tirto.id - Pelanggaran atas Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) Indonesia di perairan Natuna, termasuk kegiatan Illegal Unreported and Unregulated (IUU) Fishing yang dilakukan kapal penjaga pantai Cina, 24 Desember 2019 lalu, akan berbuntut panjang jika melihat bagaimana para pejabat Indonesia meresponsnya.
Kementerian Luar Negeri (Kemlu) Republik Indonesia sempat memprotes tindakan itu lewat pemanggilan Duta Besar Cina untuk Indonesia, Senin (30/12/2019). Namun protes ini tampak tak digubris.
Pada hari yang sama, KRI Tjiptadi-381 milik Indonesia yang berpatroli sektor di perbatasan ZEE Laut Natuna Utara masih mendapati adanya kontak kapal di radar yang mengarah ke selatan dengan laju kecepatan tiga knot.
“Setelah didekati pada jarak 1 NM, kontak tersebut ternyata adalah kapal China Coast Guard dengan nomor lambung 4301 (CCG 4301) yang mengawal beberapa kapal ikan Cina melakukan aktivitas perikanan,” ujar Kepala Dinas Penerangan (Kadispen) Koarmada I, Letkol Laut (P) Fajar Tri Rohadi, seperti dilansir Antara.
Tak ada efek jera dari Cina meski kapal berhasil diusir pada hari itu. Yang terkini, berdasarkan patroli udara Indonesia pada Jumat (3/1/2019), masih tampak tiga kapal Coast Guard Cina di wilayah kaya ikan tersebut.
Ketidakjeraan ini sebenarnya bukan kejutan, sebab sebelumnya Juru Bicara Kemlu Cina, Geng Shuang, sudah menjawab protes Kemlu RI dengan bersikukuh negaranya tidak melanggar hukum internasional yang ditetapkan lewat Konvensi Hukum Laut PBB (UNCLOS). Landasannya, menurut Gueng, adalah klaim bahwa perairan Natuna termasuk dalam Nine Dash Line Cina.
“Saya ingin menekankan bahwa posisi Cina mematuhi hukum internasional, termasuk UNCLOS. Jadi, apakah pihak Indonesia menerimanya atau tidak, itu tak akan mengubah fakta objektif bahwa kami punya hak dan kepentingan atas perairan yang relevan (relevant waters),” ujarnya dalam konferensi pers, Kamis (2/1/2019).
Nine Dash Line atau sembilan garis putus-putus adalah wilayah historis Laut Cina Selatan seluas 2 juta kilometer persegi yang 90 persen di dalamnya mereka klaim sebagai hak maritimnya, bahkan meski wilayah-wilayah ini berjarak hingga 2.000 km dari Cina daratan.
Garis putus-putus itu pertama kali muncul di peta Cina pada 1947, setelah Perang Dunia II selesai.
Upaya Cina mengungkit-ungkit Nine Dash Line bikin Indonesia tambah geram. Kemlu RI tegas meyakini bahwa klaim historis Cina atas ZEE Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum, sebab sembilan garis putus-putus tidak pernah diakui dalam UNCLOS 1982.
Puncaknya, Jumat (3/1/2020), strategi mulai disusun oleh lintas kementerian Indonesia guna mengatasi sengkarut ini dengan langkah lebih nyata.
Strategi itu dibahas dalam rapat di kantor Kemenko Polhukam, yang dihadiri langsung sejumlah menteri. Selain Menlu Retno Marsudi, rapat ini juga diikuti Menteri Pertahanan Prabowo Subianto, Menteri Perhubungan Budi Karya Sumardi, Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly, serta Menko Polhukam Mahfud MD selaku pimpinan rapat.
Indonesia Siap ‘Perang’
Ditemui wartawan usai rapat, Menlu Retno mengatakan beberapa kesepakatan lintas kementerian telah tercapai. Poin pertama kesepakatan itu adalah klaim Cina terhadap ZEE Indonesia tak berdasar.
“Kami baru saja menyatukan [pandangan] dan untuk memperkuat posisi Indonesia dalam menyikapi situasi di perairan Natuna. Di dalam rapat tersebut kami menekankan kembali, pertama telah terjadi pelanggaran oleh kapal-kapal Tiongkok di wilayah ZEE Indonesia,” ujar dia.
Poin lain yang tak kalah penting adalah komitmen untuk memperkuat upaya Indonesia mengatasi kerugian akibat aktivitas perikanan kapal-kapal Cina di Natuna.
Penguatan ini bakal ditempuh tidak saja oleh Kemlu, tapi juga kementerian lain sesuai porsinya.
Bakamla misal, menjanjikan bakal menambahkan armada patroli. Hal ini sudah dikoordinasikan dengan Menhan Prabowo yang juga hadir dalam rapat.
“Jelas [ada tambahan pasukan]. Saya saja sudah kirim lagi kok. Itu dinamika. Jadi tidak usah rapat pun sudah otomatis itu.” ujar Kabakamla Taufiq. “Yang jelas tadi sudah disampaikan bu Menlu, itulah sikap kita.”
Taufiq enggan membeberkan berapa tambahan tenaga dan armada yang bakal disiagakan di Natuna. “Rahasia dong [jumlahnya],” kata dia.
Sementara dalam keterangan terpisah, seperti dilansir Antara, Panglima Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Pangkogabwilhan) I Laksdya TNI Yudo Margono menyebut operasi siap tempur kali ini melibatkan Koarmada 1 dan Koopsau 1 dengan armada lima KRI (dua di antaranya masih dalam perjalanan), satu pesawat intai maritim, dan satu pesawat Boeing TNI AU.
Pasukan yang dipimpin langsung oleh Yudo ini telah bertolak dari Jakarta ke Natuna menggunakan satu pesawat Boeing TNI AU per Jumat (3/1/2019) kemarin.
Operasi siap tempur kali ini krusial karena status perairan Natuna belakangan sudah jadi “perhatian bersama.”
Bikin Resah Nelayan
Menurut Guru Besar Hubungan Internasional Universitas Indonesia (UI) Hikmahanto Juwana, kehadiran fisik aparat Indonesia sangat diperlukan dan patut diapresiasi.
“Karena dalam konsep hukum internasional, klaim atas suatu wilayah tidak cukup sebatas klaim di atas peta atau melakukan proses diplomatik, tapi harus ada penugasan,” kata Hikmahanto seperti dilansir Antara.
Hikmahanto mencontohkan lewat kasus kekalahan Indonesia pada 1998 di Mahkamah Internasional dalam perkara perebutan Pulau Sipadan dan Ligitan. Indonesia kalah karena minimnya kehadiran fisik pemerintah.
Untuk kasus Natuna, Hikmahanto bahkan menyarankan kehadiran fisik itu tidak cuma ditempuh dengan penambahan pasukan pengamanan dan armada. Yang tidak kalah penting untuk dilakukan adalah mendampingi nelayan-nelayan lokal.
Pendampingan ini penting untuk melawan kapal-kapal nelayan Cina yang mendapat pengawalan dari negaranya. Selain itu, pendampingan juga penting untuk menjamin kerja nelayan Indonesia tidak dihalau atau bahkan diusir apabila bertemu penjaga kapal Cina.
“Karena keberadaan ZEE Natuna tidak dianggap ada oleh Cina. Justru yang dianggap ada [oleh Cina] adalah wilayah penangkapan ikan tradisional nelayan Cina,” pungkasnya.
Indikasi bahwa kapal asing mengintimidasi nelayan lokal Natuna tak terelakkan lagi.
Boy, seorang nelayan asal Kabupaten Natuna, mengatakan dalam dua bulan terakhir nelayan di wilayahnya rata-rata cuma bisa mengumpulkan satu kotak ikan per hari (per kotak beratnya berkisar 100 kilogram). Padahal, nyaris sampai tiga bulan lalu, para nelayan masih bisa megumpulkan empat kotak.
Faktor cuaca memang ikut jadi pemicu paceklik itu. Namun keberadaan kapal asing yang lebih besar juga tak terelakkan. Kapal ini bikin para nelayan takut mencari ikan.
Kapal asing yang dimaksud Boy bahkan bukan cuma berasal dari Cina, tapi juga Vietnam.
“Nelayan di Natuna [rata-rata] kapalnya kecil. Mau menyeberang jauh, takut. Karena kebanyakan ada kapal Vietnam,” ujarnya, seperti dilansir Antara.
Editor: Rio Apinino