sudah otomatis itu," ujar Kepala Badan Keamanan Laut Republik Indonesia (Bakamla) Taufiq.
Masifnya Kekuatan Cina
Kendati demikian, Menhan Prabowo sendiri menunjukkan sikap dingin terhadap isu ini. Prabowo mengatakan "cool saja" saat ditanya wartawan apa yang akan dia lakukan untuk menghadapi Cina, dalam kapasitasnya sebagai Menteri Pertahanan. "Kita santai kok, ya," katanya, di Kantor Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Jumat (3/1/2020).
Ia menegaskan pemerintah akan menyelesaikan masalah yang membuat nelayan Indonesia takut melaut ini dengan cara baik-baik. Sebab, katanya, "bagaimanapun Cina itu negara sahabat."
Pada 16 Desember 2019, Prabowo sempat mengunjungi Cina. Ketika itu dia membawa agenda memperkuat kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Cina, termasuk di bidang kelautan. "Sebagai upaya mendorong dan memperkuat industri pertahanan dalam negeri," ujar Staf Khusus Menhan RI Bidang Komunikasi dan Antar-lembaga, Dahnil Anzar Simanjuntak, Senin (16/12/2019).
Pemerintah Cina sendiri menegaskan tidak ada perseteruan terkait kedaulatan teritorial. Yang terjadi, menurut Geng Shuang, adalah klaim terkait hak maritim dan kepentingan yang tumpang tindih.
"Kami ingin menangani perbedaan kami dengan Indonesia dengan cara yang tepat dan menjunjung tinggi hubungan bilateral kami serta perdamaian dan stabilitas di kawasan ini. Faktanya, kami telah melakukan kontak satu sama lain (dengan Indonesia) terkait masalah ini melalui saluran diplomatik," jelasnya, masih dalam konferensi pers pada Rabu (8/1/2019).
Jawaban yang penuh percaya diri dari pemerintah Cina mengesankan bahwa Beijing memang memiliki daya tawar yang tinggi. Selain posisi mereka sebagai negara adidaya dengan kekuatan ekonomi raksasa, sikap tersebut juga didukung dengan potensi kekuatan militer yang juga tidak kalah besar.
Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI) memperkirakan belanja militer Cina sejak 2014 hingga 2018 selalu di atas USD200 miliar (Rp2.763,7 miliar, dengan asumsi kurs USD1=Rp13.765,5). Pada 2014, belanja militer Cina diperkirakan mencapai USD200,7 miliar. Jumlahnya terus naik. Pada 2018, belanja militer Cina diperkirakan mencapai USD249,9 miliar.
Sementara itu, masih dari data SIPRI, belanja militer Indonesia pada 2014 berkisar di angka USD6,9 miliar. Pada 2017, angkanya sempat menyentuh kisaran angka USD8,3 miliar. Namun, pada 2018 kembali turun menjadi USD7,4 miliar.
Perlu dicatat, besarnya belanja militer Cina tersebut sangat dipengaruhi oleh masifnya ekonomi Cina jika dibandingkan negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.
Dalam buku The Military Balance 2019 yang diterbitkan oleh the International Institute for Strategic Studies (IISS), Cina memang sedang dalam periode modernisasi militer hingga tahun 2035. Lebih lanjut, IISS memprediksikan bahwa Cina akan "terus memperluas kehadiran militernya di kawasan Laut Cina Selatan."
Presiden Cina Xi Jinping sendiri berniat memang untuk merampungkan transformasi militer Cina, yakni People’s Liberation Army (PLA), menjadi kekuatan militer kelas dunia yang ‘mampu’ memenangkan peperangan pada 2049. Masih menurut IISS, Cina kini tengah mengembangkan "kapabilitas dan inovasi di ranah siber, luar angkasa, dan peralatan perang elektronik."
Kendati tampak perkasa, IISS menuliskan bahwa militer Cina "masih memiliki sejumlah kekurangan krusial, tidak terkecuali di bidang-bidang vital seperti peralatan perang anti-kapal selam; intelijen, pengawasan, dan pengintaian; pengisian bahan bakar udara-ke-udara; dan operasi layanan bersama. Yang lebih signifikan, mereka tidak memiliki pengalaman langsung dalam operasi militer intensitas tinggi terkini."
Cina sendiri memang agresif terkait dengan klaim mereka pada wilayah Laut Cina Selatan, termasuk Natuna, utamanya sejak 2012. Masih menurut IISS, Cina telah mereklamasi pulau sekitar 12,952 kilometer hingga tahun 2016 dan pada periode 2016-2018, militer Cina telah membangun sejumlah fasilitas militer di sana.
Kegusaran Kawasan
Konflik di kawasan tersebut jelas membuat berbagai negara yang berkepentingan gelisah dengan sikap agresif Cina. Sejauh ini, Vietnam, Malaysia dan Filipina merupakan negara yang secara jelas menunjukkan sikap penolakan dan perlawanan mereka terhadap klaim Cina.
Seperti dituliskan oleh Rajeswari Pillai Rajagopalan di the Diplomat, dari ketiga negara itu Vietnam-lah yang paling kuat melakukan penolakan. Berbagai jalur diplomasi telah dilakukan oleh Vietnam terkait hal ini, salah satunya mengangkat isu ini ke sejumlah negara adidaya dan Association of Southeast Asian Nations (ASEAN).
Rajagopalan, kepala Nuclear and Space Policy Initiative pada Observer Research Foundation (ORF), India, mengatakan bahwa Vietnam bahkan telah mengirimkan sejumlah kapal penjaga pantai sejak Juli 2019 sebagai respons terhadap langkah Cina yang dianggap melanggar Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Vietnam setelah mengirimkan satu kapal survei dan empat kapal maritim ke area tersebut.
Sayangnya, hingga kini ASEAN belum satu suara merespons sikap Cina. Beijing sendiri memang memiliki pengaruh besar di negara-negara anggota ASEAN. Menurut Ragopalan, pengaruh luar biasa Cina ini banyak terkait dengan masalah perdagangan dan investasi. Oleh karena itu, menurutnya, akan sangat mustahil bagi ASEAN untuk secara terbuka berkonfrontasi dengan Cina.
Editor: Windu Jusuf